Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagiamana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU Nomor 50 Tahun 2009, dibuat 2 kategori perceraian, yaitu “cerai talak” dan “cerai gugat”. Banyak orang yang belum tahu, perbedaan cerai talak dan cerai gugat. Secara garis besar cerai talak ialah perceraian yang diajukan oleh suami. Sedangkan cerak gugat ialah perceraian yang diajukan oleh istri. Sekalipun ujung-ujungnya perceraian juga, tetapi proses dan konsekuensinya berbeda. Itulah sebabnya dalam UU diatur oleh pasal yang berbeda. Cerai talak diatur dalam Pasal 66 sedangkan cerai gugat diatur dalam Pasal 73. Pada cerai talak, suami sebagai pengaju perkara disebut “pemohon” dan istri sebagai “termohon”.
Pada cerai gugat istri sebagai pihak pengaju perkara disebut “penggugat” dan suami sebagai “tergugat”. Hanya saja dalam Kompilasi Hukum Islam sebenarnya dimungkinkan perceraian diajukan dengan cara di luar kedua cara tersebut, seperti khuluk (talak tebus), fasakh (pembatalan nikah), dan takliq talak (pernyatan putus perkawinan karena pelanggaran janji). Akan tetapi beberapa lembaga hukum terakhir ini, kini setelah berlakunya UU Nomor 7 Tahun 1989 relatif jarang, bahkan hampir tidak, digunakan lagi oleh masyarakat.
Sekalipun pada akhirnya kedua lembaga hukum (cerai talak dan cerai gugat) itu berakhir dengan putusannya perkawinan akan tetapi isi diktum pokok putusan hakim juga berbeda. Pada perkara cerai talak, diktum pokok putusan hanya berisi izin pengadilan untuk suami menjatuhkan talak kepada istri. Setelah diizinkan, kalau para pihak tidak mengajukan upaya hukum dan putusan sudah berkekuatan hukum, pengadilan akan memanggil kedua belah pihak untuk menghadiri sidang ikrar talak. Sedangkan pada cerai gugat diktum pokok berisi tindakan pengadilan (hakim) ‘menceraikan’ perkawinan istri dan suami. Tindakan pengdilan dalam kasus cerai gugat ini merupakan tindakan hakim mengambil alih hak talak yang dimiliki oleh suami. Oleh karena hak talak merupakan hak suami, sekalipun istri yang mangajukan, maka diktumnya selalu berbunyi “menjatuhkan talak tergugat (suami) kepada istri (penggugat)”.
Tindakan pengadilan mengambil alih hak talak suami ini merupakan tindakan pemaksaan kepada suami. Sama dalam kasus cerai talak, pada cerai gugat sikap pengadilan diambil setelah melihat kenyataan bahwa kedua belah pihak, memang tidak mungkin dapat dirukunkan lagi. Kerja pengadilan demikian sering tidak difahami oleh para suami. Sering dalam kasus gugatan cerai, suami sengaja tidak datang. Harapannya, agar perceraian yang diajukan istrinya tidak bisa berlanjut dan dengan demikian gagallah upaya istri menuntut cerai. Sikap suami demikian jelas keliru. Sebab, sekalipun dia tidak datang, percerian tetap bisa terjadi karena dua hal. Pertama, apabila dia (suami) telah dipanggil secara sah (resmi dan patut). Kedua, gugatan istri tidak melawan hak atau beralasan. Sebagai contoh, ada seorang suami mau melaporkan istrinya ke polisi yang menikah lagi padahal dia belum pernah merasa mentalaknya, baik di pengadilan atau di luar pengadilan. Setelah ditelusuri ternyata istrinya menikah karena sudah mengantongi akta cerai. Akta cerai tersebut dibuat panitera dengan dasar putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tergugat (suami) telah dipanggil secara sah dan gugatan istri tidak melawan hak. Suami tersebut menyangka bahwa perceraian yang dilakukan istri tidak bisa terjadi jika tidak menghadiri sidang. Ada pula suami yang beranggapan belum pernah merasa mencaraikan istri karena dia belum pernah tanda tangan.
Akan tetapi, yang membuat kita patut prihatin ialah mengapa kasus cerai gugat kini hampir di semua pengadilan agama, selalu lebih banyak dari kasus cerai talak. Dengan kalimat lain, kini lebih banyak istri yang meminta cerai dari pada suami. Data kasar menunjukkan perbandingannya hampir 80 persen perceraian didominasi perkara cerai gugat. Fenomena ini tentu sangat menarik dari sisi sosiologis. Ada fenomena sosial apa sehingga kini tren kasus istri minta cerai lebih banyak dari suami yang menceraiakan isrti. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya fenomena tersebut? Pada akhirnya pertanyaan tersebut kemudian memang menarik, dari sisi akademik, untuk dijawab. Penelitihan menganai hal itu jelas perlu dilakukan, setidaknya karena 3 hal.
Pertama, perempuan sering distigmakan sebagai tiang negara. Ada ungkapan yang sangat terkenal mengenai hal ini: “Wanita adalah tiyang negara. Apabila waniuta itu baik, msksksn bsiklsh negara. Apabila wanita rusak, maka rusaklah negara.” Ungkapan yang sering dikemukakan oleh para pendakwah sebagai hadits ini sebenarnya menurut Prof. Ali Musthofa Ya’qub, termasuk hadits bermasalah. Oleh karena itu menurutnya tidak layak disandarkan kepada nabi. Akan tetapi, terlepas hadits atau bukan, mengumpamakan wanita sebagai tiyang menggambarkan bahwa keberadaaan wanita dalam suatu negara amat penting. Menurut “Kitab Lisanul Arab” tiyang diartikan sebagai sesuatu yang menyokong atau menyangga. Dengan kata lain wanita sebagai tiang negara sebagai bentuk pokok kekuatan kehidupan.
Kedua, ketika rumah tangga sebagai unit sosial yang terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anaknya. Oleh karena itu, jika suatu keluarga baik suatu negara akan sejahtera pula. Dengan banyaknya wanita minta cerai—yang karenanya rumah tangga bubrah—maka akan menempatkan wanita sebagai tertuduh biang bubrahnya bangsa dalam suatu negara.
Ketiga, sudah menjadi stigma religius bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita (Surat An-Nisak 34 ). Stigma ini kemudian telah pula dilembagakan secara yuridis dalam Pasal 31 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 1974, bahwa “suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.” Pasal–yang sering dipermaslahkan pada aktivis perempuan karena bertentangan dengan emansipasi dan keseteraraan gender—ini, memang seolah menempatkan hegemoni suami dalam rumah tangga, baik dari sisi psikologis maupun sosiologis. Dengan banyaknya istri menuntut cerai ini, akankah disimpulkan bahwa hegemoni itu kini telah luntur?
Terlepas dari apapun yang menjadi faktor penyebab, tampaknya kini memang telah terjadi perubahan sosial. Perubahan ini pada akhirnya masuk ke dalam ranah kehidupan rumah tangga. Dalam banyak hal perubahan tersebut sering menguntungkan wanita. Dalam bidang politik misalnya adanya aturan pemberian quota 30 persen keterwakilan wanita. Aturan tentang kewajiban kuota 30 persen bagi caleg perempuan adalah salah satu capaian penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia pascareformasi. Aturan tersebut tertuang dalam sejumlah UU, yakni UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR-DPRD yang di dalamnya juga memuat aturan terkait Pemilu tahun 2009. Sejumlah aturan tersebut tampaknya ikut menginspirasi peran wanita di berbagai sektor, khususnya bidang lapangan kerja. Sebagai contoh, dulu banyak sektor jasa hanya bisa diduki kaum pria kini banyak yang diambil alih kaum wanita. Berapa banyak pelayan toko dan mall lebih banyak di duduki kaum wanita. Siapa nyangka pula, kini justru banyak wanita yang bekerja di SPBU menggeser kuota laki-laki. Ketika ada permintaan tenaga kerja dari luar negeri lebih banyak tanaga kerja wanita yang dibutuhkan sebagai TKW, sekalipun hanya sebagai asisten rumah tangga.
Ilustrasi tersebut hanya dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa dampak dari peran-peran wanita tersebut, sudah mengakibatkan para wanita kini lebih berdaya secara ekonomi. Ironisnya, perubahan demikian sering tidak disadarai oleh para suami. Banyak suami bersikap layaknya ‘tempo doeloe’. Dalam persoalan domestik keluarga, misalnya, sering para suami masih bergaya menempatkan diri sebagai pemegang hegemoni rumah tangga, padahal pada saat yang sama, prasyarat untuk itu sudah tidak dipunyainya. Dalam contoh kasus misalnya, seorang istri mau berangkat kerja, suami tidak kerja. Di samping harus mempersiapkan sarapan pagi, istri harus pula mengurus anak-anak dengan segala tetek bengeknya. Anehnya, pada saat-saat demikian, suami hanya duduk-duduk di ruang tamu sambil menikmati kopi bikinan istri dan sebatang rokoknya. Mengapa suami bersikap demikian karena, menurutnya, pekerjaan domestik rumah tangga, seperti memasak, mencuci pakaian, mengurus anak, membuat kopi adalah kewajiban istri yang tabu dilakukan suami. Dalam suasana demikian, beberapa suami malah ada yang sering bertindak bodoh: “melakukan kekerasan dalam rumah tangga”.Seminggu atau dua minggu mungkin istri bisa bertahan dalam kondisi demimian. Akan tetapi, suasana ketidakadilan ini pasti ada batasnya. Pada akhirnya, keberadaan para suami yang justru merepotkan itulah yang sering membuat istri membuat langkah eksrim: minta cerai!
Wahai para suami, waspadalah!