Mempersepsikan Pengadilan Agama

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)
Sebuah kalimat singkat, tetapi bagiku sarat makna, tiba-tiba meluncur dari seorang kondektur bus antar kota. “Tempat sekenan”, katanya ketika saya memberi isyarat akan turun di kantor pengadilan agama (PA) tempat saya bertugas. Sebagian penumpang yang mendengarnya kontan cekikikan. Mendengar celotehan dan ekspresi panumpang lain, mengomentari kalimat kondektur tadi, saya pun masygul. Rasa geli, tersinggung, termasuk perasaan sedikit marah bercampur aduk menjadi satu. Kepenatan perjalanan 17 jam lebih–menuju tempat tugas sejak Minggu siang hingga Senin pagi–itu seolah ‘tertebus’.
Rupanya mereka telah membuat stigma tentang institusi PA dengan stigma tertentu.

Kata “second” dalam bahasa Inggris berarati kedua atau bekas. Ketika diucapkan dengan bahasa Indonesia “gaul”, kata “sekenan” sering diartikan dengan barang bekas atau barang loakan. Ketika kata tersebut dilekatkan dengan instansi PA kebanyakan orang langsung paham, bahwa yang dimaksud “sekenan” tidak lain adalah para janda yang pada umumnya muncul akibat putusan PA. Para aparatnya (sebut saja: Hakim) juga sering dipersepsikan sebagai “hakim tukang cerai”. Sebutan hakim tukang cerai ini malah pernah dilontarkan oleh 2 ahli hukum kesohor di negeri ini (Hamid Awaludin dan Adnan Buyung Nasution) ketika berkomentar (sinis) terhadap putusan peninjauan kembali pembebasan Tomy Soeharto dalam kasus PT Goro Batara Sakti, yang salah satunya melibatkan Hakim Agung dari PA Drs.H. Taufiq, S.H.,M.H. (sebagai Ketua Majelis).

Suatu stigma atas objek tertentu, biasa memang timbul dari persepsi tertentu. Persepsi itu sendiri biasanya timbul dari peristiwa atau kejadian mengenai objek tersebut yang terus berulang. Begitu pula stigma orang tentang PA karena persepsi masyarakat tentang tupoksi PA yang dalam praktik sering menangani kasus perceraian. Akibat keseringan menangani kasus perceraian, PA dipersepsikan sebagai kantor yang menangani “hanya” sebatas kasus perceraian sehingga distigma sebagai kantor perceraian. Aparatnya pun (hakim) lalu disebut sebagai hakim tukang cerai. Stigma demikian tentu tidak sepenuhnya salah.

Khusnul Khuluq, seorang hakim PA, dalam salah satu artikelnya, malah menemukan 4 persepsi masyarakat tentang PA, yaitu: Pertama, Pengadilan Agama adalah tempat bercerai. Kedua, jika pergi ke Pengadilan Agama pasti bercerai. Ketiga, Pengadilan Agama adalah tempat mengurus surat cerai. Keempat, prosedur bercerai yang rumit. Keempat-empatnya terdapat kata cerai. Menurutnya keempat persepsi tersebut ‘tidak tepat’ sehingga perlu diluruskan.

Cara pandang masyarakat terhadap institusi juga berimbas cara menyikapi para aparatnya. Selama ini, masih banyak masyarakat yang beranggapan, bahwa PA adalah identik dengan “Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten”, atau bahkan bawahannya. Ketika seoarang pegawai PA menyebut dirinya bekerja di PA tidak sedikit masyarakat yang mengidentikkan dengan pegawai kementrian yang berkantor pusat di Jalan Banteng Barat Jakarta itu. Sebagai contoh, ketika musim haji mereka pun sering meminta informasi tentang prosedur haji atau menanyakan kuota haji. Ketika ada anggota masyarakat yang mau menikah dan di situ ada pegawai PA, biasanya mereka meminta informasi tentang seputar prosedur pernikahan termasuk biayanya.

Institusi PA juga sering dianggap sebagai pengadilan kelas dua, untuk membandingkan dengan pengadilan negeri yang diaggap sebagai pengadilan yang sesungguhnya. Komentar sinis nan vulgar oleh 2 orang ahli hukum (Hamid Awaludin dan Adnan Buyung Nasution) atas Hakim Agung Taufiq (sebagai ketua majelis) ketika mengabulkan PK Tomy Soeharto di atas, rupanya juga didasari oleh persepsi, bahwa beliau adalah hakim yang tidak mempunyai kualifikasi memimpin sidang kasus pidana yang menarik perhatian rakyat banyak waktu itu. Waktu itu memang belum diberlakukan sistem kamar. Semua Hakim Agung dari unsur PA dengan landasan asas ius curia novit dianggap mampu menangani kasus perkara kasasi dan PK yang diajukan para pencari keadilan menganai perkara apa pun.

Masyarakat rupanya banyak yang belum tahu, bahwa di Indonesia ada 4 lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Jangankan masyarakat awam, di lingkungan birokrasi, yang mestinya tempat para orang terdidik, juga banyak yang awam dalam memandang eksistensi PA. Betapa sering terjadi penyebutan yang tidak tepat ketika menyebut PA–yang pada zaman Belanda disebut Priesterraad–ini. Sering ditemukan dalam forum-forum resmi, sejumlah pejabat ketika berpidato dan membuat surat dinas keliru menyebut PA dan pimpinan kantornya. Sebagai contoh, ketika menyebut pimpinan PA, masih ada yang menyebut dengan sebutan “Kepala Kantor Pengadilan Agama”. Ini sangat berbeda ketika menyebut pimpinan Paradilan Umum yang biasanya langsung tepat yaitu “Ketua Pengadilan Negeri”. Padahal, penyebutan semua nama kantor dan pimpinan pengadilan, selain peradilan militer, seharusnya sama, yaitu Pengadilan Negeri/Ketua Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama/Ketua Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara/Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan seterusnya.

Masyarakat tampaknya juga banyak yang belum tahu, bahwa di antara peradilan-peradilan yang ada dalam sistem kenegaraan kita, PA adalah peradilan yang paling senior dibanding 3 peradilan lainnya. Mengapa? Secara historis, PA sudah ada sejak sebelum pemerintah Kolonial Belanda di Nusantara, yaitu sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam, yang waktu itu dikenal dengan “pengadilan serambi”. Itulah sebabnya, mengapa menurut sebagian ahli, PA sebenarnya merupakan peradilan asli produk nusantara. Sebagai contoh, pengadilan negeri, yang waktu itu bernama Landraad dibentuk oleh Belanda. Dan, sebagaimana diketahui, Belanda masuk Indonesia baru pada tahun 1596 Masehi dan secara formal baru eksis, secara yuridis sejak organisasi dagangnya, bernama VOC berdiri tahun 1602. Dengan demikian, di samping asli produk nusantara, dari segi usia pengadilan agama jelas lebih tua dibanding Pengadilan Negeri.

Sebutan Peradilan Umum di kabupaten/ kota dengan Pengadilan Negeri ini tidak hanya sering menimbulkan persepsi keliru sebagian masyarakat. Akan tetapi, bahkan mereduksi kesetaraan eksistensi PA dengan PN. Malah ada yang menganggap bahwa pengadilan lainnya, termasuk PA seolah sebagai pengadilan swasta. Padahal, sebagaimana diketahui, “Pengadilan Negeri” hanyalah terjemahan dari Landraad. Mestinya jika kita harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan secara konsisten, sesuai dengan kewenangannya, harus disebut Peradilan Umum. Tentang penyebutan 4 lingkungan peradilan ini, kita dapat membaca Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Pasal 1 angka (5) UU Nomor 48 Tahun 2009. Semua ketentuan dalam pasal-pasal tersebut tegas-tegas menyebut 4 lingkungan peradilan yang 2 di antaranya adalah Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Bertolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut maka penyebutan yang tepat mestinya: Peradilan Umum yang terdiri dari dua tingkatan, yaitu: Untuk peradilan tingkat pertama disebut Peradilan Umum…..(diikuti nama ibu kota Kabupaten/Kota), sedangkan untuk tingkat banding Pengadilan Tinggi Umum….(diikuti nama Ibu Kota Provinsi). Seperti Peradilan Agama yang juga terdiri dai 2 tingkatan, yaitu untuk peradilan tingkat pertama disebut Pengadilan Agama…..(diikuti nama Ibu Kota Kabupaten/Kota) dan untuk tingkat banding Pengadilan Tinggi Agama….(diikuti nama Ibu Kota Provinsi). Demikian juga Peradilan Tata Usaha Negara.

Ketidakkonsitenan penyebutan justru mulai ada pada UU Nomor 49 Tahun 2009 yang mengatur eksistensi Peradilan Umum sendiri. Letak ketidakkonsistenannya ialah dalam hal penyebutan peradilan tingkat pertama yang mestinya, seperti penyebutan peradilan tingkat pertama PA dan TUN, disebut juga Peradilan Umum…..diikuti nama Ibu Kota Kabupaten/Kota. Akan tetapi ironisnya, penyebutan Landraad menjadi Pengadilan Negeri tetap berlangsung sampai saat ini. Seolah penyebutan tersebut sudah tepat sehingga tidak perlu dipersoalkan lagi. Fakultas Hukum dari Perguruan Tinggi Umum (atau sebut saja para pakar hukum) hampir semua bungkam mengenai hal ini.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa intitusi PA kini menjadi salah satu sistem peradilan negara dengan kewenangan khusus. Kewenangan khusus itu tidak hanya perceraian. Sesuai Pasal 49 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 pengadilan, yang secara historis telah ada sejak sebelum kolonial Belanda datang di Indonesia, ini mempunyai segudang kewenangan di bidang hukum keluarga. Perceraian hanya satu bagian saja dari berpuluh-puluh kewenangan (di bidang hukum keluarga) yang diberikan undang-undang. Kewenagan tersebut semakin diperluas setelah lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006. Menurut UU tersebut kewenangan di bidang hukum keluarga diperluas dengan kewenangan di bidang ekonomi syari’ah. Ruang lingkup ekonomi syari’ah tersebut mencakup: Bank Syari’ah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah, dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan bisnis syari’ah. Bahkan, di daerah tertentu (Provinsi Nagroe Aceh Darussalam) di PA (Mahkamah Syariah) terdapat kewenanagan di bidang hukum pidana Islam (jinayat).

Dari sisi materi perkara PA ternyata mempunyai kompetensi absolut yang tidak sedikit, akan tetapi mengapa masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan sering mendapat predikat minor sebagai kantor produsen janda?.
Eksistensi PA berikut aparatnya masih dipandang sebelah mata, tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga dalam tata pergaulan lintas sektoral. Tupoksi PA yang langsung menyentuh masyarakat dan kepentingan masyarakat bawah sering kurang diapresiasi oleh ‘penguasa’ setempat. Bahkan, kehadiran PA sering dianggap sebagai kurang penting sehingga tidak perlu mendapat kedudukan yang setara dengan kawannya dari institusi peradilan lain. Mobiltas pelayanan PA yang tinggi sampai lapisan bawah oleh ‘penguasa’ setempat sering dinafikan begitu saja, sehingga tidak perlu mendapat uluran fasilitas seperti instansi daerah lainnya. Bahkan, seperti kawan dari lingkungan peradilan umum. Kalaupun ada satu dua PA yang ‘mesra’ dengan pemkab/pemkot itu hanya terjadi akibat kemesraan secara personal bukan institusional.

Setidaknya ada 2 faktor, mengapa fenomena tersebut terjadi. Pertama, karena faktor historis, dan kedua, karena faktor kewenangan. Secara historis cara pandang PA sudah terbentuk sejak pemerintah kolonial. Kurikulum fakultas hukum dari perguruan tinggi umum yang pada umumnya mempelajari hukum kolonial yang masih berlaku tampaknaya juga mewarisi cara pandang pemerintah kolonial terhadap hukum Islam sekaligus eksistensi PA. Faktor ini oleh Prof. Busthanul Arifin muncul akibat rekayasa ilmiah pemerintah kolonial dan berhasil mempengaruhi sebagian ahli hukum tanah air sampai sekarang. Terkait dengan dunia peradilan, kita tentu masih ingat, peristiwa penting segera setelah pascakemerdekaan. Ketika dilakukan perancangan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman pernah ada upaya ‘penghapusan’ eksistensi PA. Sebuah upaya yang tentu sangat ironis. Mengapa? Eksistensi PA yang oleh pemerintah Belanda saja mendapat legitimasi, justru akan dihapus oleh bangsanya sendiri. Syukurlah rancangan itu tidak pernah terwujud sampai akhirnya lahir UU Nomor 14 Tahun 1970 yang tetap mengakui keberadaan 4 lingkungan peradilan, termasuk PA.

Kewenangan PA yang hanya sebatas perkara perdata juga sering membuat masyarakat atau bahkan pejabat ‘tidak takut’ sedikitpun dengan eksistensi PA. Apalagi, jika masyarakat melihat penampakan PA dalam keseharian yang memang lebih banyak mengurus perceraian. Peningnya para hakim mengadili perkara harta bersama dan perkara kewarisan dengan segala variasi dan dinamikanya, misalnya, seolah ditenggalamkan begitu saja dengan tampilan para colon janda dan duda yang hampir setiap hari mengerumuni gedung PA. Alamaaaak….!

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait