Catatan: Yousri Nur Raja Agam
KENDATI pusat-pusat prostitusi yang dikenal dengan lokalisasi di berbagai kota sudah ditutup, bukan berarti aktivitas prostitusi sudah berhenti. Justru, kegiatan pasangan anak manusia memadu kasih itu semakin canggih. Dunia prostitusi mengikuti perkembangan teknologi dan informasi melalui dunia maya.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini boleh bangga, menyatakan Kota Pahlawan ini sudah bebas dari prostitusi. Walikota perempuan pertama di Surabaya ini boleh saja bertepuk dada mengatakan, seluruh lokalisasi yang ada di ibukota Jawa Timur ini sudah ditutup. Para penghuninya – yakni para pelacur bersama mucikarinya – sudah dipulangkan ke daerah asal masing-masing. Mereka sudah ditatar dengan pengetahuan berwiraswasta. Kawasan yang dulu dikenal dengan nama Gang Dolly, Jarak, Sidokumpul, Sememi, Gunung Kembar, Tambakasri, Bangunsari, Bangunrejo dan sebagainya, memang sekarang sudah menjadi hunian warga.
Namun, di balik penutupan lokalisasi itu, tingkat pembangunan properti berupa hotel dan apartemen malah menjamur. Kalau dulu hotel itu disebut sebagai obyek wisata. Sekarang beralih menjadi sarana dan prasarana bisnis. Hotel, tidak lagi disyaratkan harus punya kolam renang, misalnya. Tetapi, hotel cukup punya ranjang dan kamar mandi. Sehingga, saat ini hotel menjamur dengan ukuran mungil. Sebutan cukup unik: hotel budget atau low budget alias tarif yang “terjangkau”.
Nah, hotel-hotel minimalis ini sekarang berfungsi ganda. Tidak hanya sebagai hunian sementara, tetapi juga tempat pesinggahan para pebisnis. Di samping itu merupakan alih fungsi dari lokalisasi yang digembar-gemborkan ditutup. Ini terjadi di Jakarta, Bandung, Medan, Batam, Surabaya dan kota-kota lainnya, bahkan merambah ke kota-kota kecil.
Penggunaan hotel itu memang sudah lama pula dikenal dengan sebutan “hotel tiga jaman”. Maksudnya, bukan dalam arti “tiga zaman”, melainkan hotel yang digunakan tiga jam saja atau jam-jam an. Tidak harus menginap atau bermalam, melainkan check in untuk short time.
Proses untuk memasuki kamar-kamar hotel itu pun tidak sulit. Perkembangan komunikasi telepon selular dan digital membuat jalan pintas menembus pintu rahasia. Orang, bisa langsung sampai di kamar tanpa harus berhadapan dengan reseption di lobi hotel.
Kalau dulu bisnis prostitusi di lokaslisasi dianggap kelasik. Maka beralihlah praktik prostitusi itu mengikuti perkembangan TI (Teknologi Informasi). Bisnis prostitusi melalui perangkat komunikasi digital atau telepon genggam memang bentuk jalan pintas yang dianggap aman. Bisa menyimpan rahasia. Sehingga, melalui saluran langsung atau online itu, segala bentuk komunikasi bisa dilakukan.
Demikian pula yang cukup menghebohkan hari-hari belakangan ini. Ada bisnis prostitusi online. Kebetulan, ramai menjadi pemberitaan, karena yang terungkap itu adalah kejadian yang menarik. Bisnis prostitusi online ini dilakoni oleh artis film dan sinetron, serta foto model atau model panggung. Lakon yang dimainkan para artis itu bukan untuk ditonton di layar lebar bioskop atau televisi. Tetapi, dinikmati oleh “pemesan” yang ikut menjadi pemeran utama di atas ranjang kamar hotel.
Adalah peristiwa yang menyangkut nama artis yang sering tampil di depan publik, namanya Vanessa Angel dan seorang mode Avriella Shaqiela. Ke dua cewek cantik ini namanya, disingkat menjadi VA dan AS, oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Sebab, saat pertama kali dimunculkan dalam pemberitaan, mereka ini terkait dengan kegiatan hukum pidana. Kejahatan susila.
VA (27 tahun) diduga terlibat dalam prostitusi online. VA ditangkap Polda Jatim di sebuah hotel di Surabaya, pada Sabtu 5 Januari 2019, sekitar pukul 12.30 siang. Saat ditangkap, VA diketahui bersama pria yang bukan pasangannya di dalam kamar hotel berbintang di Surabaya.
Berita ini menjadi sorotan, karena judul yang dipilih awak media cukup menarik. VA mempunya tarif Rp 80 juta dan AS Rp 25 juta – maaf sekali kencan. Kemudian yang juga menarik, karena pemberitaannya viral di media sosial. Dan tidak hanya itu, justru setelah diperiksa penyidik Polda Jatim, mereka ini tidak dijadikan “tersangka”, hanya “saksi”.
Siapa yang bakal menjadi tersangka? Ternyata polisi membidik orang di balik terjadinya prostitusi artis VA dengan pengusaha Surabaya yang membayar Rp 80 juta itu. Dua perempuan yang dianggap sebagai pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan itu adalah ES (Endang Suhartini) alias Siska dan Tantri. Mengapa? Karena berdasarkan aturan hukum yang ada, Siska dan Tantri inilah “pelaku kejahatan”. Mereka dituding sebagai mucikari atau germo yang melakukan bisnis esek-esek dengan menggunakan perangkat komunikasi digital secara online.
Dalam penelusuran penyelidik dan penyidik Polda Jatim, bisnis prostitusi online ini dilakukan Siska dan Tantri, tidak hanya terhadap VA dan AS. Tetapi juga, terhadap 45 artis dan 100 model.
Yang lebih unik lagi, VA ini bukan yang pertamakali berurusan dengan polisi. Tahun 2015, saat Satuan Unit Resor Kriminal Umum Polres Metro, Jakarta Selatan menangkap seorang mucikari bernama Robby Abbas. Waktu itu ada model seksi dengan berinisial AA (diduga Amel Alvi). Robby menyebut, tarif Rp 80 juta itu tidak mahal, sebab ada yang tarifnya Rp 200 juta.
Penyidik Polda Jatim belakangan ini benar-benar disibukkan oleh penyidikan dan gelar perkara yang melibatkan ratusan artis dan puluhan model. Sebab, nama-nama artis dan model itu terjaring dalam perangkat komunikasi yang digunakan. Pelacakan, jejak langkah dan tingkah polah mucikari dengan kliennya melalui online ini dibedah polisi nmelalui forensik digital. Ilmu forensik yang dikaitkan dengan konten digital. Baik dari jejak komunikasi di telepon genggam, maupun perangkat komputer.
Tentu yang kita harapkan dari kerja keras aparat kepolisian ini, mampu mengungkap jaringan bisnis prostitusi online ini sampai tuntas. Walaupun, sesungguhnya pekerjaan ini tidak bisa tuntas, karena bagaimanapun juga perbuatan ini berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. (*)