Memaknai Hari Raya Idhul Fitri Sebagai Hari Pembebasan

  • Whatsapp

Oleh : Effendi Ishak

Memasuki 1 Syawal 1439 H atau 15 Juni 2018, dalam ajaran Islam adalah hari dimana telah berakhirnya seorang muslim dalam menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Itu sama artinya telah berakhirnya bulan Ramadhan dengan segala aktivitas ibadahnya yang diwajibkan, terutama berpuasa di siang hari. Segala aktivitas Ramadhan dengan puasa sebagai salah satu ibadah utamanya, di isyaratkan agar manusia dalam hidup di dunia ini, kembali ke fitrahnya yang hakiki. Karena itu, memasuki bulan Syawal, yaitu pada hari pertama bulan tersebut, dirayakan sebagai hari perayaan tentang kembalinya manusia ke fitrahnya , atau hari raya Idhul Fitri.

Hari raya idhul fitri, merupakan perayaan hari kemenangan dan keberhasilan manusia untuk kembali ke fitrahnya yang asli atau autentik. Sedangkan fitrah manusia dalam hidup ini, adalah agar : (1) kembali kepada agama tauhid ( Islam ) yaitu agama yang mengesakan dan hanya menyembah Allah SWT, (2) serta menjalankan segala apa yang diperintahkanNya. Esensi persoalan fitrah ini, Surah Ar Rum (30), ayat 30 : ” maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam) ,sesuai fitrah Allah , disebabkan Allah telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.”

Agar manusia dapat kembali kepada fitrah aslinya yang hakiki, maka meminjam model teoretisasi, seorang sosiolog islam , Ali Syari,ati Ph.D , maka sang manusia tersebut harus mampu keluar dari empat rintangan atau penjara yang mengekang dan mengepung manusia tersebut. Penjara itu adalah :(1) kondisi fisik alam tempat bermukimnya ,(2) akumulasi sejarah yang melingkupinya ,(3) keadaan dan lingkungan masyarakat, (4) ego diri, khususnya yang merupakan perwujudan dari nafsu yang tidak dirakhmati Allah. ( Ali Syari,ati, Ph.D 1972 ).

Empat penjara yang melingkupi bagi setiap individu manusia , adalah sesuatu yang harus direspon dan dijawab serta diatasi oleh manusia agar manusia kembali ke fitrahnya yang autentik, yaitu sebagai hamba Allah yang _hanif_, yaitu adalah hamba yang selalu berpegang kepada kebenaran dan tidak pernah meninggalkan kebenaran itu, sebagai mana yang diteladankan nabi Ibrahim AS, ( An Nahl, ayat 120 ).

Agar manusia kembali kepada fitrahnya, *Pertama*, dia harus merenungi alam lingkungan fisik yang melingkupi tempat tinggal dan bermukimnya. Manusia harus mampu menundukkan tantangan pada alam fisik lingkungannya , agar dia dapat mengendalikannya , menyelaraskannya serta kemudian mengambil manfaat yang sebesar besarnya dengan mempelajari hukum kausalitas atau hukum sebab akibat yang dikenal dengan sunnatulah yang melekat pada kondisi alam itu, kemudian digunakan sebagai sarana untuk realisasi dirinya sebagai hamba yang Hanif atau setia kepada kebenaran Ilahi. Bukan sebaliknya, keadaan alam lingkungan : rindang dan kokohnya pepohonan, curam dan tingginya gunung, tebing tebing yang terjal , hutan belantara yang lebat, binatang binatang yang ganas dan buas, sungai yang deras dan lautan yang bergelombang besar , lalu semua diartikan sebagai yang mempunyai kekuatan mistis tersendiri dan bisa membahayakan serta mampu memberi manfaat dan pertolongan pada manusia. Akibat menafsirkan dan memaknai secara salah, maka kemudian harus disembah dan diberikan sesaji tertentu, lalu dipuja dan kemudian jadi sesembahan atau dewa tertentu atau Tuhan tertentu. Maka sampai pada titik ini, terjadilah keyakinan palsu, atau agama palsu. Manusia yang Hanif justru harus mampu mengatasi, mengendalikan, memaknai, memanfaatkan secara benar kondisi fisik alam ini. Kondisi fisik alam dengan segala tantangannya dan manfaatnya tidak lain adalah manifes kebesaran Allah , dan sebagai karunia Allah yang harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk keberlangsungan hidup hamba yang Hanif, untuk berkhidmat dan beribadah hanya kepada Tuhan yang Esa.

Sebagai *penjara kedua* adalah akumulasi sejarah yang melingkupi seorang manusia. Sejarah sebagai peristiwa masa lalu yang merupakan hasil interaksi dan respons manusia atau masyarakat manusia dengan keadaan lingkungan eksternalnya , melahirkan : bahasa, kebudayaan, sistim keyakinan atau agama atau tradisi, sistem ekonomi, sistem kekuasaan atau politik. Semua produk sejarah atau warisan sejarah itu, oleh manusia yang Hanif, kemudian sesungguhnya wajib dipertanyakan , dikritisi dan divalidasi kebenarannya , apakah semua produk produk sejarah itu, inti ajarannya dan konsep dasarnya berorientasi pada tauhid atau pengesaan kepada Tuhan atau sebaliknya pengingkaran pada Tauhid. Sang manusia Hanif secara tegar mengkritisi dan memvalidasi semua warisan atau produk sejarah itu dibawah naungan Wahyu Allah SWT dan sabda Rasul Allah. Karena sebagaimana lazimnya , seringkali produk sejarah sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan masyarakat saat itu. Maka terjadilah pemilahan dan seleksi atau pemurnian total terhadap produk produk sejarah yang ada atau ada juga yang diklasifikasikan sebagai warisan sejarah yang dipertahankan untuk dilestarikan karena validitas ketauhidannya. Dalam konteks ini, maka sejarah bagi manusia atau masyarakat manusia adalah dikatagorekan sebagai penjara.

Sebagai penjara ketiga adalah *sistem dan kondisi masyarakat*. Kondisi masyarakat eksisting pada umumnya mencerminkan nilai nilai atau tradisi tertentu yang digunakan atau yang sedang menjadi pegangan dan rujukan dalam hidup masyarakat. Nilai nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah nilai nilai yang melandasi bekerjanya kelembagaan yang ada dimasyarakat. Nilai nilai jika dikaitkan dengan pemaknaan atas kehadiran Tuhan, maka sesungguhnya seorang Hanif atau hamba yang selalu berpegang kepada kebenaran Ilahiah, seyogyanya masyarakat yang diarahkan atau dimana dia bermukiman selalu diwujudkan dalam masyarakat yang religius bukan masyarakat yang sekuler, atau masyarakat yang semua komponen sosialnya mencerminkan ketuhanan yang maha esa atau tauhid. Karena itu, hamba yang Hanif selalu mengusahakan terwujudnya nilai nilai masyarakat yang religius, agar dia dapat terhindar dari kungkungan masyarakat yang memenjarakannya yang berbasis nilai nilai sekuler atau masyarakat yang liberal – Atheistik.

*Penjara Keempat* adalah justru melekat dalam diri manusia sendiri. Yaitu ego diri, berupa nafsu yang menghujam dalam diri manusia sendiri tapi nafsu itu sebagai nafsu yang tidak dirakhmati oleh Allah SWT. Sebagai nafsu yang selalu mendorong kepada kejahatan bukan nafsu yang dirakhmati Allah, sebagaimana Surah Yusuf, ayat 53 : ” karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi Rakhmad oleh Tuhanku”. Sifat dan dorongan jahat dari dalam diri manusia yang muncul menjadi ego manusia, misalnya : sikap serakah dan pelit tatkala mimiliki kecukupan harta, sikap dengki, sikap curang dan khianat, tidak amanah kalau diberi amanah, riya dan sombong dan pamer untuk segala hal yang dirasa dianggap kelebihan diri sendiri sementara orang lain tidak punya, sikap intoleransi, dengki, tidak rendah hati atau arogan, tidak menjalankan perintah perintah Allah, pelit tapi juga serakah. Semua sifat sifat itu adalah sebagai dorongan nafsu atau ego diri manusia yang tidak dirakhmati Allah. Yang semuanya membuat manusia menjadi beban dalam pembentukan masyarakat yang religius.

Untuk menjadi manusia yang kembali pada fitrahnya , yaitu manusia yang mengarahkan dan mengendalikan lingkungan alam fisik tempat bermukimnya , akumulasi sejarah yang diterimanya dengan sejumlah produk produk sejarah sebagai warisan yang harus diseleksi lalu ada bagian yang dilestarikan dan dimanfaatkannya serta lingkungan masyarakat dengan segala nilai nilai bawaannya yang ada dan kemudian diseleksi, ditolak atau dilestarikan sebagian atau direvisi untuk kemudian diperbaharui . Atau semua upaya pengendalian pada ego yang bersumber dari nafsu nafsu yang negatif yang tidak membawa rakhmat bagi kehidupan atau nafsu yang tidak dirakhmati Allah. Keempat penjara itu dilewati oleh sang Hanif atau hamba Allah yang setia pada nilai nilai Tauhid.

Keberhasilan dalam memahami dan merenungkan empat jenis penjara manusia yang mengekang sang Hanif tadi, lalu kemudian keluar dari empat penjara tadi, dengan memenangkan risalah Tauhid yang dalam prakteknya dilakukan secara totalitas dengan puasa selama sebulan penuh untuk melatih dan menundukkan nafsu nafsu manusia yang tidak dirakhmati Allah dengan amalan amalan lain yang amat dianjurkan seperti: shalat tarawih, i’tikap atau perenungan diri di masjid tentang apa telah dan sudah dilakukan dan apa lagi tugas berikutnya sebagai hamba yang Hanif, melaksanakan zikir untuk mengingat dan mohon ampun kepada sang Khaliq pemilik dan penguasa sejati alam Semesta ini, membaca Al Qur’an dan dengan menghayati arti dan maknanya . Maka bila semua dilakukan terjadilah outputnya hari pembebasan atau hari dimana hamba yang Hanif merayakan hari itu, sebagai pembebasan dari penjara penjara kehidupan untuk penegasan kembali kepada fitrah manusia, sebagai hamba Allah SWT yang Hanif, yang setia pada kebenaran yang wahyukan.Tuhan melalui rasulnya. Dan hari itu dirayakan sebagai hari kembali ke fitrah hakiki kehidupan yang disebut hari raya kembali ke fitrah manusia atau Idhul Fitri. Wallahu alam bissawab.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *