SOLO, BeritaLima.com – Awal tahun 2020 adalah awal ujian KPK paska revisi UU KPK. OTT Wahyu Setiawan anggota Komisioner KPU atas proses PAW anggota DPR RI belum terlaksana dengan baik.
“Sejak awal paska Revisi UU KPK terdapat beberapa catatan,” sebut Humas Masyarakat Pecinta Bendera Tauhid (MARTABAT), Endro Sudarsono kepada wartawan di sela-sela Aksi Damai Indonesia Bertauhid di Solo, Jum’at (17/01/2020).
Pertama, KPK tidak lagi sebagai Lembaga Negara Independen. Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.
Aturan ini bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus, yakni tahun 2006, 2007, 2010, dan 2011. Putusan tersebut menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK sebelumnya.
Kedua, pembentukan Dewan Pengawas. Pasal 21 ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas:
a) Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang; Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a;
Konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan. Jadi, secara konsep, teori logika DPR dan pemerintah keliru.
KPK selama ini telah diawasi oleh publik, dalam hal keuangan, mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan, kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman.
Ketiga, Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas. Pasal 37 B ayat (1) huruf b: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;
Kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif.
Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya institusi Pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin. Sedangkan Dewan Pengawas sendiri bukan bagian dari penegak hukum.
Keempat, Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif. Pasal 37 E ayat (1): Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia;
Pengangkatan Dewan Pengawas yang dilakukan oleh Presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK. Sebab, kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
“Untuk itu demi dan untuk kepentingan negara untuk sekarang dan di masa yang akan datang diminta Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK dengan membuat PERPPU KPK yang lebih memadai,” tandas Endro.[Ar]