‘MENCIBIRI’ Pengadilan Agama

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Dua orang ‘pesohor hukum’ di negeri ini sebut saja Hamid Awaludin dan Adnan Buyung Nasution, saat wawancara, waktu itu dengan TVRI, pernah menyorot keberadaan Drs.H. Taufiq, S.H.,M.H. yang waktu menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung RI. Putusan yang dijatuhkan bersama hakim agung anggota (German Hudiarto dan Soeharto) pada pokoknya dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Pasalnya, Majelis tersebut telah mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali Tomy Soeharto. Dalam putusaannya Majelis PK menyatakan putera bungsu Mantan Presiden Soeharto itu tidak bersalah melakukan korupsi dalam perkara tukar guling aset Bulog dengan PT Goro Batara Sakti sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Putusan PK ini tidak berbeda dengan putusan Majlis Hakim Pengadilan Tingkat pertama yang dipimpin oleh Lalu Mariyun di PN Jakarta Selatan setahun sebelumnya. Akan tetapi, putusan PK ini menganulir putusan Majelis Kasasi pimpinan Almarhum Syafiudin Kartasasmita yang menghukum Tomy selama 18 bulan. Meskipun putusan tersebut diambil bersama atas dasar musyawarah majelis, sebagai ketua Majelis Pak Taufiq dianggap paling bertanggung jawab atas ‘kemenangan’ Tomy Soeharto yang waktu itu baru menjadi otak pembunuhan Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita (Tempo.co 14 Agustus 2003).

Meskipun putusan PK itu diambill oleh Majelis, akan tetapi 2 doktor hukum itu ternyata tetap menyoal keberadaan Pak Taufiq sebagai Ketua Majelis PK. Menurutnya beliau ‘tidak layak’ memimpin sidang kasus yang waktu itu sangat mengundang perhatian publik. Sebagaimana kita ketahui segera setelah menghukum Tomy dengan hukuman 18 tahun penjara, Ketua Majelis Kasasi Syafiudin Kartasasmita, ditembak oleh orang tidak dikenal. Belakangan setelah pelaku tertangkap, ternyata pembunuhan itu didalangi oleh Tomy.

Dengan kasus sepenting itu, mereka berdua pun seolah kompak mencibir ketidaklayakan Pak Taufiq mengadili kasus Tomy itu. Alasannya sangat sederhana, yaitu karena beliau dari Peradilan Agama (PA) yang menurutnya hanya terbiasa sebagai hakim ‘tukang cerai”. Waktu itu, sebelum dibuat sistem kamar seperti sekarang, semua hakim agung dari mana pun berasal memang dianggap cakap mengadili semua perkara yang diterima Mahkamah Agung. Semua Hakim Agung dari unsur PA sering terlibat pula sebagai hakim yang mengadili perkara pidana dan perdata umum. Demikian juga Hakim Agung dari Peradilan Militer. Dengan sistem kamar seperti saat ini, memang tidak mungkin lagi hakim dari unsur PA mengadili perkara di luar kamar agama. Alasan pembuatan sistem kamar yang mengemuka memang tampak sangat rasional. Yaitu agar hakim agung bekerja sesuai keahliannya. Alasan demi mewujudkan profesionalitas Hakim Agung menjadi wacana yang mendapat dukungan publik. Profesionalitas demikian tidak mungkin tercipta, tanpa spesialisasi yang terbangun sejak awal. Reduksi kewenangan mengadili ini, pada pokoknya untuk menciptakan apa yang disebut sebagai “the right man on the right place”. Terlihat dan terasa rasional bukan?

Melihat fenomena yang ada, memang mudah ditebak, bahwa yang melatarbelakangi sistem kamar tampaknya, yang paling utama, adalah bermula dari dominasi opini berbau skeptisisme para ‘pemuka hukum’ terhadap aparat PA. Keilmuaaan para hakim agama diragukan. Kasus Tomy seolah menjadi klimaks dari keraguan itu. Belakangan sistem kamar ini memang membawa ‘hikmah’ bagi hakim-hakim dari peradilan umum. Dengan volume perkara yang lebih besar, kuota membangun karir sebagai Hakim Agung tidak mungkin terkurangi. Sebab, formasi calon Hakim Agung pasti selalu mempertibangkan volume perkara setiap kamar. Khusus kamar agama yang perkara kasasinya (termasuk PK) lebih sedikit tidak mungkin mandapat calon hakim agung dengan jumlah yang sama dengan kamar lain yang volume perkaranya lebih banyak. Dengan sistem pemilihan pimpinan melalui sistem pemungutan suara oleh para Hakim Agung yang ada, di samping tidak memungkinkan orang seperi Prof. Bagir Manan (yang waktu itu dari luar lembaga), jangan pula berharap, setidaknya sulit, ada pimpinan Mahkamah Agung ( Ketua atau Wakil Ketua) dari unsur PA, meskipun masyarakat menghendaki.
Sistem itu sengaja diciptakan. Persoalannya mengapa terlihat sedemikan massif. Mau tidak mau kita perlu merunut sejarah panjang yang melatar belakangi mengapa terjadi demikian.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa eksistensi PA sebagai salah satu kekuasaan kehakiman mengalami pergulatan sajarah yang panjang. Menurut sejarah, PA memang sudah ada sejak menculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusanatara. Kalau hendak membandingkan, mana yang lebih dulu eksis, PA sejatinya lebih dulu eksis ketimbang Landraad (sekarang Pengadilan Negeri). Data sebagai argumentasi mudah kita dapat dengan melihat kapan Balanda masuk di Nusantara.

Sejarah mencatat, PA lebih tua dari landraad (PN searang) sebab PA sudah ada sejak adanya kerajaan Islam. Padahal, kerajaan Islam pertama berdiri pada tahun 1267 di Samudra Pasai (Aceh). Sedangkan, Belanda masuk Indonesia untuk pertama kali baru pada tahun 1596. Tahun 1602 sebuah kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oostindisce Companie) didirikan. Sebagai kongsi dagang yang mendapat hak-hak istmewa dari parlemen Belanda, VOC yang berkedudukan di Batavia semula tidak mengusik eksistesi PA. Tetapi kemudian setelah Belanda menjajah resmi, mulailah cara pandang penjajah berubah. Prof. Busthanul Arifin malah menyebut bahwa perubahan cara pandang ini disebabkan oleh potensi PA yang dapat menjadi penghalang bagi kepentingan-kepentingaan kolonialisme. Karena itu, menurutnya kita dapat menulusuri tindakan-tindakan pemerintah Hindia Belanda di bidang peraturan-peraturan hukum yang dibuat semuanya bertujuan menjadikan PA yang ada sebagai pengadilan yang pada hakikatnya bukan pengadilan ( quasi pengadilan). Dan, yang lebih penting untuk target ini Pemerintah Hindia Belanda membuat rekayasa hukum melalui 3 hal: ide unifikasi hukum, penemuan hukum adat, dan membuat citra palsu pengadilan agama. Bukan, main-main untuk kepentingan itu Paul Scholten sengaja didatangkan. Fakultas Hukum Universitas Indonesialah, waktu itu yang mula-mula dirancang untuk merekayasa hukum. Bustanul Arifin dengan tegas mengatakan, bahwa saat sekarang ini para ahli hukum Indoneia adalah korban dari rekayasa ilmiah hukum kolonial (Lihat: Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Cetakan 1996, karya Prof. Bustanul Arifin, S.H. halaman 80)

Dengan latar belakang historis seperti itu, kita sangat bisa memaklumi jika cibiran terhadap eksistensi para aparat PA (hakim) terus berlangsung sampai saat ini. Bahkan sampai saat ini masih banyak orang beranggapan bahwa PA adalah setingkat atau saudara kandung Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Di kampung atau di masjid tidak jarang Hakim Pengadilan Agama ditanya mengenai syarat untuk melakukan perkawinan sekaligus biayanya. Saat lebaran dalam suasana silaturahmi, hakim PA juga ditanya seputar ibadah haji: berapa kuota haji tahun ini atau kapan dimulai pemberangkatannya. Sampai sekarang juga banyak yang tidak dengan tapat menyebut Pengadilan Agama Kabupaten/Kota. Bahkan, bukan hanya orang awam, para pejabat daerah pun banyak yang keliru. Dalam surat menyurat sering kita jumpai penulisan sampul surat masuk tertulis dengan variasi kalimat: Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Kabupaten/Kota…… atau Kepada Yth. Kepala Kantor Pengadilan Agama…. atau Kepala Kantor Pengadilan Agama Negeri …….atau Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Negeri…….Padahal, yang benar ialah: Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama….(diikuti nama ibu kota kabupaten/kota)

Semua kesalahan penyebutan itu, merupakan sebagian contoh kecil warisan rekayasa hukum, yang di samping telah memunculkan stigma kurang sedap kepada para aparat PA (Hakim), juga mewariskan cara pandang masyarakat ( baik masyarakat umum atau masyarakat birokrasi) ke lembaga. Sampai-sampai, menyebut nama kantor PA saja jarang yang bisa benar. Kalau sudah demikian, kiranya saat ini memang sangat urgen kita berharap lagi, muncul para pejuang-pejuang hukum PA. Pejuang-pejuang hukum yang dapat terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam pergulatan menentukan arah politik hukum nasional. Untuk memperolah pejuang hukum ini diperlukan aparat PA yang mampu membaca dengan cermat alur pergulatan politik yang penuh dinamika akhir-akhir ini. Aparat ini jelas yang bisa diharapkan mampu “menari sesuai irama gendang”. Demi sebuah perjuangan, tidak mudah terpancing untuk melawan arus kekuasaan. Sebaliknya, pandai berkomunikasi dengan berbagai elemen kekuasaan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sangat monumental yang disahkan 29 Desember 1989 saat Orde Baru, merupakan hasil karya pejuang-pejuang hukum dengan tipologi demikian.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait