KUPANG, beritalima.com – Media masa diminta dalam pemberitaannya tentang anak harus berdasar pada Kode Etik Jurnalis dan menjalakan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.
Hal ini menjadi salah satu rekomendasi Forum Komunikasi Wilayah Partisipasi Publik untuk Perlindungan Perempuan dan Anak (Forkomwil Puspa) NTT, yang disampaikan, Elisabeth Rengka, Ketua Forum Komunikasi Wilayah Partisipasi Publik untuk Perlindungan Perempuan dan Anak (Forkomwil Puspa) saat jumpa pers di Aula Rumah Jabatan Wakil Wali Kota Kupang, Selasa (23/7).
Kemudian rekomendasi lainnya yang disampaikan ialah, Negara harus hadir dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan – kebijakan yang berpihak kepada anak seperti pengalokasian anggaran terhadap penanganan isu anak, ketersediaan ruang dan fasilitas public yang ramah anak, penguatan kapasitas tentang pelayanan berperspektif/ramah anak terhadap aparat penegak hukum, tenaga pendidik, tenaga kesehatan serta tenaga lain yang bersentuhan langsung dengan isu anak.
Tak hanya itu, Lembaga agama perlu memberi perhatian khusus terhadap isu anak lewat mimbar agama, konseling pastoral terhadap keluarga korban dan pelaku, kurikulum pendidikan informal dan sekolah minggu pada masing – masing lembaga agama yang berperspektif/ramah anak.
Kemudian, Lembaga Adat harus mempromosikan nilai – nilai budaya yang memberi perlindungan terhadap anak dan menghapuskan praktik – praktik yang diskriminatif.
Private Sector tidak boleh mempekerjakan anak. CSR dari private sector didonasikan untuk kerja – kerja perlindungan anak.
Kemudian rekomendasi lainnya, ialah Forkomwil Puspa NTT mengajak public dan bertanggungjawab terhadap tumbuh kembang anak sebagai implementasi dari komitmen perlindungan hak – hak anak dan kepentingan terbaik anak.
Peringatan Hari Anak Nasional tahun ini mengangkat tema “ Keluarga sebagai Penopang Perlindungan Anak “.
“ Kita digugah dengan berbagai peristiwa pelanggaran hak anak yang akhir – akhir ini cukup mencengangkan. Diantaranya keteraksesan anak untuk mendapatkan Akta Kelahiran, Anak Putus Sekolah, Kekerasan Seksual, Gizi Buruk yang mengakibatkan Stunting, Anak yang berhadapan dengan hukum, Perdagangan Anak Penelantaran Anak, Eksploitasi Anak,” kata Elisabeth menambahkan.
Dalam pandangan Forkomwil Puspa NTT, kata Elisabeth, banyak faktor menjadi penyumbang dari persoalan pelanggaran hak anak, diantaranya pengabaian keluarga, kualitas pengasuhan yang rentan dengan kekerasan (diujung rota ada emas), rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan minimnya lapangan kerja lokal, tingkat pendidikan yang rendah, minimnya perhatian dan aksi konkrit dari komponen Tiga Tungku (Pemerintah, Agama dan Lembaga Adat), minimnya akses terhadap layanan publik untuk kesejahteraan anak termasuk layanan anak.
Parahnya, penegakan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tidak didasarkan pada pengalaman anak, baik sebagai korban, pelaku maupun saksi.
Dalam jumpa pers tersebut, dipandu Ana Djukana, Anggota Forkomwil Puspa NTT/Pers, yang dihadiri anggota forum lainnya, yakni Twen Dami Dato, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang, Veronika Ata, Ketua LPA NTT, Irene Koernia, Child Protection Spesialis Wahana Visi Indonesia (WFI), Fony Mella, Ketua Yayasan Obor Timor Ministry, Lili Amalo, Yayasan Tanpa Batas (YTB), dan Rony Banase, dari Pers.
Ketua LPA NTT, Veronika Ata, ke depan akan membentuk forum di setiap kabupaten agar lebih mudah mengakses untuk menyampaikan berkaitan dengan kekerasan anak dan perempuan.
“ Tetapi memang kami baru melakukan sosialisasi di beberapa tempat salah satunya di kabupaten Kupang, kabupaten lainnya masih rencanakan,” kata Veronika Ata menambahkan.
Veronika menambahkan, forum ini terdiri dari berbagai komponen, baik lembaga, pemerintah maupun beberapa individu lainnya yang punya perhatian terhadap anak.
Dijelaskan Veronika, beberapa layanan yang terlibat dalam forum ini ketika anak yang menjadi korban atau pelaku kemudian stres biasanya dirujuk ketika forum ini mengetahui ada persoalan maka menghubungi Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT. Kemudian LPA secara hukum ke LBH APIK untuk pendampingan hukum.
Sedangkan secara psikologis ketika anak tersebut mengalami stres, ada Psikolognya di LPA, dan Rumah Perempuan menyediakan konselor, serta Rumah Aman untuk pemulihan korban.
“ Terkait kekerasan seksual terhadap anak disabilitas, banyak sekali terjadi, dan selama ini kami mendampingi, baik secara Psikologis dan juga secara hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Fony Mella, Ketua Yayasan Obor Timor Ministry menyampaikan terkait penanganan anak – anak yang berjualan di traffick light (lampu lalu lintas). Menurut Fony, sebagai salah satu anggota forum, ia sudah melakukan banyak hal, diantaranya mendata anak – anak itu sudah didata semua, kemudian berkoordinasi dengan pemerintah, baik Dinas Sosial Kota Kupang, Dinsos Provinsi NTT maupun Kemensos untuk memberikan kepada mereka bantuan pemenehuhan hak – hak dasar. “ Kalau mereka belum punya Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga, kami juga membantu mereka. Bagi mereka yang putus sekolah kami membantu untuk bersekolah kembali melalui melalui sekolah formal atau non formal,” kata Fony menjelaskan.
Twen Dami Dato, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana menyampaikan, terkait penanganan Stunting. Menurut Twen, upaya pencegahan Stunting dalam jangka panjang, yaitu dimulai dari pencegahan sejak ibu hamil.
“ Fakta yang kami temui bersama mahasiswanya dimana orang kurang tua kurang beri perhatian terhadap anaknya soal makan, terkadang anak – anak ke sekolah dengan perut kosong. Begitu juga bayi. Pemahaman ini yang perlu kita terus menanganinya,” kata Twen.
Ia mengatakan, lokus Forkomwil Puspa NTT yang disetujui Kementerian Pemberdayaan Perempuan adalah di TPA. “ Karena itu, untuk peningkatan pendapatan keluarga, kami memberikan ketrampilan kepada orang tua/ibu – ibu rumah tangga untuk mengolah pangan lokal. Tapi khusus di TPA, yang kami lakukan adalah memanfaatkan bahan – bahan organik/sampah organik yang ada di TPA untuk di daur ulang menjadi pupuk organik yang namanya bokasi. Ini sudah tiga periode, mau masuk ke periode keempat. Kami panen setiap periode 2,5 ton, dan dijual dengan harga Rp 1.000/kg,” kata dia.
Ana Djukana, Anggota Forkomwil Puspa NTT menambahkan, ia meminta media mempunyai pedoman pemberitaan ramah anak.
“ Dan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berkontribusi bagi Dewan Pers untuk mensosialisasikan ini, sehingga menjadi pedoman bagi kita bersama, bagi perjuangan kita untuk pemenuhan hak – hak dasar anak maupun kepentingan terbaik anak,” kata Ana Djukana. (L. Ng. Mbuhang)