Melongok Objek Wisata Ziarah di Sumenep

  • Whatsapp

Oleh: Syamsul Arifin, SH

MENJADI MINIATUR NUSANTARA DILIRIK DUNIA

INDONESIA adalah Qid’atun minal jannati nuqilat ilal ardli, sepotong tanah Syurga yang diletakkan Tuhan di atas bumi, begitu Mufti Kuwait, Syekh Abdullah An-Nury mengungkapkan. Kekaguman Mufti Kuwait terhadap Indonesia diungkapkan di hadapan Menag Alamsyah Ratu Prawiranegara, Hamka, dan pejabat teras Depag pada era 80-an. Saat itu, ia melakukan kunjungan resmi ke Indonesia. Nusantara, lanjut Syeikh Abdullah An-Nury, tidak hanya mendapat anugerah alam yang kaya dan memesona. Akan tetapi, warga negaranya yang ramah dan santun.

Kekaguman Mufti Kuwait bukan tanpa alasan, sebab geografi dan geologi Indonesia hampir tidak ada duanya di dunia. Tanah yang subur, iklim yang tropik, curah hujan yang sedang, perairan yang memadai merupakan variasi alam yang menarik sebagai anugerah Tuhan yang ‘sempurna’.

Siapa pun akan kagum menikmati alam Indonesia. Pegunungan dan laut yang saling melengkapi, menunjukkan bahwa variasi alam yang tidak semuanya diberikan Tuhan kepada semua negara. Maka tidak heran kalau sementara orang mengatakan, bahwa Indonesia adalah negeri pilihan. Hanya tinggal kemampuan manusianya dalam mengelola alam ini.

Sementara, pendapat yang mengatakan, bahwa Sumenep merupakan miniatur Nusantara tampaknya mendekati kenyataan. Pendapat tersebut bukan tanpa alasan, sebab Sumenep merupakan satu-satunya daerah kabupaten yang terdiri atas deretan pulau. Keadaan geologi, topografi, klimatologi, fauna dan flora Sumenep hampir mewakili daerah-daerah Nusantara pada umumnya. Meskipun ada beberapa hal yang berbeda. Jumlah pulau terbanyak dibanding kabupaten lainnya. Selain itu, Sumenep merupakan daerah ‘keraton’ (baca: kadipaten) yang mempunyai petilasan sejarah yang menakjubkan. Daerah bertanah kapur ini merupakan cikal bakal lahirnya Kerajaan Majapahit. Aria Wiraraja telah mengonstruksi lahirnya Majapahit melalui ‘tangan’ Raden Wijaya.

Oleh karena itu, tidak heran kalau Sumenep sebagai daerah yang memiliki objek wisata dengan variasi yang unik, dan tidak sedikit yang masih perawan. Objek wisata bahari, petilasan keraton, dan objek wisata ziarah merupakan kekayaan Sumenep yang belum seluruhnya menjadi perhatian wisatawan. Untuk yang terakhir, objek wisata ziarah, belakangan menjadi bagian penting dari pengenalan paket wisata di Sumenep.

Kalau di tanah Jawa dikenal dengan paket ziarah makam dan petilasan Wali Songo yang merupakan bagian dari lembaran sejarah masuknya Islam di tanah Jawa. Sedangkan di Sumenep terdapat banyak petilasan dan makam wali dan tokoh yang berperan dalam penyebaran Islam. Wali dan tokoh tersebut memiliki kekerabatan dengan beberapa anggota Wali Songo. Dan bahkan, di antara petilasan itu merupakan bagian penting dari sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit.

Petilasan dan makam sebagai paket wisata ziarah itu berderet hampir di seluruh wilayah Kabupaten Sumenep. Akan tetapi, sepotong tanah syurga yang ada di Sumenep kurang mendapat sambutan wisatawan. Hal itu disebabkan beberapa hal, di antaranya kurang gencarnya penawaran paket wisata ziarah, dan minimnya sumber daya pengelolaan yang menyebabkan objek wisata itu masih terkesan perawan.

Asta Tinggi
Petilasan sejarah masuknya Islam di Sumenep, menampilkan nilai historis, magic dan spritual sebagai paket kenangan bagi wisatawan ziarah. Beberapa petilasan yang menyimpan sejarah menarik di antaranya Asta Tinggi yang merupakan kompleks pemakaman raja-raja Sumenep. Pangeran Anggadipa, Panembahan Sumolo, Pangeran Jimat, Bendara Saud, Raden Ayu Tirtonegoro, Sultan Abdurrahman dan keluarganya dikebumikan di kompleks pemakaman raja-raja Asta Tinggi. Adipati yang pernah memimpin Sumenep itu memilih tempat yang tinggi sebagai tempat terakhirnya.

Di belakang kompleks pemakaman Sumolo yang beratap kubah berlapis tiga terdapat sebuah kuburan yang diceritakan dan dipercaya orang-orang sekitar dan bangsawan Sumenep sebagai kuburan Pangeran Diponegoro. Bangsawan Sumenep menyebutnya Dipanagara. Entah benar atau salah, yang jelas kuburan itu bertuliskan nama asli Pangeran Diponegoro, Abdul Hamid Sayidin Panotogomo. Dalam buku-buku sejarah pahlawan dari Mataram itu diasingkan di Sumenep oleh VOC. Konon, Pangeran Dipenogoro besanan dengan Sultan Sumenep.

Ketika kekuasaan Belanda merasa terancam oleh perlawanan yang dilakukan Pangeran Diponegoro, beliau diasingkan di Sumenep. Merasa kurang puas dengan pengasingan Pangeran Diponegoro di Sumenep, Belanda mendesak Sultan Sumenep untuk membuang Pangeran Diponegoro ke Makasar. Maka, tanpa sepengetahuan Jenderal de Cok, Sultan Sumenep mengirim santri Pangeran Diponegoro ke Makasar. Hal itu masuk di akal sehat, sebab pasukan Belanda yang diutus mengawal pemberangkatan Pangeran Diponegoro ke Makasar tidak pernah tahu dan mengenal wajah asli beliau. Sementara, Pangeran Diponegoro tetap di Sumenep sampai menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sedangkan di Ujung Pandang terdapat makam Pangeran Diponegoro dalam bentuk yang lebih jelas, dan terawat. Kuburan ini yang diakui kebenarannya oleh beberapa pihak. Akan tetapi, adanya kuburan Pangeran Diponegoro di Asta Tinggi merupakan salah satu keunikan wisata ziarah di Sumenep.

Letak kompleks pemakaman yang tinggi menunjukkan penghuni pemakaman itu adalah dari golongan bangsawan. Pintu gapura dan cungkup di dalam kompleks Asta Tinggi merupakan bangunan yang sangat kontras. Satu sisi, seperti gapura dan kubah dibangun dengan paduan arsitektur Eropa, Cina dan Inggris. Sedangkan cungkup dibangun dengan arsitektur tradisional, Madura dan Jawa. Sebuah simbol bangunan yang mengundang berbagai penafsiran.

Pada liburan sekolah, menjelang Ramadan, dan hari libur nasional Asta Tinggi ramai dikunjungi oleh wisatawan ziarah dari berbagai daerah. Tempat yang strategis, yang berdekatan dengan pusat kota kabupaten, menawarkan satu pemandangan yang unik dengan menampilkan makam raja-raja yang jauh berbeda dengan pemakaman pada umumnya. Petilasan yang masih tampak asli didukung oleh dinding makam terbuat dari kayu berukir, prasasti dengan huruf Jawa, dan bentuk makam yang dipahat dalam bentuk bertingkat-tingkat. Dinding tembok luar sebagai pagar kompleks pemakaman menambah suasana unik, dengan susunan batu bata berukuran besar tanpa bahan perekat. Bentuk dinding tinggi mengelilingi seluruh kompleks pemakaman.

Struktur fisik Asta Tinggi sangat layak menjadi objek wisata. Sayangnya, pengelolaan tidak dilakukan dengan maksimal. Tidak adanya media pendukung, seperti media cetak berupa buku, video yang menjelaskan sejarah adipati yang dikebumikan di Asta Tinggi. Hal itu menyebabkan wisatawan hanya tahu sekilas sejarah Asta Tinggi dan penjaganya. Keterangan yang disampaikan penjaga Asta Tinggi kurang mengena, bahkan seringkali bertentangan dengan sejarah yang ada.

Hal tersebut ditanggapi sesepuh dan budayawan Sumenep, R.P. Abd. Sukur Notoasmoro, “Kalau keterangan yang disampaikan kepada peziarah carut-marut, ini jelas-jelas menyelewengkan sejarah. Karena itu, para juru kunci makam di Asta Tinggi perlu diberi modal pengetahuan sejarah yang mumpuni. Setidaknya, disediakan buku yang menjelaskan sejarah raja-raja yang dikebumikan di Asta Tinggi,” tegasnya beberapa waktu lalu. Lebih jauh sesepuh Sumenep itu menambahkan, sangat disayangkan kalau hal tersebut dibiarkan. Padahal belakangan ini Asta Tinggi semakin ramai dikunjungi wisatawan.

Tempat Ibadah Bersejarah
Masjid Laju (Masjid Lama) merupakan masjid pertama di Sumenep hasil konstruksi Pangeran Anggadipa. Masjid yang tampak sederhana—pada masanya Masjid Laju terkesan mewah—sebagai media penyebaran Islam pada masa permulaan. Bentuk bangunan Masjid Laju pada waktu itu menginspirasi bangunan masjid di pelosok, di bawah kekuasaan Anggadipa. Salah satu bentuk tempat ibadah yang diilhami Masjid Laju adalah Masjid Jamik (Besar) Pasongsongan yang dibangun oleh Syek Agung Ali Akbar.

Masjid yang cukup terkenal karena bentuk bangunannya yang unik adalah Masjid Agung hasil konstruksi Lauw Pia Ngo, cucu Lauw kate, transmigran Cina pertama di Sumenep. Bangunan Masjid Agung (Jamik) menampilkan bentuk yang berbeda dengan bangunan lainnya. Gapura mengingatkan pada tembok Cina yang kokoh dengan penataan yang menarik dan anggun. Kalau dilihat dari luar, ketika kita berhadapan dengan gapura hampir tidak tampak bahwa di balik gapura itu terdapat tempat ibadah. Sedangkan bangunan utama masjid dipengaruhi arsitektur Islam yang tersebear sejak zaman Wali Songo. Atapnya berbentuk tajug tumpang tiga. Lauw Pia Ngo telah memadukan konsep bangunan tradisional dengan konstruksi dari tanah seberang. Memadukan tembok Cina dengan konstruksi Wali Songo.

Letak Masjid Agung di pusat kota kabupaten, sebelah barat alun-alun (kini Taman Bunga). Hampir bisa dipastikan, setiap masjid bersejarah selalu berhadapan dengan alun-alun. Begitu juga Masjid Agung Sumenep. Masjid yang dibangun oleh Panembahan Sumolo itu merupakan perlambang ketaatan penduduk menjalankan syariat agamanya. Masjid Agung tersebut sangat layak sebagai bagian dari objek paket wisata ziarah di Sumenep. Sebab, selain mempunyai nilai sejarah karena dibangun ketika jamam panembahan dulu, bentuk bangunan tergolong unik dan menawan.

Petilasan Keraton
Sumenep sebenarnya hanya sebuah daerah kadipaten. Orang-orang yang memimpin Sumenep sebagai adipati, bukan raja. Akan tetapi, letak yang jauh dengan Pemerintah Pusat, seperti Singosari, Majapahit, Demak, dan Mataram, menyebabkan Kadipaten Sumenep dianggap sebagai kerajaan kecil oleh rakyatnya. Adipati dianggap sebagai raja yang berkuasa atas daerahnya. Daerah kadipaten adalah daerah otonomi luas. Dan kantor adipati dianggap sebagai keraton. Oleh karena letak yang jauh dengan Pemerintah Pusat,

Sumenep memiliki keunikan dengan struktur daerah yang mirip dengan kerajaan pada umumnya. Ada juga yang berpendapat, raja-raja di tanah Jawa hanya mempengaruhi kehidupan Sumenep, bukan berarti memerintah sebagaimana layaknya atasan dengan bawahan. Terlepas dari silang pandang tersebut, petilasan sejarah keraton Sumenep tampil menakjubkan yang diadopsi dari budaya dan kreatifitas yang hidup dan berkembang di zamannya.

Kompleks Keraton Sumenep memiliki 5 buah pintu masuk yang disebut ponconiti. Kini kelima pintu itu hanya tinggal 2 buah, keduanya menghadap ke selatan. Pintu bagian barat berbentuk sederhana sebagai pintu masuk keluarga dalam. Sedangkan gapura bangian timur merupakan pintu gerbang untuk tamu (agung) yang akan menghadap raja. Pintu gerbang untuk tamu itu dibangun dengan bentuk yang unik bernama labang mesem (=pintu yang tersenyum) sebagai perlambang keramahan tuan rumahnya. Keunikan labang mesem itu adalah berupa gapura atau pintu gerbang yang menjulang beratap. Terkesan mewah dan unik, menunjukkan hasil konstruksi Cina, sedangkan dua pintu bagian dalam berukuran kecil sekali. Kalau mau melewati pintu itu harus merendahkan badan, atau berjalan jongkok. Sementara, pintu tengah yang diapit dua pintu kecil, berukuran biasa. Tamu-tamu agung yahg sempat menyaksikan konstruksi labang mesem bagian dalam akan tersenyum-senyum dengan sendirinya.

Di bagian barat kompleks keraton terdapat bangunan keraton lama, yanng didirikan Raden Ajeng Ayu Tirtonegoro ketika masih memerintah. Bangunan ini sudah tidak utuh, dan pendoponya dipindah ke Asta Tinggi. Sedangkan sisinya adalah Dalem Keraton yang menghadap ke Selatan. Sedangkan di baratnya lagi terdapat Langgar Kona (Langgar yang sudah Lama) beratap tajug (piramid) dan denah mirip joglo. Bangunan ini kaya dengan ukiran gaya Majapahit. Konon, di bangunan inilah Bendara Saud menunggu keputusan untuk dilamar Ratu Tirtonegoro.

Di bagian belakang dalam kompleks keraton merupakan daerah kepotren. Di daerah ini terdapat bangunan-bangunan berukuran kecil yang dihuni oleh putri-putri keraton. Daerah ini dibatasi oleh tembok terbuat dari batu bata, sehingga bangunan ini benar-benar terpisah dengan dunia luar. Dulu-dulunya, tidak ada komunikasi dengan dunia luar bagi putri keraton. Kedikdayaan atau menimba ilmu pengetahuan bagi putri keraton tidak terlalu sulit. Raja mendatangkan guru privat sebagai kepercayaan raja untuk medidik putri keraton. Bangunan tersebut sebagai wujud pelaksanaan pingit paraban (memingit anak gadis) yang berlaku di Sumenep.

Keraton yang dibangun pada masa Penembahan Sumolo hasil konstruksi Law Pia Ngo (seperti Masjid Agung), memiliki taman sari sebagaimana layaknya keraton di Jawa. Taman Sari sebagai taman pemandian keluarga keraton. Konon, taman sari merupakan taman pemandian puteri-puteri keraton. Sayangnya, taman sari tidak dibangun secara khusus di dalam daerah kaputren sehingga terkesan mempribadi. Taman sari tersebut berada di sebelah timur di dalam kompleks keraton yang tidak jauh dengan pintu gerbang Labang Mesem. Hal ini, apabila puteri keraton mandi di taman sari, para penjaga keraton yang berada di atas atau di sekitar pintu gerbang akan mudah melihat tingkah laku puteri keraton, juga tamu yang akan menghadap kepada raja.

Di seberang pintu gerbang labang mesem terdapat sebuah bangunan yang kini berfungsi sebagai museum, digunakan untuk menyimpan sebagian kecil peninggalan keraton. Wisatawan menikmati kekayaan peninggalan keraton di museum. Di tempat itu terdapat meja kursi raja, meja kursi juru tulis keraton, peralatan rumah tangga raja, meja, kursi, dan tempat menyimpan surat hakim keraton. Juga terdapat kereta kencana milik keraton. Selebihnya, pusaka, baju perang, Alquran tulisan Sultan Smenep disimpan di sebuah bangunan bagian berat dalam kompleks keraton.

Keraton Sumenep mungkin merupakan satu dari beberapa keraton di Indonesia yang masih terawat dengan baik. Keraton ini menjadi kekayaan tersendiri bagi Pemerintah Kabupaten Sumenep. Pertanyaannya sekarang, kalau keraton juga dijadikan objek wisata, apakah wisatawan diperkenankan masuk ke setiap ruang yang mempunyai nilai sejarah? Sebab kompleks keraton kini dijadikan rumah dinas bupati. Akan tetapi, kalau Pemerintah memang mau menunjukkan petilasan keraton kepada masyarakat umum, sekarang saatnya.

Makam dan Petilasan di Luar Pusat Kota
Makam dan petilasan sejarah di luar pusat kota yang menarik dikunjungi wisatawan dalam paket wisata ziarah berderet hampir di seluruh daerah Sumenep. Misalnya makam Jokotole di Sa-asa Manding. Dalam “Babad Sumenep”, Jokotole merupakan tokoh penting dalam pembangunan gerbang keraton di Majapahit. Hidupnya penuh dengan legenda yang mewarnai kehidupan keraton Sumenep. Ia dikenal sebagai seorang pendekar pilih tanding yang berhasil mengalahkan Sam Toa Lang (Dempo Awang). Ia diambil menantu oleh raja Majapahit yang mengawinkan salah seorang puterinya bernama Dewi Retnadi. Jokotole dikebumikan di Sa-Asa, Manding. Untuk sampai ke makam Jokotole bisa dijangkau dengan mobil.
Tak kalah menariknya juga pasarean yang terdapat di Sepudi. Di daerah itu terdapat dua makam raja, Wirobromo dan Wirobroto. Wirobromo yang bergelar Panembahan Blingi atau Ario Pulang Jiwa merupakan kakek Jokotole. Ia dimakamkan di Blingi, pulau Sepudi. Sedangkan Wirobroto yang bernama asli Adi Poday adalah ayah Jokotole. Adipoday bergelar Ario Baribir dimakamkan di Nyamplong Sepudi. Kedua makam raja tersebut sedikit berjauhan, meskipun berada di pulau yang sama. Sebagaimana makam raja-raja di Asta Tinggi, makam kedua raja yang ada di bawah kekuasaan Majapahit itu juga berada di tempat yang tinggi. Selain itu, pulau Sepudi semakin lengkap dengan adanya pasarean calo’ kodhi’, senjata tajam bertuah yang biasa digunakan oleh kedua raja itu. Pasarean Calo’ Kodhi berada di Ban Assem. Wisatawan ziarah tentu tidak hanya mendapatkan pengalaman spritual, magic dan legenda, tetapi juga pemandangan laut dan alam di pulau seberang. Jarak tempuhnya dengan perahu bermotor dari Kalianget hanya selama 3 jam.

Pasarean Agung Ali Akbar—bernama lengkap Syekh Syamsul Arifin Ali Akbar—berada di Kecamatan Pasongsongan. Kemenakan Bendara Saot, suami Ratu Sumenep, Raden Ajeng Ayu Tirtonegoro, cucu dari Sunan kudus. Agung Ali Akbar merupakan tokoh ulama yang menyebarkan Islam di pesisir pantai utara Sumenep. Di antara peninggalannya berupa Masjid Besar Al-Akbar, dan Langgar Kona yang kini masih terawat dengan baik. Konon, tidak sedikit peziarah Langgar Kona mendapatkan pengalaman magic yang kadang di luar jangkauan akal. Salah satu pengalaman itu dituturkan langsung juru kunci Langgar Kona, H. Abdussalim. Sehabis melaksanakan shalat malam, tutur Abdus Salim, tiba-tiba ia diberi benda oleh orang yang tak dikenal. Ternyata benda itu berupa pusaka yang memiliki nilai yang tinggi. Dan orang yang tak dikenal tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Pengalaman unik lainnya, misalnya, ia pernah didatangi ular berselungkup emas sehabis melaksanakan shalat malam. Sayangnya, ia tidak tertarik untuk menyimpan binatang itu. Pengalaman magic lainnya banyak dialami peziarah dengan cara yang beragam.

Lebih jauh juru kunci Langgar Kona itu berharap Pemerintah ikut peduli terhadap petilasan bersejarah. “Langgar Kona ini dibangun Agung Ali Akbar keika Ratu Sumenep mau bertamu ke desanya,” jelas Abdussalim sambil menjelaskan asal-usul cerita itu.

Sementara itu, hampir semua makam di Pasarean Buju’ Panaongan yang kini mulai ramai dikunjungi wisatawan merupakan keturunan Agung Ali Akbar. Buju’ Panaongan merupakan kompleks pemakaman yang baru beberapa tahun ditemukan dari pendaman pasir yang menggunung di Panaongan. Di kompleks pemakaman itu, konon berdiri pondok pesantren besar yang kini hanya tersisa bekas pondasi musholanya. Panaroma Buju’ Panaongan berbeda dengan petilasan sejarah lainnya. Buju’ ini jelas berada di atas pasir pantai yang membuat peziarah betah berlama-lama di tempat itu. Sekaligus peziarah bisa menikmati suasana pantai pagi, siang atau sore hari.

Masih banyak petilasan sejarah dan makam bersejarah yang menarik untuk dikunjungi wisatawan. Di kecamatan Kota terdapat makam Sunan Padusan, seorang alim yang pertama kali menyebarkan Islam di Sumenep. Juga Pangeran Ketandor yang belakangan mulai ramai dikunjungi wisatawan. Makam dua tokoh penting itu berada di Desa Parsanga. Sayangnya, jalan menuju makam tokoh penting itu tidak bisa dijangkau dengan mobil, harus berjalan kaki sekitar satu kilometer. Sedangkan Panembahan Manderaga yang juga termasuk salah seorang raja Sumenep dikebumikan di Ambunten, Panembahan Joharsari dimakamkan di Seronggi, Makam kedua raja yang disebut terakhir itu bisa dijangkau dengan mobil. Masih banyak makam dan petilasan yang mengandung nilai sejarah sehubungan dengan pengembangan Islam di Sumenep.

Perlu Inspirasi Pengelolaan
Wisata ziarah di Sumenep dengan menampilkan objek wisata petilasan, tempat ibadah, dan makam raja-raja di Sumenep perlu mendapat perhatian khusus dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumenep. Dalam hal ini perlu inspirasi pengelolaan yang serius. Misalnya, setiap juru kunci makam raja perlu dibekali pengetahuan sejarah yang memadai, penerbitan buku petunjuk wisata ziarah, dan pemeliharaan aset dan bangunan kuna agar terpelihara keasliannya.

Menawarkan paket wisata ziarah tampaknya baru pertama kali—kalau memang dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah—dan merupakan satu-satunya di Jawa Timur, bahkan di Indonesia. Dan yang menarik bagi wisatawan, wisata ziarah menampilkan nilai spritual, historis, magic dan legenda dengan kekhasan daerah. Sumenep adalah (sebagian dari) sepotong tanah Syurga yang diletakkan Tuhan di muka bumi, dan disebarkan hampir di seluruh wilayah Kabupaten Sumenep. Sekarang yang dibutuhkan kesiapan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat untuk mengelolanya, dan menawarkan kepada para wisatawan. Itu saja.** —o0o—

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *