KEDIRI, beritalima.com | Ada salah satu peninggalan masa lampau berbentuk arca yang terletak di Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Yang menarik dari arca ini adalah perwujudannya, dan ukurannya cukup besar. Arca tersebut berwujud raksasa Dwarapala, dan Totok Kerot, itulah nama arca yang tersebut.
Untuk mengetahui lebih jauh keberadaan arca Totok Kerot itu, Serda Dwi Babinsa Bulupasar dari Koramil Pagu bersama tim ekspedisi mengkonfirmasi kebeberapa nara sumber, serta literasi yang dapat dipercaya kebenarannya. kamis (27/6/2019)
Salah satu diantara 3 nara sumber, sebut saja SN (62 tahun), sehari-hari menekuni sektor pertanian, namun dibalik itu, ia juga menekuni dunia spritiual. SN tinggal di Desa Bulupasar, dan dari penuturannya, arca tersebut berkarakter wanita.
Menurutnya, secara umum keberadaan Dwarapala tidak bisa dipastikan jumlahnya, tergantung besar kecilnya bangunan utama. Patung tersebut bisa berjumlah lebih dari satu, bisa empat, delapan atau duabelas, dan diletakkan sebagai “Lokapala” atau penjuru mata angin. Sedangkan patung yang terletak di Desa Bulupasar ini, jumlahnya hanya satu.
Ia menceritakan, Dwarapala ini dulunya terpendam dalam tanah, dan setelah digali hanya bisa dilihat sebagian wujudnya saja. Namun, saat ini Dwarapala itu bisa secara utuh dapat dilihat perwujudannya.
Dikatakan SN, Dwarapala itu dulunya adalah sosok putri, dan ada 2 versi terkait riwayatnya. Versi pertama, putri ini mengadu kesaktian dengan Sri Aji Jayabaya. Dari adu kesaktian itu, putri tersebut kalah melawan Sri Aji Jayabaya, dan dikutuk menjadi patung berbentuk raksasa atau Dwarapala.
Versi kedua, putri tersebut bernama Dewi Surengrana, dan putri itu kontra dengan Dewi Sekartaji. Status Dewi Surengrana, dan Dewi Sekartaji, adalah istri dari Sri Aji Jayabaya. Dewi Surengrana memiliki sifat, perilaku, dan watak ang buruk selama hidupnya, dan orang disekitarnya menyebutnya Totok Kerot. Sebutan itu berasal dari kata “Methotok” atau bersungut-sungut, dan “Kerot” atau membunyikan giginya. Setelah meninggal, Dewi Surengrana diwujudkan sebagai arca Totok Kerot.
Berdasarkan pengamatan dilokasi, wujud Totok Kerot ini sendiri adalah sosok raksasa perempuan dengan rambut terurai, duduk jongkok satu kaki tegak, mata melotot, mengenakan mahkota, dan kalung berbandul terkorak, serta lengan sebelah kiri terputus.
Berbeda dengan R (69 tahun), warga Desa Bulupasar, diceritakannya, arca Totok Kerot merupakan perwujudan dari sosok putri di era pemerintahan Sri Aji Jayabaya dengan nama lain Ci Maharaja Sang Apanji Jayabhaya Cri Warmecwara Maddhusudhanawatara Sultrasinghapakrama Digjajottunggadewanama atau Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Dijelaskannya, Sri Aji Jayabaya adalah jelmaan dari Sang Hyang Wishnu Murti.
Berdasarkan sumber lainnya, Sri Aji Jayabaya memerintah Kerajaan Kadiri pada tahun 1135 hingga 1157 Masehi. Kepastian masa pemerintahannya dibuktikan dengan keberadaan prasasti Hantang yang terletak di Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, dan dalam prasasti tersebut, termuat nama Sri Aji Jayabaya.
Pembuktian masa pemerintahan Sri Aji Jayabaya juga termuat dalam prasasti Talan, prasasti Jepun, dan Kakawin Bharatayuddha.
Prasasti Hantang sendiri, terbuat dari batu andesit dengan bentuk ujung atas agak bulat, dan huruf atau angka yang termuat dalam prasasti tersebut bertuliskan aksara Jawa kuno. Sisi kanan prasasti ini terdiri dari 26 baris, dan sisi kiri terdiri dari 29 baris. Dalam prasasti ini terdapat segel tanda enam berpola atau “Sang Jahna Wiyali”, dan cap kerajaan berupa “Narasingha” yang berbunyi Pangjalu Jayati.
Dijelaskan R, patung ini tidak utuh perwujudannya, karena lengan sebelah kirinya putus, dan kemungkinan besar, putusnya lengan itu terjadi saat dilakukannya pengangkatan arca dari dalam tanah. Sedangkan bagian tangan yang putus tersebut, masih menjadi misteri keberadaannya. Belum diketahui secara pasti bentuk original bagian lengan sebelah kiri yang putus itu.
Sumber lain, DA (53 tahun), warga Desa Bulupasar, arca Totok Kerot merupakan bagian dari budaya masa lampau yang identik dengan Hindu dan Budha. Menurutnya, dari sisi budaya, Dwarapala dipuja sebagai makhluk setengah dewa yang disebut dengan Yaksha yang berasal dari alam Asura.
Bentuk atau wujud Dwarapala berbeda-beda, DA mencontohkan Dwarapala lain yang ada di Candi Gempur, Desa Adan-adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Di desa tersebut, arca yang terbuat dari batu andesit itu berbeda dengan arca Totok Kerot.
DA menambahkan, Dwarapala sendiri berasal dari kata “Dwara” dan Gopala”, Dwara artinya pintu atau gerbang, sedangkan Gopala artinya penjaga. Versi lainnya, Dwarapala diartikan “Gupolo” atau bila diterjemahkan artinya Retjo Pentung.
Dari referensi lain, patung ini biasa ditempatkan secara berpasangan dan saling simetris mengapit jalan masuk menuju lokasi bangunan utama. Keberadaan Dwarapala ini memiliki filosofi yang serupa dengan “Dharmapala” atau pelindung dharma, dan fungsinya sebagai penolak bala terhadap aura negatif atau kekuatan jahat.
Dikatakan DA, ada filosofi dibalik keberadaan patung Dwarapala ini, yaitu loyalitas tanpa batas yang menembus waktu atau perubahan jaman ke jaman. Patung tersebut sering diabaikan, lantaran posisinya ada diluar bangunan utama, dan orang lebih cenderung memperhatikan bangunan utamanya ketimbang yang diluar.
Namun, Dwarapala tetap setia menjaga bangunan utama, walaupun jarang orang yang memperhatikannya, karena Dawarapala lebih mengutamakan tanggungjawab besar dipundaknya daripada popularitas maupun perhatian dari apa yang sudah dilakukannya. (dodik)