Oleh: Dr. H. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si***
Jamak diketahui bahwa selama ini perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dalam perkara cerai gugat terutama nafkah iddah, madiah, mut’ah dan nafkah anak oleh hakim tidak maksimal.
Kalau dalam cerai talak sudah cukup banyak ditemukan tetapi dalam perkara cerai gugat belum sesuai harapan sangat sedikit. Minim sekali putusan cerai gugat yang didalamnya ada keberanian hakim untuk menghukum Tergugat (suami) memberikan kepada Penggugat (isteri) tentang nafkah iddah, madiah, mut’ah dan nafkah anak, baik atas permintaan Penggugat maupun secara ex officio hakim.
Penelitian AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership For Justice 2) tentang analisis putusan perkara perceraian tahun 2018 cukup mengejutkan. AIPJ2 menganalisis 447.417 putusan perkara cerai yang diajukan di PA kemudian menyimpulkan bahwa rasio perempuan mengajukan cerai di PA adalah 7 dari 10 perkara cerai di Pengadilan Agama (PA).
Dari jumlah tersebut hanya 1 % putusan perkara cerai di PA yang terdapat permohonan pemberian nafkah isteri. Diperkirakan ada 850.000 anak yang kena dampak perceraian, tetapi hanya 1 % perkara mengajukan permohonan nafkah anak dan dari jumlah tersebut 50 % dikabulkan oleh hakim PA.
Alasan perempuan mengajukan perceraian adalah 13 % mengalami kekerasan fisik, 29 % suami tidak menafkahi anak, dan 61 % suami meninggalkan rumah lebih 2 tahun tanpa alas an yang jelas.
Data penelitian AIPJ2 diatas semakin menegaskan belum maksimalnya perlindungan hak-hak isteri dalam perkara perceraian, khususnya cerai gugat. Padahal beberapa tahun belakangan ini sudah ada sejumlah ketentuan dan terobosan hukum yang dibuat Mahkamah Agung dan Badilag untuk memaksimalkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dalam perkara cerai gugat baik melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma), Surat Edaran MA tentang pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar, maupun melalui Buku II.
Ketentuan dan terobosan tersebut yang dapat dicatat diantaranya adalah Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Perma ini merupakan terobosan hukum luar biasa dari pimpinan MA terkait perlindungan hukum hak-hak kaum perempuan.
Salah satu pasal dalam Perma ini menegaskan bahwa hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan Hukum harus mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis. Hakim juga harus melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender (pasal 6).
Disamping itu juga ada sejumlah SEMA tentang hasil rapat pleno kamar diantaranya SEMA Nomor 2 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa amar pembayaran kewajiban suami terhadap isteri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut:”…yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan.
SEMA Nomor 4 Tahun 2016 huruf C angka 5 menegaskan bahwa “PA secara ex officio dapat menetapkan nafkah anak kepada ayahnya apabila secara nyata anak tersebut berada dalam asuhan ibunya”. SEMA Nomor 3 Tahun 2015 huruf C angka 14 menegaskan bahwa amar putusan mengenai pembebanan nafkah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10 % sampe dengan 20 % pertahun dari jumlah yang ditetapkan, diluar biaya pendidikan dan kesehatan.
Terkait cerai talak ada SEMA Nomor 1 Tahun 2017 huruf C angka 1 menegaskan bahwa pembayaran kewajiban akibat perceraian, khususnya nafkah iddah, mut’ah dan nafkah madliyah, dapat dicantumkan dalam amar putusan dengan kalimat dibayar sebelum pengucapan ikrar talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila isteri tidak keberatan atas suami tidak membayar kewajiban tersebut pada saat itu.
Buku II edisi Revisi tahun 2013 (hal. 149 sd 150) dimana gugatan nafkah anak, nafkah isteri, iddah, mutah dapat diajukan bersamaan dengan cerai gugat dan hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah iddah terhadap suami sepanjang istrinya tidak terbukti nusyuz.
Ketentuan dan terobosan hukum diatas sesungguhnya menunjukkan pimpinan MA dan Badilag sangat concern pada perwujudan perlindungan hak-hak isteri serta kesetaraan gender dalam pemeriksaan perkara dan putusan cerai. Mengapa perlindungan hak-hak isteri tetap tidak maksimal meskipun sudah ada Perma, SEMA, dan Buku II sebagaimana uraian diatas?
Setidaknya, ada tiga hal yang menyebabkannya, yaitu pertama, ketentuan fikih klasik yang dipegangi sebagian hakim; kedua, kesulitan dalam eksekusi; dan ketiga, tidak mau repot membuat pertimbangan hukum.
Penyebab pertama tentang ketentuan fikih klasik yang dipegangi sebagian hakim. Alasan ini nyata ada dipegangi sebagian hakim. Alasan ini didasari keyakinan bahwa isteri yang mengajukan cerai dalam perkara cerai gugat tidak berhak untuk mendapat hak-hak isteri seperti nafkah iddah dan lain-lain.
Mengapa tidak berhak nafkah iddah? Beberapa argumen yang disampaikan diantaranya karena dalam cerai gugat amar putusannya adalah talak satu bain sughra dimana suami tidak punya hak rujuk lagi, berdasarkan hadis Nabi bahwa hak nafkah dan tempat tinggal hanya dimiliki oleh seorang perempuan apabila suaminya masih memiliki hak rujuk kepadanya (HR. Ahmad dan Nasai).
Secara fikih sebagaimana diuraikan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitab al Fiqhu wa Adillatuhu (juz 7, hal. 658 sd 659) bahwa para ulama sepakat perempuan yang ditalak raj’i berhak mendapatkan nafkah iddah dan tempat tinggal.
Terhadap perempuan yang ditalak ba’in dan tidak hamil (seperti dalam perkara cerai gugat), ulama fikih berbeda pendapat yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: Hanafiyah berpendapat tetap berhak nafkah iddah dan tempat tinggal; Hanabilah berpendapat dia tidak berhak nafkah iddah dan tempat tinggal; dan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat dia hanya berhak tempat tinggal, tidak berhak nafkah iddah. Tetapi semua sepakat mengatakan bahwa apabila perempuan tersebut dalam keadaan hamil, maka dia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Penyebab kedua, kesulitan dalam eksekusi. Hakim menilai bahwa hak isteri yang ada dalam putusan cerai gugat sulit untuk dieksekusi oleh suaminya, apalagi suaminya tidak pernah hadir dipersidangan. Belum lagi biaya eksekusi lebih besar daripada nominal nafkah yang diperoleh. Faktor ini juga kadang menjadi alasan sebagian hakim tidak memberikan hak-hak isteri dalam perkara cerai gugat. Buat apa mencantumkan dalam putusan, toh akhirnya tidak bisa atau sulit dilaksanakan.
Penyebab ketiga, tidak mau repot membuat pertimbangan hukum. Ini memang tidak logis, tapi dalam praktek kadangkala ada hakim yang enggan menggunakan jabatannya untuk secara exofficio memberikan nafkah iddah jika isteri tidak nuysuz karena malas membuat pertimbangan hukum. Kalau berdasar penelitian AIPJ2 diatas berarti banyak hakim yang tidak menggunakan perlindungan nafkah iddah secara exofficio.
Banyaknya beban perkara yang disidangkan yang tidak sebanding dengan jumlah hakim yang ada semakin membuat berat hakim untuk menegakkan perlindungan hak isteri terutama jika tidak ada dalam tuntutan gugatan. Belum lagi tuntutan one day publish dan minut yang juga mungkin menjadi pertimbangan tersendiri.
Melihat tiga penyebab diatas, tentu masih banyak PR dan tantangan kedepan untuk mendorong agar hakim PA semakin peduli menegakkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan dalam perkara cerai gugat.
Kelihatanya melalui Perma dan Sema aja tidak cukup, tapi perlu langkah nyata pencerahan secara massif untuk merubah pola pikir dan paradigma hakim agar lebih pro keadilan dan kesetaraan jender. Betulkah? Wallahu a’lam.
***Wakil Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Madiun (Kelas I B).