Oleh: H. Asmu’i Syakowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia. Untuk kepentingan itu manusia perlu melakukan perkawinan. Dari perkawinan tersebut terjalinlah sebuah ikatan suami istri yang pada gilirannya terbentuk sebuah keluarga bersama keturunannya berupa anak-anak. Dengan demikian kehadiran anak tidak hanya dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, dalam kasus tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami istri. Betapa pentingnya kehadiran anak sehingga bagi pasangan yang belum beruntung karena tidak mendapatnya, sampai harus memperolehnya dengan mengambil anak orang lain sebagai anak angkat. Atau, sekedar mengambil anak orang lain untuk diasuh tanpa secara resmi dijadikan anak angkat.
Motivasi ‘harus’ mempunyai anak memang berbeda satu sama lain. Tetapi apapun motivasinya kehadiran anak yang sudah terlanjur disayangi akan membekas di hati dan oleh karenanya biasanyan sulit dipisahkan. Tidak terkecuali pasangan suami istri yang sedang bercerai. Di saat harus sibuk menghadapi persidangan sering terlintas dalam benak mereka keberadaan anak nanti pascaperceraian. Ikut siapakah anak-anak nantinya: ikut mantan istri atau mantan suami? Pertanyaan berikutnya, siapakah yang harus menaggung biayanya?
Jawaban pertanyan pertama dalam praktik memang tidak semudah menjawab pertanyaan kedua. Menentukan anak harus diasuh siapa, pascaperceraian sering menimbulkan problem. Terutama jika keinginan subjektif dari masing-masing orang tua tersebut harus berhadapan dengan ketentuan hukum positif. Bahkan, hukum positif pun sering tidak dapat secara hitam putih memberikan solusinya. Sebagai contoh, ketika masing-masing menginginkan anak tersebut harus mengikuti salah satu dari ayah dan ibu. Hukum positif memberikan solusi harus ikut istri atau suami dengan pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak. Akan tetapi yang dimaksud kepentingam terbaik itu yang bagaimana? Ternyata hukum positif belum memberikan solusi tuntas. Pengadilanlah berikut yang mengimplementasikannya.
Ketika pada tahap demikian sering membuat penegak hukum juga harus melakukan kajian berbagai aspek: misalnya hukum, sosial, dan psikologi. Selanjutnya, kajian tersebut akan dituangkan dalam petimbangan dalam putusan yang dibuat. Dalam konteks demikian, sering terjadi putusan hakim harus berbeda dengan doktrin-doktrin fikih mainstream. Dan, yang pasti hakim memang tidak bisa didikte oleh kemauan para pihak.
Negara Hukum dan Nuansa Sara
Indonesia adalah Negara hukum. Secara tersurat istilah tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Pada saat yang sama Indonesia telah mengakui beberapa sebagai agama resmi. Meskipun semua agama mempunyai norma hukumnya masing-masing, tetapi yang dimaksud negara hukum tidak berdasarkan hukum agama tertentu, tetapi hukum yang berdasarkan konstitusi yang berlaku, yaitu UUD 1945 dengan kaidah fundamental Pancasila sebagai sumber dari semua sumber hukum. Meskipun konsep negara hukum yang berlaku tidak berdasarkan agama tertentu akan tetapi kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan tertentu dijamin oleh konstitusi. Kebebasan memeluk agama tertentu menjadi bagian itu. Sebagai konsekuensi kemajemukan agama yang dijamin konstitusi, maka masing-masing umat beragama harus hidup berdampingan dan saling menghormati sama lain.
Sering terjadi dalam praktik sebuah rumah tangga yang bercerai kemudian salah satu pasangan yang semula seagama, kemudian memilih keyakinan berlainan. Terutama, hal ini biasanya terjadi pada pasangan dengan “agama formalitas”. Disebut agama formalitas, karena memeluk agama tertentu sekedar untuk memuluskan kelanjutan cinta butanya ke jenjang perkawinan. Karena di Indonesia secara formal tidak dibolehkan nikah beda agama maka salah satu pasangan yang non muslim (bila perkawinan dilakukan secara Islam) mengubah status diri menjadi muslim. Akan tetapi dalam perjalanan berikutnya, setelah “cinta buta”nya menjadi “cinta melek” dan prahara rumah tangga harus berakhir dengan perceraian, yang semula non muslim itu kembali ke agama semula. Awal persoalan timbul jika yang sedang bersengketa memperebutkan anak tersebut mantan suami istri yang sudah berbeda agama. Pada saat yang sama anak sebagai ‘objek sengketa’ masih berstatus anak-anak.
Dari sisi objek sengketa, sengketa anak ini secara garis besar ada dua macam. Pertama, anak yang disengketakan masih belum mumayiz dan kedua sudah mumayiz. Bagi pengadilan, biasanya menentukan anak harus ikut siapa, ketika anak sudah mumayiz relatif lebih mudah. Menurut Pasal 105 huruf (b) jo Pasal 156 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapat hadhanah dari ayahnya atau ibunya. Anak yang mumayiz ini menurut Pasal 105 Kompilasi hukum Islam ialah anak yang sudah berumur 12 tahun. Dalam praktik, biasanya ketika objek sengketa anak menyangkut anak yang sudah mumayiz, pengadilan memerintahkan kedua belah pihak untuk menghadirkan anak di persidangan. Dengan teknik tertentu biasanya hakim akan menanyakan kepada anak yang bersangkutan hendak memilih ikut siapa, ayah atau ibunya.
Akan tetapi, kerumitan sering timbul, ketika objek sengketa menyangkut anak yang belum mumayiz dan kedua orang tuanya sudah berbeda agama Islam dan non Islam. Apalagi jika posisi anak ternyata berada di tempat berbeda dari yang minta hak ditetapkan hak asuh (penggugat). Sebagai contoh seorang muslim mohon ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah atas anak yang belum mumayiz. Anak tersebut ‘dikuasasi’ mantan suami atau mantan istri yang non muslim. Anak tersebut pasti tidak perlu dihadirkan di persidangan karena di samping tidak ada ketentuan, karena masih balita, juga tidak mungkin dimintai pendapat memilih siapa. Pada saat demikian ‘ketegangan’ akan timbul. Ketegangan tersebut tidak hanya menyangkut mantan suami dan mantan istri yang sudah berbeda agama tetapi sering juga melibatkan dua keluarga besar mareka masing-masing. Bahkan tidak jarang, karena sudah menyangkut wilayah keyakinan dan bernuansa SARA yang menjadi ‘konsumsi empuk’ media. Egoisme para pihak sering mengabaikan substansi yang menjadi tujuan utama hadhanah (pengasuhan anak), yaitu “demi kepentingan terbaik bagi anak” dan bukan kepentingan masing-masing kedua orang tuanya, mantan suami atau mantan istri.
Ketika mengahadapi situasi di atas hakim sering harus memutar otak untuk mempertimbangkan berbagai aspek. Bahkan tidak jarang para pengadil harus bergulat dengan kajian mendasar tentang konsep Negara hukum di atas di satu pihak dan hukum agama, di pihak lain, yang sebagiannya memang belum terakomodasi ke dalam hukum positif. Oleh karena pokok yang disengketakan masalah anak dan menyangkut wilayah perasaan dan harga diri, sering putusan hakim memang sulit memuaskan semua pihak. Dal, hal demikian sudah umum terjadi di semua perkara yang berakhir denga putusan hakim. Putusan hakim hanya dianggap adil bagi pihak yang menang tetapi dirasakan tidak adil bagi pihak yang kalah. Oleh karena itu berdamailah, karena hanya putusan perdamaian saja yang dapat memuaskan kedua belah pihak. “Peace is the fairest decision” (perdamaian adalah putusan yang paling adil).