Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)
Salah satu yang menjadi sengketa masyarakat saat bercerai di pengadilan (agama) adalah mengenai tuntutan mut’ah. Tuntutan mut’ah semakin marak sejak diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Secara khusus, teknis pembayarannya, ditegaskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 1917. Jika semula mut’ah hanya muncul pada perkara cerai talak (yaitu, perceraian yang diajukan suami), maka setelah diterbitkannya PERMA tersebut kini juga muncul pada perkara cerai gugat (yaitu, perceraian yang diajukan istri) Padahal, dari ribuan kasus perceraian di pengadilan di Indonesia, pada umumnya lebih didominasi kasus cerai gugat. Para pengacara pun seperti mendapat ‘angin segar’ sekaligus baru. Hampir 100 persen kasus cerai gugat yang ditangani, selalu dikumulasikan dengan tuntutan hak-hak istri pasca perceraian, termasuk di dalamnya mut’ah.
Meskipun sering menjadi masalah hukum di pengadilan, tampaknya banyak masyarakat yang belum mengerti seluk beluk mut’ah. Ketidaktahuan demikian, sering membuat masyarakat masygul ketika, saat sebagai pihak tergugat, kemudian tiba-tiba dihukum harus membayar sejumlah uang untuk mantan istrinya. Atau, bisa saja saat sebagai pemohon cerai (dalam kasus cerai talak) kemudian dihukum untuk membayar sejumlah uang. Dari praktik demikian, bahkan msyarakat ada yang mengaitkan hukuman/ beban tersebut dengan biaya perkara. Mereka sering bertanya, mengapa hanya ingi cerai saja, harus membayar jutaan rupiah. Apalagi jika tuntutan yang dibuat oleh para pengacara sering mencantumkan nominal yang terlalu tinggi yang karenanya oleh para suami diannggap tidak masuk akal.
Lantas apa yang sebenarnya disebut mut’ah itu?
Pasal 1 huruf ( j ) KHI, “mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya”. Mengenai mut’ah ini, dalam KHI memang tidak dirumuskan secara detail. Pada Pasal 149 KHI mut’ah hanya disebut sebagai kewajiban mantan suami, apabila perceraian atas kehendak suami. Selanjutnya terdapat beberapa pasal tentang kriteria kualifikasi hukum penerapannya. Apabila masyarakat ingin tahu secara detail, sepatutnya memang harus mencari sendiri rincian penjelasannya sebagaimana yang tertulis dalam kitab-kitab fikih. Dan, tampaknya para fukaha (ulama fikih) telah mewacanakan secara panjang lebar, baik mengenai status hukum, bentuk, dan besarannya.
Menurut mazhab Hanafi, mut’ah disunahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan kecuali perempuan mufawwidhah, yaitu perempuan yang kawin tanpa mahar dan diceraikan sebelum terjadi persetubuhan. Atau perempuan yang ditentukan untuknya mahar fasid atau ditentukan mahar setelah akad. Sedangkan, menurut mazhab Maliki, mut’ah disunahkan untuk setiap perempuan yang ditalak, berdasarkan firman Allah swt, yaitu Surat Al Baqarah ayat 241 dan Surat Al Baqarag 236. Sesungguhnya Allah SWT mengikat perintah memberikan mut’ah dengan “ketakwaan” dan “kebaikan”. Padahal, jika kewajiban mestinya tidak terikat dengan kedua perkara tersebut. Mereka berpendapat, ada tiga jenis perempuan yang ditalak: pertama, perempuan yang ditalak sebelum digauli dan sebelum disebutkan mahar perempuan mufawwidhah) memiliki hak mut’ah, dan tidak memiliki hak sedikit pun pada mahar. Kedua, perempuan yang ditalak sebelum digauli dan setelah disebutkan maharnya tidak memiliki hak mut’ah. Ketiga, perempuan yang ditalak setelah digauli baik sebelum disebutkan mahar maupun setelahnya, memiliki hak mut’ah. Tidak ada hak mut’ah pada setiap perpisahan yang dipilih oleh perempuan, seperti perempuan yang terkena penyakit gila, kusta, dan lepra, juga pada perpisahan akibat pembatalan, ataupun akibat khulu’, ataupun akibat li’an.
Mazhab Syafi’i memiliki pendapat yang benar-benar bertentangan dengan mazhab Maliki. Mereka berpendapat, mut’ah wajib untuk setiap perempuan yang diceraikan, baik perceraian tersebut sebelum terjadi persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang diceraikan, sebelum digauli yang telah ditentukan mahar untuknya, maka dia hanya cukup mendapatkan setengah bagian mahar. Mut’ah harus diberikan kepada perempuan yang diceraikan sebelum digauli jika dia tidak wajib mendapatkan setengah bagian mahar. Menurut pendapat yang paling zahir juga wajib diberikan bagi perempuan yang telah digauli dan pada setiap perpisahan yang bukan disebabkan oleh si istri, seperti perceraian. Perpisahan ini terjadi akibat disebabkan oleh si suami, seperti kemurtadan, li’an, dan keislamannya. Sedangkan perempuan yang mesti mendapatkan setengah bagian mahar, dia mesti mendapatkannya. Sedangkan perempuan mufawwidhah yang tidak ditetapkan sedikit pun mahar untuknya, berhak untuk mendapatkan mut’ah. Pada pokoknya, mazhab Syafi’i mewajibkan mut’ah dalam perceraian setelah terjadi persetubuhan, berdasarkan firman Allah SWT: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf” (Al-Baqarah: 241). Sedangkan menurut mazhab Hambali, mut’ah disunahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan yang selain mufawwidhah yang tidak ditetapkan mahar untuknya, berdasarkan firman Allah SWT: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang makruf.” Menurut mereka, ayat tersebut berkonsekuensi hukum tidak tidak wajib.
Ringkasannya, sesungguhnya mazhab Syafi’i mewajibkan mut’ah, kecuali untuk perempuan yang ditalak sebelum sempat digauli, yang telah disebutkan mahar untuknya. Jumhur (mayoritas) fuqaha menyunahkan mut’ah tersebut. Akan tetapi, mazhab Maliki menyunahkannya bagi setiap perempuan yang diceraikan. Mazhab Hanafi dan Hambali menyunahkannya bagi setiap perempuan yang dialah kecuali perempuan mufawwidhah yang dikawinkan tanpa mahar. Selanjutnya, menyikapi perbedaan pandangan ini, Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaily berkomentar, bahwa mengenai mut’ah ini, yang paling kredibel adalah mazhab Syafi’i. Di samping di dukung oleh dalil yang kuat, (secara psikososial) mut’ah juga berfungsi untuk menghibur diri perempuan, dan meringankan rasa sakit akibat perpisahan. Dan untuk menemukan motivasi untuk kembali kepada istri, jika memang talak yang dijatuhkan suami bukan talak tiga. Wallahu A’lam.