Mengapresiasi Para Generasi ”Smart”

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Dalam rangka meningkatkan kerja sama, Universitas Islam Indonesia (UII) dan Mahkamah Agung bersepakat melakukan penandatanganan MoU pada Selasa (29/6) secara virtual. Acara tersebut dihadiri Dr. Drs. H. Aco Nur, S.H. M.H. selaku Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.
Pada acara Seminar Internasional dan Penandatanganan MoU antara UII dan Mahkamah Agung RI ini, Dr. Drs. H. Aco Nur, S.H. M.H. selaku penyaji mengemukakan adanya perjanjian MoU antara Mahkamah Agung dan UII ini tak lain untuk saling berintegritas dalam meningkatkan sumber daya manusia mejadi lebih aktif dan inovatif kelak. ”Kerja sama ini bertujuan untuk membuka kesempatan bagi aparatur peradilan agama untuk bisa mengikuti pendidikan tinggi baik itu jenjang S2 maupun S3 yang diadakan oleh Universitas Islam Indonesia. Selain itu kerjasama juga akan dikembangkan dalam bentuk workshop, pelatihan maupun penelitian yang berhubungan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia khususnya di lingkungan peradilan agama,” ungkapnya. Ia juga menjelaskan bahwa di tengah tengah kuatnya arus problematika kemasyarakatan ini, seorang aparatur negara setidaknya memiliki empat kriteria dasar yang harus dimiliki dan diamalkan setiap saat. Empat kriteria yang dimaksud adalah berilmu, professional dalam hal yudisial, berpengalaman dan yang terakhir adalah berintegritas kuat.

Dalam rangka menjawab tantangan di masa sekarang ini para hakim dan aparatur peradilan agama hendaknya memiliki empat kriteria. Empat kriteria ini adalah berilmu pengetahuan, berkemampuan teknis yudisial yang handal, berpengalaman, dan berintegritas. “Seorang aparat peradilan haruslah seorang terpelajar, berpengatahuan dan mempunyai wawasan yang luas” ungkapnya dalam acara yang bertemakan Peran Peradilan Islam dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Masyarakat”, The Role of Religious Court in Realizing Social Justice in Society.
Sementara Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T. M.Sc, Ph.D. mengungkapkan saat ini instansi sudah sepatutnya untuk saling berintegritas dalam membangun peradaban dunia yang lebih cerdas. Saat ini bukan lagi persaingan, bukan lagi kompetisi tetapi adalah kolaborasi dan kerjsama. “Sehingga kami menyambut baik uluran tangan dari Mahkamah Agung untuk mengajak kami bekerja sama untuk banyak hal. Dan mudah- mudahan penandatanganan nota kesepahaman hari ini menjadi titik awal untuk mengisinya dengan beragam kegiatan bermanfaat di masa masa yang akan datang,” tutur Prof. Fathul.”

Pendidikan Hakim di Indonesia
Narasi di atas merupakan berita yang ditulis dalam laman UII Press dengan judul “UII dan Mahkamah Agung Jalin Kerjasama” (https://www.uii.ac.id/29 Juni 2021). Sengaja saya kutip apa adanya agar, di samping lebih orisinil yang lebih penting agar tidak bias ketika keterbatasan nalar saya, salah menyimpulkan berita penting itu.
Perbedaan yang paling menonjol pendidikan pada Strata-1 dengan Strata-2 apalagi Strata-3 adalah pada S-1 mahasiswa “tahu sedikit tentang hal banyak” sedangkan pada S-2 atau S-3 adalah “tahu banyak tentang hal sedikit”. Pada S-1 berbagai basis keilmuan, pada fakultas apapun, banyak dipelajari tetapi semuanya belum dilakukan secara mendalam. Secara umum, mata kuliah apa pun balum dikaji secara mendetail. Kalaupun ada yang sedikit mendetail, hanya karena mata kuliah tersebut memang menyangkut spesifikasi fakultas yang bersangkutan untuk membedakan fakultas yang satu dengan yang lain. Sedangkan pada pendidikan S-2 apalagi S-3 mahasiswa akan diberi suguhan keilmuan tertentu yang dibahas secara mendetail. Bahkan pada tataran S-3 ini, mahasiswa dituntut untuk menemukan hal-hal baru yang belum ada sebelumnya. Jika mengacu kepada dunia kedokteran, pendidikan pada S-1 hanya meluluskan seorang dokter umum. Sedangkan pada pendidikan S-3, akan diperoleh para dokter spesialis.

Sebagaiamana dikemukakan di atas bahwa ada sejumlah ekspaktasi yang diharapkan dari kerja sama akademik dengan perguran tinggi. Harapan itu tidak lain: berilmu, profesional dalam hal yudisial, berpengalaman, dan yang terakhir adalah berintegritas kuat. Berilmu merupakan salah satu harapan penting yang diharapkan menjadi capaian utama menempuh pendidikan pascasarjana. Pertanyaan yang perlu kita ajukan, apakah kurikulum perguruan tinggi yang ada selama ini sudah menyediakan keilmuan yang sesuai dengan keperluan dapur pengadilan tempat para hakim memasak hukum? Apakah ketika hakim akan memasak hukum dapat memperoleh bumbu-bumbu yang diperlukan sebagai bahannya sehingga bisa menciptakan jenis masakan yang di samping enak juga punya cita rasa kekinian? Saya kira ini yang selama ini perlu dicermati.

Pola Lain Pendidikan Hakim Lanjutan
Pengamalaman menunjukkan bahwa, ketika masih kuliah di S-2 mata kuliah yang ada sering tidak linear dengan spesifikasi yang diperlukan bagi keilmuan hakim. Perguruan tinggi tentu tidak boleh disalahkan. Sebab, sebagai pihak penyelenggara pendidikan tinggi eksistensinya terikat oleh system, antara lain, bernama ‘kurikulum’. Pada saat yang sama dunia peradilan mempunyai kebutuhan keilmuan yang belum sepernuhnya terakomodasi oleh PT. Dalam praktik perkuliahan sering ada kesenjangan antara mata kuliah yang harus diajarkan, di satu pihak, dengan kebutuhan riil dunia penegakan hukum yang dibutuhkan hakim, di pihak lain. Sebagai contoh mata kuliah mengajarkan keilmuan secara teori, sedangkan hakim memerlukan kerangka keilmuan (ketrampilan) memecahkan kasus perkara. Dalam dunia akademik tentu tidak mungkin sebuah kelas S-3 hukum, setiap hari di bawa kepada suasana diskusi (latihan) memecahkan kasus. Karena di samping guru besarnya bukan seorang praktisi, yang kuliah pun tidak semuanya para praktisi. Akhirnya, keilmuan dari pendidikan tetap tidak aplikatif (non aplicatable). Kasus putusan tentang ‘penundaan’ pemilu menjadi salah bukti monumental mengenai hal ini. Contoh lain yang sedikit menggelikan ialah bagaimana seorang magister hukum ekonomi syariah bisa tidak diloloskan dalam seleksi hanya sekedar ingin mengikuti sertifikasi hakim ekonomi syariah.

Kegalauan demikian setidaknya pada tahun 90-an pernah disinggung oleh M.Yahya Harahap ketika masih aktif sebagai Hakim Agung, dalam tulisannya pada salah satu majalah hukum. Menurutnya, dengan mengambil pola di Jepang (?) beliau tampaknya menginginkan ada pola khusus pendidikan hakim lanjutan yang setara dengan S-2 dan S-3. Bahkan, agar terjadi kesamaan persepsi dalam penegakan hukum perlu adanya pendidikan lanjutan dalam satu wadah yang sama antar penegak hukum, seperti jaksa, pengacara, dan hakim. Selama ini latar pendidikan hukum yang berbeda dari mulai pengajarnya (guru besar), ‘aliran’ perguruaan tinggi yang berbeda-beda jalan pikirannya mengakibatkan perbedaan dalam menyikapi satu persoalan hukum oleh para penegak hukum. Tunggakan perkara yang menumpuk di MA, menurut mantan Hakim Agung tersebut, salah satuya disebabkan karena hal ini. Dengan demikian ke depan basis pendidikan hukum harus mengacu kepada keilmuan ‘Perguruan Tinggi Hukum’ versi ini bukan sebaliknya sebagai yang selama ini terjadi. Metode berfikir yang sama antara penegak hukum (jaksa, pengacara, dan hakim) diharapkan dapat mengurangi carut marut dunia penegakan hukum.

Generasi “Smart”
Satu hal yang patut dibanggakan, semangat para hakim untuk mentaati himbauan para petinggi MA selama ini, perlu mendapat acungan jempol. Sebelumnya, pada dekade tahun 1990-an ketika Wakil Ketua Mahkamah Agung dijabat oleh M. Taufiq juga pernah ditandatangani kerja sama di bidang pendidikan tinggi pascasarjana ini antara Mahkamah Agung dengan Universitas Muslim Makassar. Banyak hakim lintas pulau (PTA Ambon dan PTA Jayapura) mulai dari hakim anggota sampai pimpinannya, berduyun-duyun menempuh S-2 tersebut.

Semangat mereka lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa mereka sejatinya merupakan generasi cerdas (smart generation). Bahkan, mereka rela menyisihkan sebagian gaji, meninggalkan keluarga, menggunakan waktu di tengah kesibukan menangani perkara tidak hanya semata- mentaati himbauan atasan, tetapi lebih dari itu karena mereka memang haus ilmu dan, yang lebih khusus, tentu demi rasa tanggung jawab kepada kelangsungan institusi dunia peradilan. Di luar pendidikan formal, mereka pun ada yang aktif membekali diri dengan membuat jaringan, dengan basis keilmuan tertentu secara virtual (zoom) antar sesama hakim. Oleh karena itu, dalam konteks dunia penegakan hukum, tentu akan sayang jika para generasi cerdas ini eksistensinya ‘mubadzir’ hanya karena mendapat asuhan sekaligus asupan yang kurang tepat.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait