JAKARTA, Beritalima.com– Pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Kementerian Agama (Kemenag). Fachrul Rozi jangan terus meresahkan masyarakat terutama umat Islam yang mayoritas di Indonesia dengan isu radikalisme dan sertifikasi da’i.
Permintaan itu disampaikan Wakil Ketua MPR RI, Dr Hidayat Nur Wahid saat Rapat Kerja (Raker) Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama (Menag), Fahrul Rozi bersama jajarannya di Ruang Komisi VIII DPR RI Gedung Nusantara II Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pertengahan pekan ini.
Raker yang berlangsung sedikit ‘panas’ dengan pertanyaan-pertanyan tajam para anggota dewan terkait pernyataan Fachrul Rozi belakangan ini digelar secara tatap muka dan virtual.
Pada kesempatan itu, politisi senior yang juga anggota Komisi VIII DPR RI ini Hidayat secara virtual menyampaikan aspirasi terutama umat Islam yang kembali resah akibat pernyataan-pernyataan Fachrul Rozi yang dinilai meresahkan dan tidak adil terhadap Umat Islam.
Pernyataan-pernyataan Menang yang demikian, kata Hidayat, dapat saja menghadirkan saling curiga di antara umat (jamaah masjid) karena isu “good looking dan Hafidh” dan pembelahan di antara para penceramah atau para da’i akibat program penceramah bersertifikat.
Dalam Raker itu, dia mengkritisi pernyataan Menang yang mengatakan, program sertifikasi dai bersertifikat dikerjasamakan dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Badan Pengamalan Indiologi Pancasila (BPIP) dan sebagainya.
Anehnya, kata politisi senior ini, program tersebut tak pernah dimajukan Kemenag kepada mitra kerja konstitusionalnya yaitu DPR RI sebagai program kerja Kemenag, apalagi program prioritas Kemenag 2020.
Karena itu, DPR dalam hal ini Komisi VIII sebagai mitra kerja Kemenang di parlemen tak pernah menerima usul program kerja dan memberikan persetujuan. Dalam Raker itu, Menag menyampaikan, para Da’i tidak harus bersertifikat, bahkan Dirjen Bimas Islam juga sampaikan, program itu sukarela, karenanya tidak ada sanksi apa pun.
“Bila demikian, menjadi aneh jika Kemenag ngotot mengerjakan dengan kualifikasi seperti itu, seolah-olah malah jadi kewajiban, apalagi dengan mengatakan sudah didukung oleh MUI. Sebab, faktanya MUI justru melalui surat resmi yang ditandatangani Sekretaris Umum dan Waketum MUI secara tegas dan terbuka menolak program itu. Penolakan secara terbuka juga disampaikan oleh PP Muhammadiyah.
Dengan fakta-fakta itu, mestinya program ini dihentikan agar tidak melanjutkan keresahan umat karena hal ini potensial memecah belah di antara umat Islam.
Kemenag harusnya menyuarakan pentingnya keselamatan umat, bangsa dan negara dari segala bentuk radikalisme dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, yang bisa menghancurkan moral, Agama dan NKRI.
“Bukan menyasar ke masjid, hafidh, good looking, bisa bahasa Arab dan Aparatur Sipil Negara (ASN) harus steril dari ideologi agama tertentu. Hal ini konotasi dan kaitannya mudah dipahami, semua tertuju kepada komunitas umat Islam. Karena Menag diundang oleh MenPAN-RB untuk bahas soal Tolak Radikalisme di kalangan ASN.
Mestinya Menag menyampaikan soal sterilisasi ASN dari segala bentuk radikalisme yang bertentangan dengan Pancasila yakni komunisme, separatisme, liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan Pancasila juga menghancurkan moral bangsa seperti Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan korupsi.
Sayang, kata Hidayat, Fachrul tidak menyinggung, malah diam seribu bahasa, terhadap bahayanya beragam praktik ideologi radikal yang dicemaskan masyarakat, melanggar aturan hukum dan membahayakan eksistensi NKRI.
Yang dijelaskan oleh Menag hanya terkait praktik dan penyebaran radikalisme hanya menyasar pada kelompok umat Islam.
“Itu pun secara generalisasi tanpa fakta lapangan yang terukur dan tak diskriminatif, karena terminologi dan contoh yang digunakannya sangat mengarah pada agama dan umat Islam, yaitu penyebaran radikalisme melalui pemuda goodlooking, hafidh alQuran, bisa bahasa Arab,” demikian Hidayat Nur Wahid. (akhir)