Mulyanto: Dewan Pengarah BRIN Berpotensi Politisasi Lembaga Ilmiah

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Kewenangan yang diberikan kepada Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terlalu besar dan sangat tidak tepat untuk diberi kewenangan layaknya menteri atau pejabat setingkat menteri yang dapat mengeksekusi kebijakan.

Itu diungkapkan politisi senior Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) di Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto kepada Beritalima.com di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/9).

Ya, seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri sebagai Dewan Pengarah BRIN. “Lazimnya Dewan Pengarah hanya memberi arahan, pandangan rekomendasi terhadap kebijakan dan program yang akan dilaksanakan suatu lembaga. Tidak sampai memberi persetujuan atau melaksanakan tugas tertentu.”

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini mengaku, dirinya
melihat dalam beberapa hal kewenangan Ketua Dewan Pengarah BRIN melebihi otoritas Menteri. Misalnya mempunyai dua orang wakil yakni Menteri Keuangan dan Menteri Bappenas, Staf Khusus 4 orang.

 

“Ketua Dewan Pengarah ini juga masuk pada wilayah ‘executing’, bukan sekedar memberikan arahan. Misal kewenangan memberi ‘persetujuan’ atas suatu kebijakan, bahkan dapat membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) untuk menyelesaikan berbagai permasalahan di lapangan dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilaksanakan Kepala BRIN.”

Sesmenristek era Presiden SBY ini menyebut, kewenangan yang diberikan Presiden kepada Ketua Dewan Pengarah BRIN rawan politisasi lembaga ilmiah. Apalagi bila melihat besaran anggaran yang dikelola.

Berdasarkan data Kemenristek, dana Iptek yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga 2018, 2019, dan 2020 masing-masing Rp 33, Rp 35 dan Rp 36 triliun.

 

Bila benar konsolidasi anggaran Iptek diwujudkan Pemerintah mengikuti penggabungan lembaga Litbang secara nasional, paling tidak dana RP 36 triliun akan dikelola BRIN.

“Jumlah yang besar. Peneliti dan masyarakat perlu memelototi kinerjanya. Jangan sampai kekhawatiran masyarakat atas politisasi riset menuju tahun 2024 terbukti,” kata Mulyanto.

Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini menambahkan, di tengah Pandemi Covid-19 yang belum usai, pembubaran Kemenristek, BPPT, Batan, Lapan, LIPI dan peleburan seluruh Lemlitbang Kementerian teknis ke dalam BRIN adalah langkah yang tidak tepat.

 

Dikatakan, Pemerintah terburu-buru mengambil kebijakan pembubaran dan penggabungan lembaga riset. Sebab konsolidasi kerja, Sumber Daya Manusia (SDM), peralatan, laboratorium, lahan percobaan, manajemen dan administrasi riset apalagi budaya riset di masing-masing lembaga membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

 

“Secara de jure, tidak ada dasar hukum yang menjadi cantolan Perpres No: 78/2021 tentang BRIN terkait posisi Dewan Pengarah dalam struktur organisasi termasuk dalam UU No: 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek (Sisnas Iptek) maupun di dalam UU No: 38/2008 tentang Kementerian Negara. “Memang ada pasal dalam RUU HIP.  Ini kan RUU dan itu pun sudah didrop dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” jelas Mulyanto.

 

Secara substansial, BRIN tidak membutuhkan Dewan Pengarah dalam menjalankan tugasnya, apalagi yang bersifat ideologis dari BPIP.

“Saya pribadi tidak setuju, BRIN memiliki dewan pengarah dari BPIP, logikanya tidak masuk. Kalau dicari-cari mungkin saja ada hubungan antara haluan ideologi Pancasila dengan riset dan inovasi, namun hubungan itu terlalu mengada-ada dan memaksakan diri,” kata Mulyanto.

 

Sebaiknya lembaga litbang ini tidak dipolitisasi. BRIN adalah lembaga ilmiah biar bekerja dengan dasar-dasar ilmiah objektif, rasional dengan indikator out come yang terukur. “Jangan dibebani dengan tugas-tugas ideologis,” demikian Dr H Mu;yanto. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait