JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan&Teknologie (Iptek) dan Lingkungan Hidup (LH), Dr H Mulyanto minta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghitung ulang rencana realisasi target lifting minyak 1 juta barel perhari (bph) 2030. Jangan sampai rencana titu bagus di atas kertas tapi sulit diwujudkan.
Politisi senior tersebut menilai target 1 juta barel per hari, itu adalah target yang sangat sangat ambisius. Karena itu, Pemerintah harus bekerja lebih keras jika ingin target tersebut terwujud.
“Sebab, bila upaya ini tidak terwujud, defisit transaksi berjalan sektor migas Indonesia akan tetap bengkak. Pada 2019 defisit perdagangan migas Indonesia USD 9.4 miliar, yang didominasi minyak hasil olahan atau BBM USD 11.7 miliar. Sayangnya sampai hari ini beberapa indikator terkait lifting minyak masih memperlihatkan tanda kurang menggembirakan,” tegas Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu mengatakan, target lifting minyak dalam Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN) dari tahun ke tahun terus melorot. Dua tahun lalu, target lifting minyak ditetapkan 775 bph. Lalu turun menjadi 755 bph pada 2020. Dan, kembali turun 2021 menjadi 705 bph.
Dikatakan, realisasinya setiap tahun tidak mencapai target APBN. Jadi, target lifting minyak 1 juta bph pada 2030 memang target yang cukup ambisius.
“Dari investasi, kinerja Pemerintah di sektor migas juga serupa. Laporan Kementerian ESDM tentang nilai investasi migas 2020 memperlihatkan terjadinya penurunan dibandingkan tahun sebelumnya,” imbuh wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut.
Sebelumnya, Menteri ESDM, Arifin Tasrif mengatakan, sepanjang 2020 realisasi investasi sektor ESDM hanya 24,4 miliar dolar AS. Padahal, 2019 lalu realisasi investasi ini mencapai USD 33,2 miliar atau anjlok 26,5 persen year on year (yoy).
“Boleh dibilang kinerja investasi migas tahun 2020 merupakan capaian terburuk dalam 10 tahun terakhir. Padahal untuk mencapai target lifting minyak 1 juta bph memerlukan giant discovery melalui eksplorasi yang massif dengan giant investment.
Kalau investasi di sektor ini melorot maka mana mungkin target lifting itu bisa tercapai,” kata Mulyanto.
Untuk merealisasikan target lifting minyak, Mulyanto minta Pemerintah mengelola semua blok migas secara optimal, salah satunya Blok Rokan yang akan dialihkeola dari Chevron ke PT Pertamina (Persero), Agustus tahun in9i.
Blok Rokan merupakan ladang eksploitasi migas terbesar kedua setelah Blok Cepu. Diharapkan blok ini mampu berkontribusi dalam realisasi target lifting minyak 1 juta bph.
Karena itu, kata Mulyanto, Pemerintah perlu mengoptimalkan investasi di Blok Rokan. Jika tidak, resiko bagi turunnya lifting minyak di blok ini suatu keniscayaan. Dan, hal ini akan berpengaruh terhadap realisasi target lifting minyak secara nasional.
Hal lain menurut dia, yang perlu dibenahi Pemerintah, realisasikan target lifting minyak 1 juta bph pada 2030 adalah pembentukan lembaga khusus yang bertanggungjawab dalam urusan hulu migas.
Karena kelembagaan hulu migas yang ada, yakni Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) bersifat sementara, sebab hanya berupa satuan kerja di bawah Kementerian ESDM.
Diperlukan revisi UU Migas untuk mengakomodasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Badan Pelaksana Hulu Migas. Perlu kelembagaan hulu migas yang kuat dan efektif dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan hulu migas nasional.
“Tidak cukup lembaga sementara seperti SKK Migas, yang tidak memiliki otoritas bagi pengusahaan hulu migas untuk dapat mewujudkan target ambisius lifting minyak 1 juta bph pada tahun 2030,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)