Oleh: Ramayanti Alfian Rusid, S.Psi, MM.Kom
Ada yang menarik pada akhir Desember 2017 lalu, kosa kata baru atau tepatnya akronim tiba-tiba muncul di media massa nasional. Namun tidak terus menerus diperbincangkan, karena media massa, media sosial dan orang-orang terjebak oleh berbagai isu yang mewarnai pergantian tahun. Akronim itu adalah Nasaeb. Apa pula itu?
Nasaeb adalah singkatan dari Nasionalis, Agama, Ekonomi dan Bisnis. Pencetusnya adalah seorang jenderal (purnawirawan) bintang empat, AM Hendropriyono. Oleh mantan Kepala BIN yang saat ini menjadi Ketua Umum PKPI itu, Nasaeb lebih ditekankan kepada Capres/Cawapres 2019.
“Dalam Pilpres 2019 kelak seluruh partai-partai politik nasional di negara kita akan bersatu untuk menjawab keinginan rakyat, dengan memilih sepasang pemimpin muda yang keduanya mempunyai nilai tertinggi rata-rata sebagai perpaduan dari aliran Nasionalis, Agama dan Ekonomi Bisnis (Nasaeb),” ujar Hendropriyono di gedung Wijayakusuma, Cipayung, Jakarta Timur, Jumat (29/12/2017).
Tetapi sesungguhnya, sebagai pengamat, saya memandang Nasaeb adalah konsep bernegara zaman modern seperti sekarang ini, yang pergerakannya sangat cepat dan sangat tergantung kepada teknologi. Nasionalis, agama, ekonomi dan bisnis seperti mata rantai yang saling berhubungan satu sama lain menjadi sebuah kekuatan maha dahsyat.
Bayangkan saja seperti apa bila rasa nasionalis tanpa ditopang oleh pemahaman agama yang bagus dan toleransi beragama yang tinggi, tanpa didukung oleh kemampuan ekonomi yang bagus, serta tanpa pergerakan bisnis yang bagus? Maka negara akan terjebak dalam kemiskinan dan tidak mengenal Tuhan.
Lalu bayangkan seperti apa beragama tanpa nasionalis, tanpa ekonomi yang bagus atau memadai, dan tanpa ada bisnis? Maka tentu saja tidak mencintai tanah air, tidak mencintai negara, terjerembab dalam kemiskinan, serta tidak akan bertahan hidup.
Kemudian bayangkan seperti sebuah negara yang hanya mementingkan ekonomi bisnis/tanpa agama dan tanpa nasionalisme?
Artinya, nasionalis penting agar ada tempat kita berpijak atau agar kita tetap memiliki negara. Agama juga tidak kalah pentingnya agar moral, etika dan sikap bisa terjaga dengan baik. Ekonomi/bisnis juga sangat penting agar perut tetap terisi dengan baik.
Itu makanya kita perlu menjaga nasionalisme yang kuat agar negara tetap terjaga dengan aman. Bersamaan dengan itu, kita wajib membangun perangkat keras dan perangkat lunak agama dengan baik dan benar sesuai porsinya masing-masing. Perangkat keras adalah sarana beribadah, dan perangkat lunaknya adalah pemuka-pemuka agama, agar kehidupan kita semakin damai dan sejuk. Beriringan dengan itu, kita wajib membangun struktur dan infrastruktur ekonomi dengan baik agar tingkat kehidupan kita semakin baik.
Belakangan kehidupan sosial politik di negara kita terperangkap ke dalam ketidakseimbangan antara nasionalis, agama, ekonomi dan bisnis. Hal itu dipicu oleh kepentingan politik yang memanfaatkan agama sebagai alat politik. Padahal agama adalah sesuatu yang suci dimana politik harus melindungi agama, bukan agama melindungi politik. Celakanya lagi orang pintar memanfaatkan orang bodoh untuk kepentingannya.
Akibatnya, satu sama lain saling mencurigai. Bahkan di media sosial terlihat dengan nyata satu sama lain saling hujat dan caci maki, saling merendahkan, saling merasa hebat, saling merasa paling benar dan paling suci. Ketegangan-ketegangan emosi semacam itu, tentu sangat berpengaruh terhadap kehidupan bernegara.
Di Indonesia, menurut Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, April 2017, di negara kita terdapat sedikitnya 714 suku dan memiliki lebih dari 1.100 bahasa. Di dalam data statistik 2010, di Indonesia terdapat 300 kelompok etnis, 1.340 suku, dan 1.211 bahasa daerah. Terdapat enam agama: islam, katolik, protestan, hindu, budha, khong hu chu.
Menjaga keanekaragaman seperti itu, bukanlah hal yang gampang. Pancasila sudah teruji sebagai pegangan untuk menjaga kesatuan atau NKRI. Tetapi dengan kehidupan sosial politik seperti sekarang ini, Pancasila perlu dijaga juga agar tetap kokoh dalam genggaman semua anak bangsa. Menjaganya, saat ini paling cocok dengan Nasaeb.