Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Sejuta impian indah telah dibayangkan oleh setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Secara dramatis nan romantis sekaligus bombastis para penghulu perkawinan pun biasanya sering melengkapinya untaian kata indah pada saat khutbah nikah. Setelah ijab kabul terucap dari wali dan mempelai pria pertanda “mitsaqan ghalidhan” telah resmi terjalin, hari itu mempelai pria dan wanita bagai raja dan ratu. Semua kemeriahan dan euphoria pesta tertuju kepada dua mempelai yang sedang berada pada puncak asmara itu. Semua seolah terpadu dengan satu kalimat doa konvensional agar kedua mempelai dapat mencapai keluarga yang sakianah mawaddah dan rahmah.
Akan tetapi, biduk rumah tangga yang sedang mengarungi samudra kehidupan itu tidak semua sampai tujuan itu. Banyak di antara mereka karena berbagai problem kehidupan yang tidak pernah terbayangkan harus menagalami kendasnya biduk rumah tangga.
Seperti yang terjadi di Lumajang pada tahun 2015 sebuah rumah tangga yang sudah berjalan lebih kurang lebih 11 tahun menikah harus mengakui kerapuhan rumah tangganya dengan mendatangi pengadilan agama setempat. Djumiran (bukan nama sebenarnya) ‘terpaksa’ harus mohon izin ke pengadilan untuk dapat menjatuhkan talak kepada istrinya bernama Haryatik (juga bukan nama sebenarnya) tentu karena beberapa alasan. Di antara alasan yang sempat dikemukakannya ialah karena istrinya tidak dapat memberikan keturunan. Komitmen berdua semula memang terungkap, bahwa seandaianya nanti tidak dapat memberikan keterangan sang istri akan mengizinkan suaminya menikah lagi. Akan tetapi setelah berselang lebih dari 5 tahun ternyata Haryatik tidak mengizinkan Djumiran menikah lagi. Bagi Haryatik, sekalipun komitmen itu telah dibuat dengan mengizinkan untuk menikah lagi tentu bukan soal mudah. Alasanya tentu mudah ditebak, urusan perasaan tentu tidak bisa dibatasi oleh komitmen-komitmen. Apalagi komitmen itu tidak dibuat secara tertulis. Haryatik pun tentu membayangkan bagaimana perasaannya ketika lagu “Sepondok Ada Dua Cinta” seperti lagu dangdut itu, benar-benar terjadi dalam rumah tangganya. Singkat cerita, tampaknya perbedaan idealisme menyikapi keinginan masing-masing yang tidak ada ujung panagkalnya itu lah yang membuat pasangan muda itu harus bertengkar, yang menurut suaminya telah berlangsung lama dan mencapai puncaknya pada 2 tahun terakhir.
Persoalan berikutnya ketika perkara itu sampai di pengadilan tidak sampai hanya di situ. Di persidangan saat memberikan jawaban di samping menjawab persoalan pokok (seputar alasan suami menceraikannya), Haryatik juga mengajukan sejumlah tuntutan. Bagi Djumiran jika tuntutan itu hanya seputar hak-hak istri yang lazim–seperti nafkah iddah dan mut’ah dengan jumlah tertentu–mungkin maklum. Tetapi kali ini tuntutannya juga mengenai hal yang menurutnya sangat serius dan berpotensi perkara ini jadi ‘ngombro-woro’ (ke mana-mana). Tuntutan dimaksud tidak lain tuntutan terhadap sejumlah “kue hasil perkawinan” berupa harta bersama tertentu.
Terlepas mengenai berapa nilai nominal pengabulan naflah iddah dan mut’ah yang patut dikabulkan dan perbedaan argumentasi hukum antara hakim tingkat pertama di satu pihak dan hakim banding serta hakim kasasi di pihak lain, perbedaan pandangan dalam menyikapi tuntutan harta bersama tampaknya menarik untuk dijadikan bahan kajian hukum. Atas tuntutan harta bersama Haryatik, hakim tingkat pertama memutus negatif dengan “manyatakan gugatan seluruh harta bersama tidak dapat diterima”. Putusan negatif hakim pertama ini oleh Hakim dianulir. Hakim banding berpendapat, tuntutan harta bersama “dikabulkan sebagian dan sebagian lainnya ditolak”. Harta apa saja yang menjadi objek sengketa ini, ruang terbatas ini memang tidak cukup untuk mencantumkan berikut mengulas alasan perbedaan hakim tingkat pertama dan hakim banding tersebut.
Rumah yang berdiri di atas tanah mertua
Meskipun demikian, dalam tulisan singkat ini, penulis terpaksa menyebut salah satu objek sengketa, yaitu salah satu objek senegketa berupa “rumah yang berdiri di atas tanah mertua”. Karena kasus mengenai hal ini sering menjadi perdebatan hakim tingkat pertama dan sering tidak berujung. Persoalan klasiknya ialah bagaimana menyelesaikan harta bersama berupa rumah yang dibangun di atas tanah mertua. Perbedaan pendapat hakim tingkat pertama ini sering harus mengalami persoalan besar ketika dikabulkan dan berikut salah satu pihak mengajukan eksekusi. Sebagai contoh seorang panitera pernah menceritakan pengalamannya, bahwa ia terpaksa harus mebolduser bangunan permanen rumah. Puing-puing bangunan itu selanjutnya diajadikannya dua onggok besar agar diambil oleh masing-masing (suami sitri) sesuai porsinya, dalam hal ini masing-masing mendapat separuhnya. Menggelikan bukan? Tetapi sang eksekutor tentu tidak bisa disalahkan, karena para pihak konon menghendaki demikian dan dia hanyalah pejabat pelaksana yang bekerja atas perintah.
Pengalaman pahit yang demikian sering menjadi rujukan hakim lain, untuk mencari jalan lain agar pengalaman serupa tidak terulang. Cara itu biasanya dengan menstigma gugatan atas objek sengketa yang demikian sebagai gugatan kabur yang layak menyandang predikat putusan negatif. Sikap ini jelas terasa lebih bijak karena 2 alasan. Pertama, untuk sementara waktu bangunan rumah itu selamat. Kedua, memberi ruang berfikir. suami istri yang sedang berada di puncak emosi masing, seiring perjalanan waktu dapat bersikap bijak menyikapinya.
Akan tetapi, putusan kasasi Nomor 53 K/Ag/2015 tanggal 27 Januari 2015 tampaknya telah ikut memberikan solusi dan dapat dijadikan pedoman oleh para hakim di bawah. Dari putusan ini diperolah kaidah hukum, bahwa “gugatan atas rumah permanen yang berdiri di atas tanah mertua harus dikualifikasikan sebagai gugatan kabur”. Sebagai solusinya “yang berkepentingan” harus mengajukannya tersendiri dengan menguraikan secara rinci berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk bangunan tersebut. Dengan demikian hanya nilai bangunan rumah saja yang dapat dibagi. Secara lebih detail dalam putusan itu juga diberikan solusi, bahwa jika diperlukan dapat dihadirkan ‘saksi ahli’ guna menaksir berapa harga bangunan tersebut. Selanjutnya, taksiran harga yang yang dipatok hakim, dalam diktum putusan, dibagi 2 (dua), masing-masing berhak mendapat separuhnya.
Kasus di atas sebenarnya dapat dipetik pelajaran mengenai 3 hal:
Pertama, masyarakat, khususnya setiap pasangan suami istri, hendaknya tetap berhati-hati dan cermat ketika mengumpulkan dan mendata harta yang didapat setelah perkawinan. Sebuah perkakwinan yang semula penuh keindahan sulit diprediksi kelanggengannya. Mendata harta sebagaimana layaknya para Pejabat Negara/ ASN ketika diminta laporan harta kekayaan oleh KPK, mungkin perlu ditiru oleh masyarakat juga. Ketika suatu saat dengan terpaksa harus bercerai, setidaknya tidak sulit harus membagi “kue perkawinan” itu di kemudian hari.
Kedua, bahwa penyelesaian harta bersama dengan menyertakannya pada perkara perceraian pada akhirnya dapat ‘merugikan’ kedua belah pihak. Mengapa? Masing-masing pihak tidak segera mendapat kejelasan status, janda atau duda akibat perkara tersebut harus diperiksa sampai kasasi. Perceraian yang sering sudah sama-sama harus terjadi itu, harus pula menempuh durasi waktu yang panjang, karena tersangkut oleh pemeriksaan harta bersama yang dianggap masih belum selesai. Dalam kasus yang sedang kita bicarakan ini perkara ini di pengadilan tingkat pertama di putus pada 27 Maret 2014 dan baru selesai diputus hakim kasasi pada tanggal 27 Januari 2015.. Hampir setahun Djumiran dan Hartatik dalam status yang tidak jelas, bersuami istri tidak, karena sudah tidak serumah, duda atau janda pun bukan. Padahal, pemeriksaan perkara di tingkat pertama pun tentu sudah memakan waktu yang panjang.
Ketiga, dalam rentang waktu yang panjang itu sering membuka masalah baru, yaitu pelanggaran hukum perkakwinan. Sering terjadi, seorang yang tidak sabar menanti kejelasan status mengambil jalan pintas, dengan menikah sirri. Apabila hal ini terjadi pada laki-laki relatif tidak menimbulkan persoalan. Tetapi bagaimana yang menikah sirri tersebut pihak perempuan. Dia menikah dalam keadaan masih berstatus belum bercerai dari suami pertamanya. Bahkan, sering terjadi ketika perempuan itu harus menikah resmi sudah dalam keadaan hamil tua atau bahkan sudah melahirkan anak. Persoalan baru yang timbul, ketika anak tersebut mau di carikan akta kelahiran, Dinas Dukcapil tidak mau mencantumkan suami barunya sebagai ayah kandung anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tersebut, sebelum ada penetapan dari pengadilan. Dengan kalimat lain dapat dikatakan “memecahkan masalah (harta bersama)–dengan sekaligus menyertakannya pada perkara perceraian—justru menimbulkan masalah (baru)”. Belajar dari kasus di muka, tempaknya perlu ada ‘petunjuk baru’ untuk menyikapi kebolehan mengajkan harta bersama bersamaan dengan pemeriksaan perceraian sebagaimana diatur oleh Pasal 66 ayat (5) UU Nomor 7 tahun 1989. Implementasi penerapan pasal tersebut, tampaknya perlu dilihat secara selektif sesuai urgensi kasusnya. Sebab, jika tidak kadang-kadang tujuan yang semula untuk mencapai penyelesaian perkara yang efektif dan efisien justru sebaliknya. Bahkan, justru sering dapat menimbulkan problem hukum berikutnya seperti dalam kasus di muka.
BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang
Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com