beritalima.com – Saya geli sendiri kalau ada yang mengejek Bahasa Inggris Pak Jokowi. Mereka yang mengejek itu kayak apa kalau ngomong English ya?
Ceritanya, tahun 1997, saya magang sebagai reporter di sebuah surat kabar baru di Solo. Jurnalis-jurnalis pada masa itu rata-rata baru mengenal internet, mulai akrab sama Yahoo. Tapi seorang narasumber bikin kami ndlongop karena dia sudah terbiasa menggunakan internet. Bahkan saat kami datang mau wawancara, kadang dia lagi asyik chatting dengan buyernya di Eropa. Pakai bahasa apa menurut Anda? Bahasa prokem, atau bahasa alay seperti biasa digunakan untuk ejek-ejekan di medsos seperti sekarang? Tentu saja pakai English. Dia yang sampeyan ejek setiap waktu termasuk gaya ngomong Inggrisnya, 1997 sudah menggunakan bahasa itu untuk menghasilkan ribuan dolar. Di setiap acara kunjungan dari luar negeri, saat menjabat walikota, dia juga pidato dengan bahasa Inggris.
Pak Jokowi waktu itu dan sekarang adalah orang yang sama. Dulu kalau datang ke kantornya, baik Asmindo atau Rakabu (pabrik mebelnya) kadang wartawan atau siapapun akan tertipu. Dia adalah Ketua Asmindo, juga bos/pemilih usaha mebel yang diekspor ke berbagai penjuru dunia. Namun dia tidak petentang-petenteng dan bicara dalam nada tinggi seperti gaya orang kaya baru.
Dia berpakaian wajar, sama dengan yg dikenakan tukang-tukang. Tak jarang dia juga terjun langsung membantu tukang di pabrik miliknya. Ketika takdir mengantarnya ke kursi Walikota Solo, dia masih orang yg sama. Orang yg rendah hati dan tak pernah mau terlihat paling menonjol. Tiap Jumat adalah agenda rutin naik sepeda bersama para jajaran kepala dinas dan kepala kantor. Rutinitas yg dinamai dengan “mider praja” (belakangan dikenal sebagai “blusukan”) ini untuk melihat langsung kondisi masyarakat di kampung-kampung, sekaligus memantau pembangunan yang berjalan.
Solo pun berubah 180%. Dari kota yang kumuh menjadi tertata. Dari yang semrawut menjadi rapi. Solo menjadi berseri kembali. Itu pula yang mengantar Pak Jokowi menjabat Walikota untuk kedua kalinya, dengan perolehan suara di atas 90%.
Gibran, sang anak yang pulang dari studi di luar negeri mendirikan usaha katering. Namun satu pesan Pak Jokowi, Chili Pari Catering tidak boleh mengambil order di lingkungan Pemkot Surakarta, tempat bapaknya bekerja. Ini untuk menghindarkan dari KKN, mendorong clean governance. Gibran mesti pontang-panting cari orderan di luar. Saya masih ingat, staf marketing Gibran, mbak Mony, pernah menemui saya– saat itu menjabat manajer lembaga pelatihan jurnalistik. Dia tahu saya biasa menggelar acara-acara dengan melibatkan jasa katering. Dia datang menawarkan kerja sama.
Aturan untuk Gibran itu rupanya tetap berlaku saat Pak Jokowi jadi Guburnur DKI dan Presiden RI. Hal kecil ini tentu menjadi indikator dari sekian banyak indikator lain yang menunjukkan betapa hati-hatinya seorang Jokowi mengelola negeri ini. Jokowi membuat anak-anak jauh dari dunia politik. Tak juga memberi mereka kemudahan dengan memanfaatkan kekuasaan yg dimiliki. Gak ada proyek jalan tol atau mobnas buat Gibran dan adik-adiknya. Mereka dibiarkan berkembang dengan usahanya masing-masing agar tak ada konflik kepentingan.
Sampai sekarang Jokowi tetap orang yang sama. Kalau pulang ke Solo dia makan di warung Soto Triwindu dan Ayam Mbah Karto, dan membiarkan orang yang makan di sana tetap di tempatnya. Saat mampir warung soto yang lejen itu kemarin, saya mendapat cerita dari pemilik warung bahwa staf Presiden baru memberitahu rombongan akan mampir, beberapa menit sebelumnya. Hingga tak ada waktu menyeting lokasi dan menyediakan menu istimewa, apalagi mengosongkan warung. Semuanya dibiarkan apa adanya.
Memilih Jokowi adalah memilih orang yang merakyat, bersih dan bekerja nyata. Lebih dari itu memilih Jokowi adalah memilih orang baik.
Niken Satyawati