Oleh: Bambang Supriadi
(Ketua DPD LDII Kab. Sumbawa Barat)
Sebentar lagi kita akan memperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) ke-14 tanggal 21 Februari 2019. Sambil menunggu edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait HPSN tahun ini, penulis mengajak untuk mereview kontribusi kita selama ini dalam pengelolaan sampah lewat sebuah lawas dalam tulisan yang diberi judul Omak dan Umak.
Omak dan umak adalah dua kata dalam bahasa Sumbawa yang bunyinya mirip namun artinya sangat jauh berbeda. Bukan hanya karena perbedaan fonem di awal kata, namun juga karena kondisi kebendaannya. Secara harfiah omak adalah tali yang terbuat dari bambu apus atau aer lagi(Sumbawa), biasa dipakai untuk mengikat kayu bakar, juga dipakai dalam aktivitas pemagaran di kebun dan di ladang, serta aktivitas lainnya yang berhubungan dengan tali temali. Sementara umak adalah ombak besar yang menggulung-gulung di laut.
Jelas sekali perbedaan keduanya. Sangat jauh kan? di mana omak adanya di darat dan umak di laut. Ibarat pepatah jauh panggang dari api, jauh daratan dari lautan, jauh pula omak dari umak. Namun penulis mencoba untuk mengungkapkan signifikansi perbedaan kedua kata ini. Sementara di satu sisi penulis melihat keduanya saling berhungan satu sama lain utamanya terkait dengan pengelolaan lingkungan.
Dalam kontek ini penulis menggambarkan omak sebagai simbul representasi bahan-bahan organik yang mendukung aktivitas manusia yang sangat ramah lingkungan, karena mudah dikelola bila menghasilkan sampah, sehingga tidak menimbulkan masalah serius bagi lingkungan dalam penggunaannya. Memang kehidupan zaman dulu sangat organik. Orang-orang menggunakan daun pisang sebagai pembungkus makanan, bakul untuk mengisi barang-barang belanjaan, dan sebagainya termasuk omakuntuk membuat pagar kebun, mengikat kayu bakar, dan sebagainya.
Ketika plastik mulai berkembang dengan beragam jenis produk dan jumlahnya yang melimpah, ditambah lagi penggunaan minyak tanah yang tidak hanya untuk menyalahkan lampu, namun dipakai juga untuk aktivitas memasak, bahkan di zaman now gas elpiji siap menggatikan minyak tanah 100%, semakin mempersempit peranan omak dalam aktivitas manusia karena sangat jarang kayu bakar yang perlu diikat. Maka dengan tidak sengaja peranan omak sudah tergantikan oleh keragaman dan kelimpahan produk plastik tersebut.
Omak sudah jarang dipakai untuk memagar kebun. Orang lebih suka menggunakan tali plastik atau kawat benrat karena kepraktisannya. Akibatnya pelestarian aer lagi tidak lagi terjaga. Lagi-lagi aer lagi banyak yang musnah dan sebagian kecil orang yang masih memerlukan susah untuk mendapatkannya.
Signifikansi hubungan omakdan umak bisa dilukiskan dalam lawas (Sumbawa) atau pantun berikut. “Man mo tu kenang tali plastik, samalik lako omak, lema na i biung leng umak”. Lawas ini mengandung makna arahan sekaligus peringatan akan bahayanya sampah plastik bila tidak dikendalikan.
Salah satu cara pengendaliannya adalah kita kembali kepada budaya dan kearifan lokal yaitu kembali memasyarakatkan penggunaan barang-barang organik dalam mendukung aktivitas keseharian kita.
Dalam bahasa Indonesia lawasdi atas bisa diterjemahkan sebagai berikut. “Jangan lagi menggunakan tali plastik, kembalikan ke tali omak atau gunakan saja tali omak, agar tidak terombang-ambing oleh gelombang (ombak). Selanjutnya secara implisit lawas tersebut diuraikan pada bagian di bawah.
Sampah plastik yang bersumber dari penggunaan produk plastik seperti kantong plastik, sedotan plastik, gelas dan botol plastik, kemasan plastik dan sebagainya yang direrepretasikan oleh tali plastik sangat banyak dan telah menimbulkan masalah lingkungan yang sangat serius. Sebagian besar sampah plastik berakhir di laut dan terombang-ambing oleh ombak. Saking banyaknya hingga membentuk pulau sampah di Lautan Pasifik dan Indonesia pun dikenal sebagai negara kedua penyumbang sampah plastik ke laut terbanyak di dunia setelah China.
Mengingat besarnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan produk plastik tersebut, maka lawas di atas turut memberi arahan agar jangan lagin kita menggunakan produk plastik . “Man mo tu kenang tali plastik”.Tidak usah lagi kita menggunakan kantong plastik, mengkonsumsi minuman dengan kemasan botol dan gelas plastik, menggunakan sedotan plastik, dan mengemas makanan menggunakan plastik.
“Samalik lako omak”. Mari kita kembali lagi kepada kebiasan pendahulu kita, menggunakan daun pisang untuk mengemas makanan, bakul atau tas anyaman yang terbuat dari bambu dan rotan untuk berbelanja ke pasar, menggunakan sedotan, gelas dan botol minuman yang bisa dipakai berkali-kali. Juga menggunakan tali omak untuk memagar kebun dan ladang serta aktivitas lainnya. Sebab barang-barang ini tidak menimbulkan masalah lingkungan yang serius. Cara-cara seperti ini perlu dibiasakan mulai dari diri pribadi masing-masing dan saat ini juga.
“Samalik lako omak” adalah sebuah nilai kearifan lokal yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. Ajakan dan arahannya sangat bijaksana karena sudah menakar besarnya dampak bila tidak diindahkan, yaitu “i biung leng umak” atau terobang-ambing oleh ombak. Bagian ini juga mengandung peringatan yang harus diindahkan. Oleh karena itu arahan ini juga mengandung sebuah strategi dan solusi dalam mengedalikan sampah plastik, tepatnya untuk mengurangi timbulan sampah plastik, agar tidak terombang ambing oleh ombak di laut.
Tujuan mulia dari lawas tadi nampak pada baris terakhir “lema na i biung leng umak”. Jika arahan pada baris pertama dan kedua sudah dilakukan maka bisa dikatakan tidak ada lagi sampah plastik yang tercecer apalagi terombang ambing oleh ombak di laut. Tidak ada lagi masalah pencemaran laut oleh sampah, sehingga Indonesia pun tidak lagi tercatat dalam daftar negara penyumbang sampah ke laut.
Selama ini kita telah jauh meninggalkan omak hingga sampah plastik pun terombang-ambing oleh umak di laut. Kita sendiri susah mengendalikannya karena masalahnya terobang-ambing ke mana-mana dalam mencari solusi. Akhirnya memang kita harus kembali memilih menggunakan omak jika tidak ingin terombang ambing oleh umak. Sebuah pilihan yang tepat, semoga.