JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Akhmad Muqowam mengaku prihatin melihat kondisi politik dalam negeri belakangan ini, terutama menghadapi pemilihan presiden-wakil presiden, anggota DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang digelar serentak 17 April mendatang.
Menurut anggota MPR RI dari kekompok DPD RI tersebut, kondisi politik dalam negeri belakangan ini sudah jauh dari etika. Padahal, etika itu ada dalam ruh Panca Sila yang menjadi ideologi bangsa Indonesia.
Itu artinya, jelas Wakil Ketua DPD RI tersebut, dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Etika Politik Dalam Pemilu 2019’ sila-sila dari Panca Sila tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh anak bangsa termasuk elite.
Selain Muqowam juga tampil sebagai pembicara dalam diskusi di Press Room DPR RI Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta itu anggota Fraksi Nasdem MPR RI, Johnny G Plate dan pakar psikologie politik, Dr Irfan Aulia di Press Room DPR RI Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/3).
“Kalau kita bicara etika politik, ada harapan. Artinya kita punya agama, kita bicara mengenai Panca Sila, bicara nilai atau value dan kita bicara budaya. Tetapi faktanya yang terjadi dalam pemilu sekarang luar biasa,” kata Muqowam.
Ketua Komisi V DPR RI 2004-2009 tersebut mencontohkan apa yang dia alami di daerah pemilihannya di Jawa Tengah. “Mohon maaf kalau bicara orang sekarang ini, tolak ukurnya cuma satu. Saya ketemu kelompok, tokoh masyarakat ujungnya adalah ada amplopnya gak. Itu yang mengerikan, ini satu fakta politik,” ungkap Muqowam.
“Kalau mau bicara jujur, yang namanya komunikasi saya ngak pernah lakukan. Menurut saya komunikasi itu adalah “teko muni dan kasih”. Artinyanya kalau nggak ngasih maka nggak akan dipilih. Jadi, psikologi politik kita saya rasa menarik,” ungkap calon legislatif (DPR RI-red) PPP Dapil I Provinsi Jawa Tengah tersebut.
Muqowam yang sudah ikut menjadi anggota legislatif sejak zaman Orde Baru tersebut menilai, Pemilu 2019 ini merupakan pesta demokrasi yang paling berat dirasakannya.
“Dari lima kali pemilu yang saya ikuti, saya melihat masyarakat secara keseluruhan dalam perpolitikan hari ini jauh berbeda. Dari pemilu ke pemilu yang saya rasakan sudah lima kali, baru kali ini beratnya luar biasa. Dan, hari ini saya merasa kehilangan akal,” keluh Muqowam.
Mengapa semua itu terjadi? Menurut senator dari Provinsi Jawa Tengah ini, pertama karena ketidakpahaman masyarakat mengenai ideologi bangsa. “Pancasila sebagai sebuah acuan moral. Ketidakpahaman masyarakat terhadap Pancasila.”
Kedua, kata dia, karena krisis moral yang terjadi dalam lingkup luas ini luar biasa. Jadi kalau reformasi pada waktu itu multidimensi. Saya kira sejak 1998 sampai hari ini belum selesai multidimensi pada tataran moral itu.
“Sejak 20 tahun yang lalu, sampai sekarang kita belum mampu untuk menyelesaikan yang berkaitan multi dimensi. Ketiga karena longgarnya pemahaman terhadap pasal 30, keberagamaan,” ungkap Muqowam.
Johnny G Plate mengatakan, secara normatif, etika politik seharusnya mengacu kepada ideologi negara, pilar kebangsaan yang berlandaskan pada Panca Sila dan tiga konsensus lainnya yakni NKRI, kemajemukan dan konstitusi.
“Implementasi demokrasi ruang politik kita harus diisi dengan etika politik.Perbedaan pendapat itu biasa di dalam konteks Pancasila. Perbedaan pendapat dalam konteks etika politik bisa ditampilkan di ruang publik dengan tetap menjaga persatuan kesatuan bangsa,” ungkap laki-laki kelahiran Ruteng, Nusa Tenggara Timur (NTT) 10 September 1956 tersebut.
Irfan Aulia mengatakan, dalam pemilu ada tiga hal yang membuat orang memilih. Orang memilih kerana sama identitasnya, karena value-nya sama dan orang ini memilih karena emosinya sama.
“Ini adalah penelitian. Banyak negara mengakui tiga hal ini. Kalau sudah emosi yang dimainkan, akan muncul ribuan Hoax. Segala macam serangan karena emosinya itu di pilpres dan di pileg. Jadi masalah emosi ini paling berbahaya, paling kecil, paling ringan dan paling bisa memecah belah atau bisa menyatukan,” jelas dia.
Yang menjadi PR besar, kata dia, bagaimana caranya pilpres dan pileg memberikan emosi paling positif. “Jadi, mari kita mulai mengelola emosi bangsa ini positif. Dan, saya lihat sudah mulai ada anak muda yang bikin humor di youtube agar orang tak tegang di Pilpres,” demikian Irfan Aulia. (akhir)