Menyebut orang terkaya Indonesia, maka yang terbayang adalah rokok. Menyebut rokok maka terbayang sejumlah tempat larangan merekok. Kemudian terbayang juga di bagian luar bungkus rokok ada tulisan ‘rokok membahayakan kesehatan’ dengan gambar-gambar yang menakutkan. Artinya rokok adalah musuh manusia. Atau dengan kata lain rokok adalah racun.
Bila disebut dengan kalimat komunikasi langsung maka lahir kalimat, “Orang terkaya Indonesia berhasil karena ‘meracuni’ manusia.” Kedengarannya sangat mengerikan. Bila dilanjutkan lagi, bukankah meracuni orang lain adalah sebuah kejahatan? Jessica Wongso ditangkap karena disangka meracuni Mirna Salihin. Sampai di sini sepertinya tidak perlu dilanjutkan karena menjadi ngelantur. Dan bukankah mereka yang ‘mengisap racun’ itu atas dasar sukarela mengeluarkan uang untuk meracuni diri sendiri.
Tetapi itulah kenyataannya. Brand atau merek itu telah menempel dengan kokoh. Bahkan diakui oleh negara, dengan predikat pembayar pajak terbesar. Majalah yang kerap menampilkan daftar orang terkaya dunia, Forbes, juga selalu menampilkan jajaran orang-orang terkaya di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, sejak 2010 dua bersaudara Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono menjadi orang kaya teratas dalam jajaran orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan terakhir pada Maret 2016 masing-masing sekitar Rp 110 triliun dan Rp 107,38 triliun.
Keduanya sebagai pewaris perusahaan rokok merek Djarum yang dikelola orangtuanya sejak tahun 1950, di kota Kudus, Jawa Tengah. Orang kaya berikutnya dari bisnis rokok adalah Susilo Wonowidjojo, pemilik perusahaan rokok Gudang Garam, di Kediri, Jawa Timur. Beberapa kali nama Susilo berada di urutan persis di bawah Hartono bersaudara.
Rokok bukan hanya membuat mereka kaya raya, peranan rokok sebagai sumber pemasukan negara juga cukup besar. Penerimaan negara tahun 2013 dari cukai tembakau dan rokok mendominasi dengan angka mencapai Rp 103,53 triliun. Ya sangat besar, lebih besar dari APBD DKI Jakarta tahun 2014 sebagai provinsi dengan pendapatan terbesar di Indonesia yaitu Rp 72 triliun.
Tapi celakanya, epidemi tembakau telah membunuh sekitar 6 juta orang per tahun di dunia, dimana 600 ribu di antaranya merupakan perokok pasif. Angka tersebut akan meningkat tajam menjadi 8 juta orang pada 2030 jika sejak sekarang tidak ada penanganan yang serius. Data lainnya mengungkapkan satu miliar orang akan meninggal pada Abad 21. Dalam Abad 20 saja, 100 juta orang sudah menemui ajal akibat rokok.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan bahwa perokok usia di atas 15 tahun sebanyak 36,3%. Sebagian besar dari mereka adalah perokok laki-laki dengan prevalensi 64,9% dan jumlah ini merupakan yang terbesar di dunia. Sementara itu, prevalensi pada perempuan mengalami peningkatan dari 5,2% pada tahun 2007 menjadi 6,9% pada tahun 2013. Adapun sekitar 6,3 juta wanita Indonesia usia 15 tahun ke atas juga merokok.
Daya tarik rokok begitu dahsyatnya dialami oleh manusia Indonesia, berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey (2009), 89,3% remaja Indonesia melihat iklan rokok di billboard, 76,6% di media cetak dan 7,7% pernah menerima rokok gratis. Sementara studi Universitas Muhamadiyah Prof. Hamka (UHAMKA) dan Studi Komnas Anak (2007) menunjukkan bahwa 70% remaja mengaku mulai merokok karena terpengaruh oleh iklan, 77% mengaku iklan menyebabkan mereka untuk terus merokok, dan 57% mengatakan iklan mendorong mereka untuk kembali merokok setelah berhenti.
Dunia pun terus menerus menabuh genderang perang terhadap rokok. Badan kesehatan Dunia/WHO tidak pernah berhenti mengkampanyekan bahaya rokok. Negara-negara maju di Eropa bergandengan tangan memadamkan api rokok di bibir rakyatnya. Inggris adalah negara yang paling berhasil dalam perjuangan melawan penggunaan tembakau, lalu diikuti oleh Irlandia dan Islandia, masing-masing pada tempat kedua dan ketiga. Turki, bersama dengan Prancis menduduki posisi kelima. Survei paling akhir memperlihatkan negara terburuk dalam mengizinkan pelaksanaan tindakan pengendalian tembakau di Eropa adalah Austria, Jerman dan Swiss.
Bagi pebisnis rokok, itu semua mungkin tidak penting. Mereka hanya memproduksi dan menjual rokok. Resiko ditanggung oleh pengisapnya. Tetapi apakah betul seperti itu? Entahlah. Yang jelas Hartono sepertinya sedang berupaya untuk keluar dari brand sebagai orang terkaya yang kekayaannya diperoleh dari ‘menebar racun’. Pada tahun 2010 Robert dan Michael Hartono menjadi pemegang saham terbesar di Bank Central Asia (BCA). Mereka berdua melalui Farindo Holding Ltd. menguasai 51 % saham BCA. Selain itu, mereka juga memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 65.000 hektare di Kalimantan Barat sejak tahun 2008, serta sejumlah properti di antaranya pemilik Grand Indonesia dan perusahaan elektronik. Salah satu bisnis Group Djarum di sektor ini bergerak di bawah bendera Polytron yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun. Perusahaan Polytron ini kini juga memproduksi ponsel yang sebelumnya hanya meproduksi AC, kulkas, produk video dan audio, dan dispenser. Melalui perusahaan yang baru dibuat yakni Ventures Global Digital Prima, Global Digital Niaga (Blibli.com), mereka juga membeli Kaskus, situs Indonesia yang paling populer.
Hartono membeli BCA. Selain pengembangan bisnis, mungkin juga bertujuan mengubah brand dari produsen rokok menjadi bankir. Namun lima tahun setelah mengakuisisi BCA, brand Hartono tetap sebagai produsen rokok alias ‘penebar racun’. Perkebunan kelapa sawit dan bisnis internet juga tidak bisa mengubah brand tersebut. Hal itu pasti karena bank, perkebunan dan bisnis internet itu tidak mampu mengalahkan pemasukan dari sektor rokok.
Tetapi masalahnya adalah brand itu harus diubah, agar tidak selamanya melekat stempel sebagai ‘penebar racun’. Terlebih lagi di tengah gencarnya dunia ‘menganyang’ asap rokok. Salah satu jalannya adalah masuk ke sektor bisnis yang lebih bermasyarakat, misalnya sektor telekomunikasi dan namanya harus benar-benar dilekatkan sebagai merek dagang. Dimana saat ini hampir semua orang menggunakan handphone
Di jajaran orang terkaya Asia tahun 2015, tidak satu pun mendulang kekayaannya dari bahan berbahaya bagi manusia. Tengok saja keluarga Lee (Byung-Chull) asal Korea Selatan dengan kekayaan USD 26,6 miliar. Kaya dari produk teknologi sebagai pemilik Samsung. Lalu
keluarga Lee (Shau Kee) asal Hong Kong dengan kekayaan USD 24,1 miliar sebagai pemilik Henderson Development. Begitu juga keluarga Ambani asal India dengan kekayaan USD 21,5 miliar, sebagai pemilik Reliance Group. Demikian pula keluarga Chearavanont asal Thailand dengan kekayaan USD 19,9 miliar. Pemilik Charoen Pokphand (CP) Group, pabrik makanan hewan. Sementara keluarga Kwok asal Hong Kong dengan kekayaan USD 19,5 miliar sebagai pemilik Sun Hung Kai & Co.
Demikian pula halnya orang terkaya di dunia tahun ini Bill Gates, Amerika Serikat, dengan jumlah total kekayaan $ 75 miliar melalui perusahaan Microsoft (teknologi komputer). Amancio Ortega, Spanyol, dengan jumlah total $ 67 miliar melalui perusahaan Zara (toko pakaian). Warren Buffet, Amerika Serikat, total kekayaannya berjumlah $ 60,8 miliar dari perusahaan Berkshire Hathaway (usaha pengelolaan keuangan). Carlos Slim Helu, Mexico, memiliki jumlah kekayaan berkisar $ 50 miliar dengan perusahaanya bernama Telecom (perusahaan telekomunikasi). Dan Jeff Bezos, Amerika Serikat dengan total kekayaan senilai $ 45,2 miliar dengan perusahaan amazon.com (perdagangan melalui internet).
Itu merupakan gambaran bahwa orang terkaya di asia dan dunia mengandalkan teknologi dalam meraih kekayaannya, bukan dari bahan yg ‘meracuni manusia’.
*Ramayanti Alfian Rusid, mahasiswa magister manajemen komunikasi Universitas Trisakti