SURABAYA, Bberitalima.com — Ada banyak hal yang memiliki potensi merusak lingkungan perkotaan. Yakni, kepadatan penduduk dengan pemukiman padat yang tidak tertata; Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rusak dan tercemar; kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan fasilitas publik; kebiasaan atau perilaku buruk warga terhadap fasilitas publik; rendahnya komitmen pro-lingkungan pemerintah daerah setempat; serta tidak adanya sistem pengelolaan sampah yang modern dan layak.
Sampah pun menjadi persoalan besar bagi kota-kota besar. Terutama, sampah berbentuk Polysterene Foam (PS) atau orang biasanya lebih mengenal dengan istilah merk styrofoam tergolong sampah yang sulit terurai, sehingga cukup menjadi persoalan. Terlebih, jika warga membuang sampah itu ke sungai dapat mengakibatkan kekumuhan bahkan bisa berpotensi penyebab banjir.
Dalam Forum Group Diskusi khusus tentang “Membangun Sistem Manajemen Sampah dan Timbulan Sampah PS Foam”, yang diselenggarakan Yayasan Peduli Bumi Indonesia (YPBI) bekerjasama dengan Himpunan Program Pasca Sarjana Mahasiswa Universitas Teknologi Surabaya (ITS) dan Inswa, Selasa, 21 Maret 2017 yang berlangsung Gedung Auditorium BG Munaf Fakultas Teknologi Kelautan ITS, Jalan Raya ITS, Keputih, Sukolilo, Kota Surabaya, Jawa Timur, beberapa peserta diskusi mempertanyakan bahwa benarkah PS Foam merupakan permasalahan utama sampah di kota-kota besar. Dan seberapa besarkah prosentase sampah PS Foam yang terdapat di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) dibanding dengan jenis sampah lainnya. “Berbahayakah PS Foam bagi kesehatan, mengingat selama puluhan tahun sudah banyak digunakan untuk kemasan makanan dan baru belakangan dipersoalkan” kata Kata Ananda Mustadjab Latif, Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia (YPBI).
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan kebijakan yang win win solution antara pemerintah, produsen dan user, misalnya mendorong para produsen PS Foam membuat produk PS Foam biodegradeble atau yang bisa terurai. Disisi lain, Produsen turut bertanggung jawab terhadap produknya yang menjadi sampah. Namun Pemerintah juga turut membenahi sistem manajemen pengelolaan sampah yang apik dan modern yang diserta Law enforcement tegas bagi pencemar lingkungan dengan penanganannya bersifat komprehenship. Hal ini dapat ditempuh dengan cara edukasi dan sosialisasi ekolabel 1 dan ekolabel 2 yang telah ditetapkan oleh kementerian LHK dan mengeluarkan banyak SNI untuk produk-produk ramah lingkungan. “Dengan demikian masyarakat memperoleh pengertian yang benar tentang perilaku ramah lingkungan yang berkelanjutan,” jelas Ananda.
Karena itu, diskusi ini digelar untuk mencari sistem manajamen yang cocok untuk daerah perkotaan seperti Surabaya. Alternatif dari PS Foam konvensional yang hancur ratusan tahun saat ini harus diganti dengan PS Foam yang bisa terurai/hancur dalam waktu singkat 5 tahun, tidak lagi ratusan tahun, sehingga menjadi sahabat kehidupan manusia. Tumbuhnya kesadaran produsen, pemerintah dan masyarakat agar turut bertanggungjawab terhadap timbulan sampah PS Foam dan mendorong kreativitas masyarakat agar mampu menangkap potensi ekonomi dari sampah PS Foam (daur ulang). Juga terwujudnya suatu sistem terpadu dan berkelanjutan dalam pengelolaan sampah perkotaan.
Menurut Ananda Mustadjab, azas “polluters pay principle” diharapkan menjembatani perbedaan persepsi antara kalangan industri/pengusaha dengan LSM/NGO dan pemerhati lingkungan (non-state actors) mengenai siapa yang paling bertanggung-jawab atas permasalahan sampah yang belum terkelola secara maksimal. Kalangan dunia usaha seharusnya dapat bergandeng tangan –tidak saja dengan pemerintah daerah atau KLHK- tetapi juga dengan kalangan LSM dan pegiat lingkungan yang relatif lebih kuat jejaring sosial kemasyarakatannya.
Dalam UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah seharusnya dapat lebih dioptimalkan implementasinya agar dampak ikutan akibat permasalahan persampahan dapat terurai dan terkelola secara efektif dan berpegang kepada payung hukum yang komprehensif.
Lebih lanjut Ananda bilang, agar masyarakat bisa memahami mana produk yang bisa merusak lingkungan dan produk yang sudah go green. Intinya, sebuah kebijakan ligkungan juga harus memperhatikan aspek lainnya seperti dampak ekonomi, sosial dan politik.
Sementara itu, Ratu sampah Sri Bebassari yang pernah mendapatkan kalpataru dari presiden Jokowi pada tahun 2015 sering menyampaikan bahwa “Bersih di darat, bersih di sungai dan di laut” artinya bahwa sampah di darat yang dikelola dengan sistem yang tepat akan mengurangi sampah di sungai dan di laut. Jadi perbaiki dulu cara mengelola sampahnya!.
Berdasarkan pengamatan bersama YPBI dan Inswa, pembuangan sampah terbuka (open dumping) di TPA mengakibatkan sampah organik yang tertimbun mengalami dekomposisi secara an-aerobik, dan proses itu menghasilkan gas metana.
Metana sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga 20-30 kali lebih besar dari pada CO2. Sampah menghasilkan gas metana (CH4) dengan kompo sisi rata-rata tiap 1 (satu) ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Data KLH menunjukan bahwa dengan jumlah penduduk yang terus meningkat di Indonesia, diperkirakan pada tahun 2020 sampah yang dihasilkan per hari sekitar 500 juta kg/hari atau 190 ribu ton/tahun.
Oleh karena itu, sudah sangat mendesak semua kota-kota besar di Indonesia memiliki sarana modern pengelolaan sampah dan secara otomatis dibutuhkan alokasi anggaran yang sesuai. Bukan hanya kota provinsi, bahkan kotamadya yang sedang tumbuh pesat sepatutnya segera menyiapkan sarana/tempat pengolahan sampah terpadu dan modern. Dengan demikian maka potensi bencana akibat sampah dan berbagai efek timbulannya dapat dicegah dan dihindari.
“Salah satu cara atau pilihan tehnologi pengolahan sampah yang mampu menghasilkan listrik adalah insenerasi atau pembakaran. Incenaration atau insenerasi adalah suatu metode pemusnahan sampah dengan cara membakar sampah secara besar-besaran. Namun sistem insenerasi tidak berkembang di Indonesia dengan berbagai alas an,” kata dia. (*)