Oleh: Saiful Huda Ems.
Jelas sudah, telah “diaminkan” oleh banyak pengamat politik dan praktisi hukum mengenai tulisan-tulisan saya sebelumnya, bahwa di masa kepemimpinan nasionalnya selama dua periode khususnya di awal periode keduanya di tahun 2010 an, SBY tidak hanya telah menguasai lembaga eksekutif melainkan pula menguasai lembaga yudikatif (executive heavy) yang seharusnya merdeka, mandiri, terbebas dari intervensi eksekutif seperti yang pernah kami (Aktivis 1998) perjuangkan selama terjadinya gelombang pergerakan Reformasi ’98.
SBY saat itu menempatkan para operator politiknya di berbagai lini mulai di MA, Kejaksaan Agung dan tak terkecuali di komisioner KPK yang dipergunakannya untuk memukul lawan-lawan politiknya yang tidak mau tunduk melayani birahi politiknya yang buas, brutal dan ganas. Maka terseretlah nama-nama beken yang dianggap sebagai garda terdepan rival politik di internal partainya (Partai Demokrat) ke dalam pusaran arus korupsi. Sebut saja misalnya dari nama itu, yakni Anas Urbaningrum dan lingkaran pendukung utamanya Anas yakni M. Nazarudin, Angelina Sondakh dan beberapa Kepala Daerah yang memiliki hubungan emosional dengan Anas.
Hampir semua elit politisi Partai Demokrat saat itu tau, betapa nama-nama orang yang tersandung kasus korupsi di atas merupakan para politisi yang tidak akan berani melakukan korupsi jika mereka tidak ada “lampu hijau” dari SBY atau setidaknya dari Ibas putra SBY. Olehnya ketika mereka bersaksi di persidangan nyaris semuanya menyebut nama Ibas sebagai salah satu orang yang menerima upeti dari hasil korupsinya. Sayangya operator-operator politik SBY di KPK seperti BW nampaknya sangat lihai memandu hakim-hakim tipikor untuk mengikuti arahannya, hingga sampai masa jabatan SBY dan komisioner KPK di masa pemerintahan SBY selesai, nama Ibas tidak pernah sekalipun dipanggil untuk menjadi saksi apalagi ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
Semua pendiri dan elit Partai Demokratpun tau, SBY dimasa ia menjadi Presiden ataupun sesudahnya, yakni setidaknya menjelang PILKADA serentak 2020 lalu, selalu meminta setoran uang dari para pengurus partainya mulai dari DPD hingga DPC. Dengan membungkus modusnya melalui nama DPP, semua Calon Kepala Daerah dimintai setoran, dan semua setoran itu tidak ada satupun yang AHY dan SBY pertanggung jawabkan di depan Kongres ataupun rapat pimpinan partai. Setoran-setoran ini jumlahnya besar namun lebih besar lagi setoran untuk Cikeas oleh para kader partainya yang menduduki posisi Kepala Daerah ataupun Ketua DPRD ketika SBY masih menjabat sebagai presiden.
Maka, dipilihnya BW menjadi Kuasa Hukum AHY merupakan bukti nyata bahwa sinyalemen selama ini yang menyatakan BW adalah operator politiknya SBY yang ditempatkan di komisioner KPK di masa pemerintahannya, yang dipergunakan untuk memukul lawan-lawan politiknya bukanlah isapan jempol semata. Itu sangat nyata, jelas sekali dan merupakan salah satu bukti ! Oleh sebab itu kita semua berharap, dengan terselenggaranya KLB Partai Demokrat dan dengan terpilihnya Pak Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, jejaring sindikasi mafia Cikeas ini dapat diputus atau dirontokkan !
Apa yang dilakukan oleh Pak Moeldoko dengan para pendiri Partai Demokrat yang dengan berani dan mengejutkan menjungkalkan kepemimpinan AHY dan SBY melalui KLB Partai Demokrat di Deli Serdang itu merupakan suatu pendidikan politik dan pendidikan demokrasi yang baik, dimana Partai Demokrat yang penuh aroma korupsi dan dinasti yang menjurus pada tirani, mulai dirombak, direformasi oleh Pak Moeldoko menjadi partai yang demokratis, terbuka dan modern. Kita harusnya patut bersyukur bukan ?…(SHE).
18 Maret 2021.
Saiful Huda Ems (SHE). Lawyer dan Pemerhati Politik.