Mengapa Narkoba di Indonesia?

  • Whatsapp

Banyak pemuda di Indonesia mengklaim narkoba sebagai solusi kebugaran prima. Ada lagi yang bilang, “barang haram” itu bisa meningkatkan kreatifitas pemakainya.

Hal-hal semacam itu tampaknya sudah biasa terlintas di kuping mereka.Tapi beberapa pemuda ada yang merasa takut dengan narkoba, ada juga yang tidak. “Gak takut sama narkobanya, takut sama orang yang kena narkoba. Nekat dia bisa bunuh orang,” kata Ifan Marpaung, seorang mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.Data Kementerian Kesehatan (2016) memaparkan bahwa pengguna narkoba biasanya dari usia 10 sampai 50 tahun –terbanyak usia produktif 17-45.

Tren itu sudah sangat berbeda dibanding tahun 1900-an, saat narkotika dan obat/bahan berbahaya hanya sebagai pelarian semata. Para pengguna pun tidak lagi datang dari anak orang kaya yang broken home dan mereka yang punya uang berlimpah.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Dr dr Fidiansjah, Sp.KJ, MPH, menjelaskan bahwa di tahun 2017, orang kurang mampu juga sudah terjebak di lingkup candu akan narkoba.Uniknya, Indonesia hanya dianggap negara transit semata pada awalnya.

Para pengedar internasional pesimis dengan Tanah Air yang begitu religius, penuh norma-norma sosial, dan terkesan tidak punya uang. “Sehingga gak mungkin lah menurut para bandar dan sindikat itu Indonesia bisa dipengaruhi,” jelas Fidiansjah. Karena itu Indonesia hanya sebagai negara transit barang narkoba, yang setelahnya akan masuk ke negara-negara lain yang sudah target mereka. Tapi sialnya, ada kelompok-kelompok kecil yang iseng menyebarkan ke sejumlah kalangan di Indonesia. Hingga sampai pada saat mereka sadar dan mungkin berkata ‘wah bisa nih jadi target’.

Sejak saat itu, polanya berubah. Pemerintah Indonesia pun menyebut polanya terstruktur, sistematik, dan masif.“Bagaimana caranya bagi orang yang mungkin gak punya, dimulai dengan diberikan secara gratis,” jelasnya.

Ketika gratis itu mereka nikmati, akan ada ketergantungan (sakau), yang pada akhirnya mereka dilepas.Jika sudah sakau, mereka akan terjerat, semiskin apapun kondisinya. Faktor kemiskinan itu lah yang membuat pengedar internasioal menawarkan cara ‘bertahan hidup’ dengan membantu suplai narkoba ke berbagai wilayah. “Jadi konsepnya demi mencari target baru, sehingga kebutuhannya terpenuhi, (dan) makin banyak lagi,” ungkap Fidiansjah. Manipulasi-manipulasi seperti menjual barang-barang, mencuri, pasti dilakukan jika sudah terjerat kecanduan. Hingga akhirnya, orang yang utuh sekalipun, maksudnya tidak broken home, bahkan religius dan sudah mapan, bisa terjaring pola itu. Dan suatu kebanggaan bagi mereka, Indonesia mampu menjadi salah satu produsen narkoba.

“Bukan lagi target tapi dia sudah bisa menghasilkan menjadi sesuatu, merekayasa produk-produk baru,” papar Fidiansjah.
Produk-produk baru pun muncul, bahkan diekspor ke mancanegara. Produk-produk itu seperti tembako sung go kong, tembako gorilla, dan tembakau yang biasa disebut sabu, ekstasi, sudah bisa diproduksi sendiri.

“Tidak perlu lagi menunggu dari pada para bandar-bandar internasional datang. Tapi rumah-rumah home industry, (sudah) bisa menghasilkan,” maklum Fidiansjah, karena memang masalah ekonomi Indonesia cukup parah.Jadi waspadalah bagi kalian yang masih belum tersentuh narkotika, alkohol, atau apapun itu yang membuat candu.

Rukun Tetangga, Kepala Desa, Kecamatan, Kelurahan, sangat mungkin terjamah oleh mereka para pengedar.Cara mereka yang paling klise ialah menawarkan obat dengan iming ‘kayaknya lu lagi ada masalah ya? Nah, ini nih ada nih, sesuatu yang bisa bikin lu seger, sesuatu yang bikin semangat, terbebas dari masalah’, atau ‘Keliatan badan lu gemuk banget. Ini ada obat pengurus’, dan lain rayuan tak menggoda lainnya.

“Tawaran-tawaran ini yang mereka tidak tahu bahwa itu akan menimbulkan ketergantungan. Memang mungkin kelihatan di tahap awal efek yang ditawarkan itu dia rasakan. Tapi dibalik dari pada efek tadi, ada efek adiksi,” ungkapnya. Efek yang membuat nagih lalu tergantung, dan akhirnya berbalik jadi menyakitkan.

Desri Syaftiyani
Mahasiswa
Politeknik Negeri Jakarta

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *