Oleh :
Rudi S Kamri
Pada saat KPU melakukan rapat pleno untuk penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2019 – 2024 pada 30 Juni 2019 lalu, itu penanda semua tahapan Pilpres 2019 telah berakhir. Kita tinggal menunggu secara formal MPR RI melakukan pelantikan pada 20 Oktober 2019. Tidak akan ada lagi perdebatan dalam bentuk apapun. Dan kita juga tidak perlu peduli lagi ocehan nyinyir dari siapapun mulai dari orang-orang yang tidak ikhlas kehilangan ke’kampret’annya sampai ujaran dari Din Syamsuddin yang tidak malu menunjukkan jiwa kampretnya.
Ajakan simpatik dari Presiden Jokowi dan KH Ma’ruf Amin untuk kembali merekatkan persatuan Indonesia mari kita sikapi dengan bijak dan proporsional. Yang mau kita rangkul, mari kita rangkul. Tapi bagi yang meronta-ronta dengan berbagai dalih biarkan saja. Kita do’akan saja jantung mereka kuat selama 5 tahun ke depan menahan gejolak perih melihat Indonesia maju dan sejahtera bersama Jokowi – Ma’ruf Amin.
Bagi orang-orang yang frustasi tidak tahu adab demokrasi seperti yang membuat KTP versi barisan sakit hati, kita sikapi dengan tepuk tangan lucu saja. KTP abal-abal itu paling hanya bisa dipakai main game monopoli sesama mereka saja. Tidak lebih. Meskipun kelakuan mereka sudah mengarah pada tindakan melanggar hukum, mari kita maknai bahwa semua itu hanyalah bagian dari euforia rasa kesakitan akan kekalahan yang tidak bisa mereka terima. Maklumi saja.
Saat ini kita fokus saja mengingatkan Presiden Jokowi dalam penyusunan anggota kabinetnya. Meskipun hal itu merupakan hak prerogatif Presiden, tidak ada salahnya kita memberikan masukan. Salah satu yang perlu kita ingatkan kepada beliau adalah agar TIDAK PERLU mengajak siapapun anggota koalisi Prabowo-Sandi masuk ke dalam kabinet Indonesia Kerja Jilid II dengan alasan dan pertimbangan apapun.
Salah satu dari jutaan alasan keberatan saya adalah saya sangat menyangsikan concern dan itikad baik mereka dalam membangun Indonesia ke depan. Premis saya berdasarkan kenyataan bahwa dalam kontestasi Pilpres 2019 yang lalu mereka secara sadar telah menggandeng kelompok Islam garis keras yang pro ideologi khilafah ke dalam barisan mereka. Tindakan mereka jelas-jelas sangat berisiko tinggi bagi kelangsungan bangsa dan negara karena berpotensi membahayakan ideologi negara Pancasila. Langkah oportunis mereka ini menunjukkan betapa pragmatisnya mereka dalam mencapai kekuasaan.
Rekonsiliasi dengan mereka tidak harus dimaknai dengan mengajak mereka masuk ke dalam kabinet Indonesia Kerja Jilid II. Disamping mereka tidak berhak dan tidak pantas, saya meyakini kekuatan dan soliditas mereka pun saat ini sudah menyusut jauh dari semula. Kelompok Islam radikal satu persatu sudah mulai mundur teratur. Koalisi Indonesia Adil Makmur juga sudah bubar dan terlihat partai-partai tersebut sedang mencari jalan penyelamatannya masing-masing.
Saya yakin secara kuantitatif kekuatan mereka sudah tidak signifikan lagi. Kalaupun masih ada lengkingan kecil, itu hanya teriakan putus asa yang tertinggal serak. Itu hanya ungkapan kepedihan sporadis yang tidak bermakna apa-apa. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kekuatan partai koalisi Indonesia Hebat di parlemen pun juga mencapai angka mayoritas yang signifikan yaitu mencapai 61%. Kalaupun ada ex partai anggota Koalisi Prabowo-Sandi mau bergabung di partai koalisi Indonesia Hebat di parlemen silakan saja, tapi TIDAK PERLU mereka masuk di kabinet.
Dus berarti, Presiden Jokowi harus percaya diri tidak perlu menarik mereka masuk ke dalam tim kerjanya. Karena kehadiran mereka akan lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya. Mereka sudah pasti akan menjadi duri dalam daging. Kalaupun saat ini mereka terlihat manis, sejatinya mereka hanyalah serupa kawanan serigala yang sedang tertunduk lemas. Pada saat ada kekuatan lagi, mereka akan mencoba menggigit kembali.
Saya punya pepatah baru :
“Sedomba-dombanya serigala bergincu, dia tetap terlihat bengis dan akan terus mengincar tengkukmu”
Paham artinya kan ?
Salam SATU Indonesia
02072019
#TolakKubuPrabowoMasukKabinetJokowi