JAKARTA, beritalima.com- Meski Fraksi Gerinda telah menarik diri dari keanggotaan Pansus hak angket KPK, namun fraksi-fraksi lain yang masih bergabung dalam Pansus hak angket, yakni Fraksi Golkar, PDIP, Nasdem, PPP, PAN dan Fraksi Hanura, jalan terus. Lalu, seberapa ‘sakti’ Pansus ini tanpa fraksi lainnya yang ada di DPR?
Apalagi, para ahli hukum tata negara, termasuk ahli hukum administrasi negara, tak sedikit yang berbeda pendapat tentang keabsahan hak angket. Sebut saja, ahli hukum tata negara, Prof. Mahfud MD. Pria asli Madura ini tidak sependapat dengan adanya Pansus hak angket KPK. Alasannya, karena KPK merupakan lembaga independen dan merupakan semacam quasi yudikatif. Selain itu, sesuai undang-undang MD3, hak angket harus disetujui oleh semua fraksi yang ada di DPR.
“Menurut pendapat saya, tidak bisa DPR melakukan hak angkat terhadap KPK. Namanya pendapat boleh saja berbeda,” kata Mahfud MD, dalam satu acara di sebuah stasiun televisi swasta, beberapa waktu lalu.
Hal senada juga dikatakan wakil ketua KPK, Laode Muhammad Syarif. Menurutnya, KPK sudah minta pendapat kepada sekitar seratusan ahli hukum tata negara maupun ahli hukum administrasi negara tentang keabsahan hak angket yang dilakukan oleh DPR terhadap lembaganya.
“KPK tidak boleh dijadikan subyek angket karena bukan eksekutif. Kami (KPK) bukan dibawah presiden. Forum kami di RDP (rapat dengar pendapat),” kata Wakil Ketua KPK, Lade Muhammad Syarif, dalam sebuah acara beberapa waktu lalu.
Namun ahli hukum tata negara, Yusril Izha Mahendra, berpendapat lain. Menurutnya, DPR mempunyai hak untuk melakukan angket kepada KPK. Alasannya, tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntuntutan dalam perkara korupsi.
“Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, ini masuk rumpun mana? Kalau yudikatif jelas bukan. Legislatifkah? Juga bukan. Dalam sistem ketatanegaraan ya masuk rumpun eksekutif,” kata Yusril Ihza Mahendara., dalam sebuah acara di televisi swasta.
Hal senada juga dikatakan salah satu praktisi hukum, Usmanbaraja,SH. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh DPR membentuk hak angket KPK, adalah konstitusional. Karena DPR memang mempunyai hak untuk itu terhadap KPK. Apalagi, KPK dibentuk berdasarkan undang-undang yang notabene produk dari DPR.
“Memang benar KPK ini lembaga independen sesuai undang-undang nomor 30 tahun 2002. Tapi KPK tetap bagian dari eksekutif. KPK menyelidiki, melakukan penyidikan dan penuntutan. Itu tugas eksekutif. Bukan legislatif maupun yudikatif,” kata Usmanbaraja, SH, kepada beritalima.com, Selasa 1 Agustus 2017.
Menurutnya lagi, KPK tidak perlu mempermasalahkan hak angket yang dilakukan oleh DPR, sebelum ada putusan uji materi pasal 79 (3) dan pasal 199 (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
“Polemik ini (hak angket) tidak selesai sebelum ada putusan dari pengadilan (MK). KPK wajib memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat. Jadi kalau diundang DPR, ya datang saja,” pungkas Baraja yang juga ketua DPC Partai Bulan Bintang, Kota Madiun.
Akankah Pansus hak angket akan tenggelam seperti halnya pansus kasus Bank Century dan BLBI? Atau akankah Pansus hak angket benar-benar ‘sakti’ dengan menghasilkan rekomendasi yang ‘menenggelamkan’ KPK? Akankah KPK akan bubar seperti halnya lembaga sejenis sebelumnya seperti Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Operasi Tertib (Opstip) dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN)? Tunggu saja hasil rekomendasi hak angket KPK kepada pemerintah jika uji materi ditolak oleh MK. Namun jika MK mengabulkan permohonan pemohon atas uji materi pada pasal hak angket, dipastikan Pansus hak angket, Tamat. Pasalnya, putusan MK berlaku sejak hakim mengetuk palu.
Untuk diketahui, masalah hak angket, ada pihak yang mengajukan uji materi pasal 79 (3) dan pasal 199 (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) ke Mahkamah Konstititusi. Yang diujikan adalah tentang pasal hak angket. Perkara ini sudah mulai disidangkan sejak 20 Juli 2017. (Dibyo).