Budaya tanah Jawa memang menyimpan sejuta keindahan dan keagungan yang tetap dipegang teguh oleh masyarakatnya, termasuk soal adat pernikahan. Bagi kalian perempuan atau laki-laki keturunan Jawa, pasti sudah tak asing lagi dengan istilah Malam Midodareni dalam pernikahan. Apalagi buat kalian yang memiliki orangtua yang masih kental berbudaya Jawa.
Menurut pernikahan adat Jawa, Midodareni adalah sebuah prosesi menjelang acara panggih dan akad nikah. Midodareni sendiri berasal dari kata widodari yang dalam bahasa Jawa bermakna bidadari. Mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa sendiri mengenai alasan diadakannya acara prosesi Midodareni, karena konon pada malam itu para bidadari dari khayangan turun ke bumi dan bertandang ke rumah calon mempelai wanita guna ikut mempercantik dan menyempurnakan calon pengantin wanita.
Midodareni menurut Sri Supadmi Murtiadji dalam buku Tata Rias Pengantin Gaya Yogyakarta (1993 : 16) juga diartikan sebagai acara tirakatan atau wungon, yaitu duduk-duduk sambil berbincang-bincang pada malam hari, pada waktu hajatan. Tirakatan juga mengandung unsur permohonan, doa kepada tuhan agar pernikahan yang dilaksanakan mendapatkan anugerah-Nya.
Adapun prosesi Malam Midodareni sesuai urutan ialah :
1. Jonggolan (Nyantri)
Jonggolan (Nyantri) adalah datangnya calon pengantin pria ke tempat calon mertua. Njonggol diartikan sebagai menampakkan diri. Pada saat Malam Midodareni, calon pengantin pria melakukan jonggolan tidak didampingi oleh orangtuanya. namun hanya di dampingi oleh wakil keluarga yang telah ditunjuk oleh orangtua pengantin pria. Pada saat Malam Midodareni, calon pengantin pria memberikan bingkisan (Seserahan) dalam jumlah ganjil kepada calon pengantin wanita.
2. Tantingan
Pada Malam Midodareni calon pengantin wanita hanya diperbolehkan berada di dalam kamar pengantin dan yang dapat melihat hanya saudara/tamu yang wanita saja. Kedua orangtua mempelai wanita mendatangi calon pengantin wanita di dalam kamar, menanyakan kemantapan hatinya untuk berumah tangga. Setelah itu, calon pengantin wanita akan menyatakan ikhlas menyerahkan sepenuhnya kepada orangtua.
3. Pembacaan dan Penyerahan Catur Wedha
Catur Wedha adalah wejangan (nasihat) yang disampaikan oleh calon bapak mertua/bapak calon pengantin wanita kepada calon pengantin pria. Diharapkan Catur Wedha ini menjadi bekal untuk calon pengantin dalam mengarungi hidup berumah tangga nanti.
4. Wilujengan Majemukan
Wilujengan Majemukan adalah silaturahmi antara keluarga calon pengantin pria dan wanita yang bermakna kerelaan kedua pihak untuk saling berbesanan. Selanjutnya ibu calon pengantin wanita menyerahkan angsul-angsul atau oleh-oleh berupa makanan untuk dibawa pulang dan juga orang tua calon pengantin wanita memberikan kepada calon pengantin pria berupa :
●Kancing gelung : seperangkat pakaian untuk dikenakan pada upacara panggih
●Sebuah pusaka berbentuk dhuwung atau keris, yang bermakna untuk melindungi keluarganya kelak.
“Sebelum pernikahan berlangsung, malamnya saya menjalani prosesi Midodareni karena merasa lebih sakral ketika menggunakan prosesi adat Jawa. Terlebih lagi, kedua orangtua memiliki darah Jawa yang sangat kental dalam keluarga. Selain itu, saya juga ingin melestarikan kebudayaan Jawa yang mungkin sudah mulai luntur. Oleh karena itu saya melaksanakan Malam Midodareni,” papar Evi Pusparini selaku masyarakat yang menjalani Midodareni.
(Kalika Diah Prameswari Marpaung/PNJ)