Menghalau ‘Kambing Hitam’ Yang Sering (Dialamatkan) ke Sekolah

  • Whatsapp

( Sekilas Refleksi tentang Tripusat Pendidikan )

Hj Suparmi, S.Pd.
( Guru Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 Banyuwangi)
Setiap peringatan hari pendidikan nasional nama Ki Hajar Dewantara tidak mungkin kita lupakan. Tanggal 2 Mei yang kita jadikan momen peringatan tersebut memang merupakan hari kelahiran sang pendidik yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 itu. Tokoh pendidik yang oleh Belanda pernah dibuang ke Bangka karena tulisannya yang berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) ini, memang pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional. Ketokohannya di dunia pendidikan dapat kita rasakan sampai sekarang.
Salah satu konsep pendidikan darinya yang terkenal sampai sekarang adalah konsep tiga lingkungan pendidikan yang lebih sering kita kenal dengan “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu lingkungan pendidikan keluarga, lingkungan perguruan atau sekolah dan lingkungan pendidikan masyarakat.

Pada pusat pendidikan yang pertama atau lingkungan keluarga, Muzakkir sebagaimana dikutip oleh Silmi Nurul Utami (kompas.com 27/12/2021) mengemukakan, bahwa dalam keluarga seorang anak tumbuh dan berkembang melalui internalisasi nilai-nilai yang terpantul dari emosi, minat, sikap, dan perilaku kedua orang tuanya. Pendidikan keluarga menjadi dasar pendidikan seorang anak terutama dalam nilai-nilai agama, bersikap dan berperilaku, budi pekerti, dan cara pandangnya terhadap segala sesuatu. Sehingga, kemampuan orang tua atau wali dalam membesarkan, mengasuh, dan mendidik anaknya sangatlah penting. Pendidikan yang diberikan oleh keluarga harus harmonis dan sejalan dengan Tri Pusat Pendidikan lainnya.

Pendidikan di lingkungan perguruan atau sekolah Tri Pusat Pendidikan yang kedua adalah sekolah. Sekolah sebagai rumah kedua bagi anak menyediakan pendidikan berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan, budaya, dan juga budi pekerti. Sebagai pusat pendidikan, secara ideal sekolah diharapkan memiliki budaya sekolah yang sesuai dengan cita-cita pendidikan. Sri Utami, dkk, sebagaimana ditulis oleh Silmi, mengulas dalam buku “Kolaborasi Tripusat Pendidikan dalam Penataan Budaya Sekolah Berbasis Pembudayaan Nilai Pancasila untuk Membangun Siswa Berkarakter”, budaya sekolah adalah nilai-nilai penting yang diyakini dan dipercayai, juga dapat mendorong warga sekolah menciptakan sikap positif dan perilaku harmonis. Budaya sekolah diterapkan dan diturunkan secara turun-temurun di lingkungan sekolah.Contoh budaya sekolah adalah budaya jujur, saling percaya, gotong royong, senang membaca, disiplin, tanggung jawab, menjaga kebersihan, mengejar prestasi, memberi penghargaan, saling menghormati, solidaritas, dan ramah tamah.

Tri Pusat Pendidikan yang ketiga adalah pendidikan di lingkungan pemuda dan masyarakat. Layaknya keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat sangat memerngaruhi pendidikan seorang anak. Dengan siapa ia bergaul, bagaimana pola pertemanannya, kegiatan apa yang dilakukannya dalam masyarakat, budaya yang berlaku di masyarakat, cara pandang juga perilaku teman sepergaulannya, juga media massa mempengaruhi pendidikan seorang anak di lingkungan masyarakat. Lingkungan masyarakat harus memiliki pendidikan yang sesuai dengan Tri Pusat Pendidikan lainnya. Karena jika tidak sesuai, lingkungan yang salah dapat memberikan pengaruh buruk juga mendorong terjadinya penyimpangan. Sehingga, lingkungan pemuda dan masyarakat tempat seorang anak terjun harus diperhatikan. Agar anak tetap dapat terdidik dengan baik dan mengembangkan kemampuan sosial yang sangat penting bagi masa depannya.

Persoalannya, ketiga pusat pendidikan tersebut, dalam implementasi, ternyata sering tidak bersinergi secara ideal. Lingkungan keluarga mungkin baik dan sekolah baik, tetapi lingkungan masyarakat sering tidak ideal. Atau, kadang sekolah sudah ideal dan masyarakat sudah ideal karena sangat kondusif, tetapi keluarga tidak ideal, misalnya kedua orang tuanya bermasalah (bercerai atau sering bertengkar). Hal-hal semacam ini tentu juga menyebabkan hasil pendidikan yang ideal juga sulit dicapai. Ironisnya, banyak masyarakat sering abai mengenai hal ini. Misalnya, mengenai fenomena kegagalan anak memenuhi target-target akademik dan/ atau kenakalan anak, sering tidak dicari akar masalahnya. Ironisnya, malah sering menempatkan sekolah sebagai kambing hitamnya. Pada hal, menurut konsep tripusat pendidikan, ketika aspek (keluarga, sekolah, dan masyarakat) di samping ideal perlu bersinergi secara ideal pula. Dengan kata lain, kaitannya keberhasilan pendidikan anak, mengharapkan sekolah sebagai lembaga “super body” merupakan sesuatu yang mustahil (absurd). Meskipun demikian, terhadap ekpektasi berlebihan masyarakat tersebut, sekolah beserta para pemangku kepentingan memang tidak boleh marah. Sebagai institusi pemilik “tupoksi” di dunia pendidikan, memang wajar masyarakat selalu menumpahkan tanggung jawab keberhasilan pendidikan kepada pihak sekolah. Akan tetapi, adilkah?

Biodata Penulis :

1. Nama : Hj. Suparmi, S.Pd.
2. Tempat, Tanggal lahir : Banyuwangi, 6 Juni 1968.
3. Pendidikan : Alumni “UNIBA” Banyuwangi, 1992.
4. Jabatan : Guru MTs Negeri 3 Banyuwangi.
5. Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait