JAKARTA, beritaLima – 19 tahun reformasi mungkin bisa dikatakan bahwa proses reformasi yang berjalan ini setengah hati. Artinya proses reformasi yang sebenarnya jadi momentum untuk melakukan perubahan yang riil belum secara penuh dapat membangun politik yang otentik, yang secara penuh membahagiakan masyarakat.
Hal yang paling penting dalam refleksi reformasi ini adalah adanya utang sejarah dari reformasi yang belum dibayar.
Karena, Bukan rahasia lagi jika kini kepercayaan publik pada para hakim dan jaksa mulai berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin maraknya operasi tangkap tangan oleh KPK terhadap oknum-oknum penegak hukum tersebut. Seperti beberapa hari ini kita dibuat terperangah dan kaget yakni INSTITUSI Kejaksaan kembali tercoreng dengan ulah oknum anggotanya yang terlibat praktik suap. Kali ini bukan Jaksa biasa, namun oknum Kepala Kejaksaan Negeri.
Menurut pengacara kondang Mochamad AA, SH, M.Hum, banyaknya oknum Jaksa dan Hakim yang terkena OTT disebabkan oleh menurunnya standar regenerasi Jaksa di tubuh Kejaksaan sendiri.
“Pertanyaannya kini Pengadilan Agung mau berubah, nggak? Harus dari atasnya dulu berubah. Ubah sistemnya sampai ke akarnya baru kita bisa lihat ada perbaikan nantinya,” ujar Mochamad AA, SH, M.Hum di Jakarta Pusat pada Kamis (10/8/2017).
Meruyaknya skandal suap yang melibatkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), bahkan yang terakhir Kajari Pamekasan Rudi Indra Prasetya seputar dugaan kasus suap penanganan perkara dana desa menyibak fenomena gunung es prilaku konruptif penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi.
“Banyaknya jaksa yang di OTT menunjukkan kegagalan Jaksa Agung Prasetyo dalam memimpin kejaksaan. HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung gagal melakukan pengawasan dan mendorong perbaikan di internal kejaksaan. Kejaksaan tetap menjadi lembaga yang dipersepsikan korup oleh publik,” kata AA panggilan akrabnya.
Lebih jauh AA menjelaskan bahwa melesatnya kasus suap yang melibatkan Kajari Pamekasan tersebut, sebagai bukti bahwa masih ada jaksa nakal di jajaran institusi kejaksaan. Kemungkinan juga para hakim diduga ikut terlibat pul.
Ekspetasi masyarakat agar para jaksa dan hakim mengubah perilakunya dan menjaga nama baik serta kehormatan lembaganya, ternyata belum dipahami dan dipraktikkan di dalam menjalankan tugas sebagai penegak hukum.
Apalagi remunerasi dan berbagai fasilitas yang diberikan kepada jaksa dan hakim ternyata belum mampu untuk mengubah perilaku para jaksa dan hakim nakal. Persoalannya bukan pada besar-kecilnya gaji, namun pada masalah moral dan mental, dan ini menambah daftar hitam para jaksa penerima suap di Indonesia.
“Maka jangan harap pengadilan di Indonesia bersih dari oknum penegak hukum yang korup jika system di tubuh kejaksaan sendiri tidak dirubah atau di reformasi”, tegas Mochamad AA, SH, M.Hum.
( Red)