Nikah Beda Agama dan Akar Perdebatannya

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A)

Saat menyusun putusan penulis mengernyitkan dahi beberapa saat. Bukti surat perkara waris itu, salah satunya, berupa akta perkawinan. Bukan dari KUA layaknya bukti pernikahan orang Islam lainnya, tetapi dari Kantor Catatan Sipil. Melihat bukti pernikahan tersebut penulis segera berasumsi pasti pernikahan pasangan yang menjadi salah satu pihak dalam perkara ini melakukan perkawinan tidak secara Islam. Dan, yang lebih membuat galau penulis sebagai pemeriksa perkara ini adalah jangan-jangan yang bersangkutan juga bukan seorang muslim. Kalau dugaan terakhir ini benar, tentu berbuntut serius secara hukum. Sebab, kalau benar terbukti bukan seorang muslim pasti tidak mempunyai kapasitas sebagai pihak dalam perkara waris Islam. Yang demikian berarti pemeriksa perkara sudah kecolongan. Kalau hal ini tercium oleh pengawas, mungkin menjadi santapan empuk sebagai bahan laporan, bahwa hakim kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan perkara. Atau, bisa jadi jangan-jangan selanjutnya berbuntut munculnya kualifikasi, bahwa hakim pemeriksa perkara telah melakukan perbuatan unprofessional conduct.

Kegalauan penulis segera berakhir ketika melihat alat bukti lain mengenai idintitas resmi yang bersangkutan. Ternyata yang nikah dan dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil serta menjadi pihak dalam perkara waris ini adalah seorang yang bergama Islam (muslimah). Eni ( bukan nama sebenarnya) yang beragama Islam itu telah menikah dengan Bambang (juga bukan nama sebenarnya) yang beragama Katholik.
Melihat temuan dalam berkas perkara tersebut, penulis lantas teringat dengan isu yang saat ini sangat viral, yaitu wacana mengenai nikah beda agama. Sekalipun praktik nikah beda agama ini dalam realita sudah banyak dilakukan, akan tetapi isu ini menjadi viral lagi setidaknya karena 2 hal. Pertama, nikah beda agama ini dilakukan oleh seorang public figure. Bukan main-main, dia adalah seorang staf khusus orang nomor satu di negeri ini. Bagai seorang pesohor (celebrity) peristiwa itu langsung menjadi berita heboh di masyarakat dan media-media cetak dan elektronik. Kedua, berita itu menjadi mudah viral karena dukungan media sosial.

Tidak sedikit para nitizen baik yang pro maupun yang kontra memberikan ulasan dengan caranya masing, mulai komentar yang sopan sampai komentar yang kurang ajar. Medsoslah yang ikut menyebarkan pengantin berjilbab itu jelas berdiri di depan altar gereja mendampingi suami ketika mendapatkan pemberkatan dari pastur. Peristiwa pernikahan beda agama ini menjadi pembicaraan menarik karena sebelum kedua mempelai itu menerima pengakuan gereja, ternyata lebih dahulu melakukan akad nikah layaknya mempelai yang menikah secara Islam. Yang lebih penting lagi, di balik pernikahan beda agama itu ternyata mendapat dukungan para ‘cerdik cendekia’ muslim yang memberikan garansi mengenai status hukumnya dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit orang-orang itu bisa meyakinkan pernikahan itu bisa dianggap sah dan bisa ditatatkan. Dalam arti luas, pernikahan beda agama ini selain dianggap sah menurut negara, dari sisi agama juga dapat dibenarkan dan sah dengan segenap konsekuensinya, termasuk status hubungan seks yang dilakukan.
Dalam Islam pendapat yang ‘masyhur’ mengenai nikah beda agama memang hanya menyangkut hukum pernikahan seorang laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab. Mengenai hal ini setidaknya ada dua pendapat ekstrim, yaitu yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Perdebatan berikutnya (saat ini), apakah yang dimaksud ahli kitab ini termasuk orang Nasrani dan Yahudi saat ini. Ada yang berpendapat orang Nasrani dan Yahudi saat juga termasuk Ahli Kitab. Akan tetapi, ada pula yang berpendapat, bahwa orang Nasrani dan Yahudi saat ini tidak lagi termasuk ahli kitab. Konsekuensinya, karena bukan Ahli Kitab, hukum yang membolehkan laki-laki muslim menikah dengan ahli kitab sudah kehilangan momentumnya, sudah hilang alias tidak boleh lagi.

Tampaknya Nurcholis, sang aktivis ‘pemberi garansi’ nikah beda agama itu, punya pendapat lain. Wanita muslimah pun dibolehkan menikah dengan laki-laki Ahli Kitab. Bahkan, melihat praktik pernikahan beda agama yang ada, wanita muslimah pun dibolehkan nikah tidak hanya dengan laki-laki Nasrani dan Yahudi tetapi dengan laki agama apa pun. Menurutnya, tidak ada satupun dalil yang berisi larangan praktik pernikahan beda agama dalam Islam. Sesuai kaidah, hukum asal sesuatu adalah boleh sebelum ada dalil yang melarang. Oleh karena tidak ada satupun dalil yang melarang, maka nikah beda agama (secara luas) tersebut juga harus dikembalikan kepada hukum asal, boleh (mubah).
Pendapat yang ‘kontroversial’ itu serta merta mendapat reaksi dari banyak tokoh Islam terutama para para sarjana hukum Islam mainstream. Salah satu ulama itu ialah Cholil Navis. Kiai muda yang doktor ini sangat tidak sependapat dengan Nurcholis, terutama ketika mengatakan bahwa hukum asal nikah beda agama itu boleh, karena tidak ada dalil yang melarang. Bahkan alam talk show yang disajikan TV One dengan tema Nikah Beda Agama, Kok Bisa?, salah seorang pengurus MUI Pusat ini, menantang agar suami Ang Mei Yong (Kong Hu Cu ) ini memberikan referensi bacaan yang menjadi rujukan pendapatnya.

Diskursus mengenai nikah beda agama, sebenarnya seketika akan berakhir kalau semua sepakat, bahwa criteria sahnya perkawinan sebagaimana tersurat pada Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan, bagi orang Islam merujuk kepada ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dianggap sebagai ‘aturan baku’ mengenai hukum munakahat bagi orang Islam di Indonesia. Dalam KHI dengan tegas diatur laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita non muslim (Pasal 40 huruf c KHI) dan sebaliknya perempuan muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim (Pasal 44 KHI). Yang tidak sependapat tampaknya mempersoalkan atas dasar apa KHI harus diikuti. Bukankan KHI yang diterbitkan hanya atas dasar instruksi presidan (Inpres), yang tidak termasuk tata urutan perundang-undangan di Indonesia. Kalau tidak ada kewajiban mengikuti KHI, maka ketentuan mengenai nikah beda agama, secara yuridis, juga tidak wajib diikuti. Dengan kata lain, pernikahan yang dilakukan menurut agama masing-masing dalam UUP dapat merujuk seluruh aturan mengenai pernikahan dalam Islam, termasuk pendapat yang berkembang mengenai nikah beda agama. Perbedaan pemahaman menganai sumber rujukan– tetang sahnya sebuah pernikahan menurut Islam–itulah yang menyebabkan perdebatan mengenai nikah beda agama, menurut pengamat, akan terus menjadi perdebatan yang tidak ada ujungnya ( WE online, Selasa, 15 Maret 2022). Akan tetapi apakah hanya karena masalah itu?
Sebagaiaman kita ketahui dewasa ini, tampaknya banyak yang mengaitkan pernikahan dengan hak asasi manusia. Pada Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang HAM dinyatakan, bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Pasal ini mengandung prinsip atas kehendak bebas dari pasangan dalam ikatan perkawinan. Makna dari kehendak bebas adalah kemauan yang lahir atas dasar niat suci yang tulus tanpa paksaan, penipuan dan tekanan. Undang-Undang HAM jelas hanya melihat perkawinan dari aspek keperdataan. Pada aspek keperdataan ini tidak ada unsur agama yang diutamakan dalam ikatan perkawinan yang sah. UUP sampai saat ini masih mengkonsepkan sahnya perkawinan atas dasar agama. Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui ikatan perkawinan yang sah, dalam perspektif HAM seharusnya dilakukan berdasarkan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 3 ayat(3) yang tidak boleh direduksi dengan alasan apapun, termasuk agama.

Dengan ilustrasi tersebut, tanpa harus terjebak pro dan kontra, kita dapat sedikit menemukan akar masalah yang menimbulkan perdebatan menganai nikah beda agama. Akar masalah itu setidaknya ada dua. Pertama, perkawinan yang semula hanya persoalan yuridis, kini telah menjadi persoalan HAM yang berlaku secara universal. Persoalan HAM dalam lalu lintas komunikasi global sering menempati posisi “super primer”, mengalahkan posisi semua agama, tidak hanya Islam. Kedua, sebagai negara hukum tampaknya seluruh emlen bangsa harus konsisten, untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Negara punya peran menegakkan eksistensi negara hukum ini, agar masyarakat taat hukum. Friedmen pernah mengingatkan, agar hukum bisa ditegakkan sesuai harapan perlu dilakukan pembenahan 3 hal: perangkat hukumnya (substance), penegak hukumnya (structure), dan budaya hukumnya (legal culture). Tetapi apa yang terjadi? Perangkat hukum yang dihasilkan oleh negara sering tumpang tindih. Dan, salah satunya yang paling terkait dengan wacana kita ialah eksistensi UU Nomor 1 Tahun 1974 dan UU HAM ketika bersinggungan dengan perkawinan.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait