JAKARTA, Beritalima.com– Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) serentak 17 April lalu jauh dari harapan masyarakat. Pesta demokrasi terumit di dunia tersebut penuh dengan kecurangan alias tidak jujur dan adil seperti yang diamantkan konstitusi (UU Pemilu-red).
Itu dikatakan pakar hukum tata negara, Margarito Kamis menanggapi pesta demokrasi serentak yakni pemilihan presiden-wakilpresiden, DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. “UU dengan tegas menyebutkan pemilu harus dilaksanakan dengan jurdil,” kata Margaritokepadaa, di Jakarta, Kamis (25/4).
Sebagian orang, ungkap Margarito, memang mengatakan, kemajuan demokrasi Indonesia luar biasa. “Saya kira, dengan kemajuan dan kehebatan demokrasi kita ini mungkin bangsa-bangsa lain di dunia yang ingin belajar curang dalam pemilu, datanglah ke sini,” ujar dia.
Berbagai kecurangan yang diamatinya, hologram C1 yang resmi itu tidak disampaikan sebagian dan yang sampai cuma fotokopi serta dinput data salah. Dan, kesalahan ini berjalan secara terus menerus.
“Dari segi konstitusi, sebagai orang tata negara, saya ingin katakan bahwa sebegini jauh kelihatan saat Pemilu ini sangat tidak cukup unsur jujur dan adilnya,” ungkap pria berkulit hitam ini.
Ketua Gerakan Indonesia Bersih yang juga juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie Massardi mengatakan, pemilu yang diselenggarakan dengan teknologi informasi semakin canggih seharusnya semua orang sudah bisa mengaksesnya.
Dan, seharusnya dengan kondisi demikian bisa menjadi semakin transparan, jujur dan semakin adil karena semua orang tidak bisa lagi berani ‘bermain-main’.
“Pemilu 2019 ini seperti pemilu para pemula. Padahal semua orang mengetahui, kita telah menyelenggarakan pemilu 1955 yang sangat jurdil dan bagus. “Kenapa di era sekarang yang modern lebih mudah diakses justru kekacauan semakin parah,” tegas dia.
Dia melihat pemilu sampai hari kelima ini sudah bukan lagi peristiwa pertarungan electoral, tapi sudah masuk pertarungan yang real politik kekuatan. Karena kedua paslon merasa menang.
Menariknya, kata Adhie, yang bertarung dipaksa untuk menampilkan dokumen data masing-masing. “Ini saya rasa aneh. Kita berkompetisi, misalnya main bola atau main tinju.”
Seharusnya kompetisi ini, yang mengatur adalah penyelenggara. Bukan yang berkompetisi mengumpulkan data. Seperti Prabowo-Sandi dengan data-data yang dikumpulkan menang. Sementara quick count yang dimobilisasi menyatakan kalah.
“Kemudian pertarungan menjadi kuat. Saat mau protes ditentangnya dan silakan adu data kalau mau melawan. Ini sudah masuk ke arah tidak sehat yakni menang-menangan. Dan, ini juga sudah di luar konteks electoral. Ini sudah pertarungan kekuatan politik.”
Padahal, kata Adhie, seharusnya di hari yang kelima tensi diturunkan. Artinya, yang menang negosiasi dengan yang kalah bagaimana mekanisme peralihan. “Semua ditutup dan dilanjutkan membangun strategi bersama dan kebijakan-kebijakan strategis dibicarakan,” demikian Adhie Massardi. (akhir)