Penulis: Andi Andur
“Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapat imbalan sesuai pengorbanannya” -Gus Dur
Tepat 17 tahun lalu atau 24 Desember 2000, sekitar pukul 17.00, Riyanto, kala itu berusia 25 tahun, berpamitan pada ayahnya, Sukarmin, kini berusia 69 tahun. Mengenakan seragam loreng hijau khas Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU) dan mengendarai vespa kesayangannya, Riyanto menuju tempat tugas untuk bergabung dengan kepolisian mengamankan kebaktian di gereja Eben Haezer, Jalan Kartini Nomor 4, Kota Mojokerto, Jawa Timur.
Tanpa tanda-tanda, tanpa sedikit pun firasat buruk, pertemuan tersebut ternyata menjadi sapa mesra terakhir sang pahlawan kepada ayahnya. Kakinya melangkah ringan, Allah seperti menunjuk ia sebagai Yohanes Pembaptis yang menunjuk jalan menjelang kedatangan sang Juru selamat seperti kisah dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Tugas yang diemban Riyanto muda sangat berat, memberi nyawa untuk keselamatan para sahabat adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ia benar-benar paham arti ajaran Cinta Kasih Yesus untuk sesama. Tanpa sekat primordial ia berkorban, tanpa tameng kepentingan politik ia menyerahkan dirinya sebagai pelayan Tuhan yang tangguh, tanpa basa basi menunjuk teori toleransi ia membuktikannya, dengan cinta dan keberanian yang luar biasa ia menjadi pahlawan pemilik kasih melimpah dan tak berkesudahan.
Terlahir sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara, Riyanto yang penurut menjadi tulang punggung keluarga membantu ayahnya yang adalah tukang becak. Pemuda kelahiran Kediri, 19 Oktober 1975 ini begitu rendah hati dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya sebagai kakak bagi adik-adiknya dan anak untuk kedua orang tuanya, Sukarmin dan Katinem.
Bekerja sebagai penimbang kedelai koperasi, Riyanto mencintai orang lain dengan cara-cara yang sangat sederhana namun sarat makna kehidupan. Pemuda warga Lingkungan Sabuk RT 02 RW 04, Kelurahan/Kecamatan Prajurit Kulon, Kota Mojokerto itu potret dalam pigura Indonesia yang majemuk, damai dan tenteram.
Sekarang, 17 tahun sudah ia beristirahat dalam ketenangan. Kisah tentang dirinya seolah lenyap dari permukaan. Banyak orang tampak pandai beretorika tentang toleransi, menelanjangi diri mereka sendiri di ruang-ruang publik media sosial, tanpa malu mereka berteriak, tanpa sebab mereka berdebat dan Riyanto masih tenang dengan kesederhanaannya. Mari dengan sujud syukur kita lantunkan pujian untuk berkat terindah Allah dalam diri Riyanto, Si Pemilik Kasih Tak Berkesudahan itu dengan menyempatkan diri berdoa untuk perdamaian di seluruh dunia, perdamaian di seluruh bangsa, perdamaian di Indonesia, perdamaian antar sesama dan perdamaian untuk diri kita masing-masing.
Teruntuk Riyanto, orang yang akan selalu kita kenang. Orang yang selalu kita ingat dalam setiap derap langkah perjalanan bangsa kita. Kami mencintaimu sahabat.
Peringatan akan perayaan Natal tahun ini bertepatan dengan peringatan 17 tahun berpulangnya almarhum Riyanto, Banser NU yang merelakan dirinya menjadi martir demi menyelamatkan jemaat dalam misa Natal tahun 2000 silam. Beberapa waktu belakangan pun banyak orang termasuk saya membuat statement: AKU INDONESIA, AKU PANCASILA.
Itu wajar dan menunjukkan kecintaan pada Indonesia dan Pancasila. Namun satu pertanyaan muncul adalah apakah rasa cinta itu kemudian melahirkan JIWA MILITAN untuk berani menghadapi mereka yang ingin menghancurkan Indonesia dan Pancasila?
Kasih, mengasihi dan doa mendoakan serta ampun mengampuni. Itu bahasa saleh dan suci yang selalu kita ucapkan. Namun tidak cukup hanya itu. BUTUH KEBERANIAN MENGATASI HIDUP DAN DIRI KITA SENDIRI. Pada poin ini saya salut dengan sosok Mas Riyanto (Banser NU) yang menunjukan kasih, doa dan pengampunannya untuk orang lain, meski ia harus meninggalkan kita semua, meninggalkan kesatuan Banser yang setia menjaga Pancasila dan Indonesia, meninggalkan dunia demi Toleransi Indonesia dan tegaknya Pancasila.
Di tengah hiruk pikuk intoleransi oleh kelompok radikal dan terorisme, nama mas Riyanto seakan tenggelam dengan munculnya status-status viral di FB ataupun di twitter yang berbicara soal toleransi dan ajakan damai. Korban-korban intoleransi menjadi viral dan menarik perhatian, sedang seorang Riyanto yang tidak hanya menjadi korban kejahatan terorisme tetapi berani mengorbankan nyawanya untuk toleransi Indonesia seakan tak luput dari pembicaraan, meski sekedar melalui keluarga ataupun Banser NU.
Memeluk bom di malam Natal 24 Desember 2000 adalah sebuah keberanian meski resiko kematian di depan mata. Namun itu tidak menyurutkan semangat mas Riyanto. Memeluk bom yang kemudian mengakhiri hidup Beliau, menunjukan kepada kita bahwa kematian beliau hanya untuk MERANGKUL DAN MEMELUK TOLERANSI, PERSATUAN INDONESIA DAN TEGAKNYA PANCASILA. Dan pelukan mas Riyanto itu menjadi keselamatan bagi umat gereja Eben Haezer – Mojokerto, meski dia harus wafat oleh kejahatan preman agama.
Kepergian Riyanto dengan cara memeluk bom dan meledak dalam pelukannya menegaskan bahwa “MAS RIYANTO ADALAH SAUDARA, SESAMA KITA KARENA KEMANUSIAAN YANG RELA MATI UNTUK TETAP MEMELUK, MERANGKUL TOLERANSI INDONESIA DAN TEGAKNYA PANCASILA DAN TIDAK MENGHENDAKI PELUKAN ITU DIHANCURKAN OLEH SIAPAPUN TERMASUK KELOMPOK-KELOMPOK RADIKAL DI INDONESIA”.
Slogan Aku Indonesia, Aku Pancasila tak akan berarti apa-apa ketika kita tidak berani seperti mas Riyanto: Memeluk dan merangkul toleransi Indonesia dan tegaknya Pancasila dari gerombolan preman beragama yang terus melakukan kejahatan untuk memecah belah Indonesia dan mengancam tegaknya Pancasila.
Sahabat, saudara kita Mas Riyanto telah meninggalkan kita dan mewariskan semangat bela Indonesia dan Pancasila. Akankah kita juga seperti Beliau? Akankah slogan Aku Indonesia, Aku Pancasila menjadi sebuah keberanian untuk “melawan” atau sekedar kita doakan, kita harus mengasihi??
Untukmu sahabat, saudaraku Mas Riyanto: Kubangga padamu dan melanjutkan semangat keberanianmu untuk memeluk toleransi Indonesia dan tegaknya Pancasila.