Pakar Hukum Ketenagakerjaan UNAIR Beri Tanggapan terkait PHK Massal oleh Startup

  • Whatsapp

SURABAYA, Beritalima.com|
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) saat ini sedang gencar dilakukan oleh banyak startup di Indonesia. Fenomena PHK ini dinilai merupakan langkah yang diambil oleh startup dalam menghadapi fase bubble burst. Bubble burst adalah fase pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan naiknya nilai pasar dengan cepat, namun diikuti dengan penurunan nilai yang cepat juga.

PHK yang dilakukan oleh banyak startup seperti yang terjadi di Zenius dan JD.ID sangat berdampak pada sektor ketenagakerjaan. Menurut hukum ketenagakerjaan, ketentuan mengenai PHK diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Hal inilah yang disampaikan oleh Dr M Hadi Subhan SH CN MH, pakar hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Hadi memaparkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja sudah mengatur hal-hal mengenai PHK terhadap pekerjanya. Oleh karena itu, sambungnya, PHK yang dilakukan oleh perusahaan terhadap karyawannya tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.

“Untuk menghindari PHK massal, dalam hal perusahaan masih baru dan uji coba terhadap produknya, maka boleh melakukan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, red) atau yang biasa disebut dengan kerja kontrak. Sehingga ketika produknya gagal, maka PKWT tersebut dapat berakhir,” tutur Hadi.

Hadi juga menerangkan bahwa PHK dapat dilakukan oleh perusahaan terhadap pekerjanya jika terjadi efisiensi karena merugi, namun harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang telah diubah dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Hadi menegaskan bahwa perusahaan wajib memberikan pesangon kepada pekerjanya yang terkena PHK sebesar 0,5 dari ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Hadi juga menyampaikan pendapatnya mengenai efektivitas perusahaan yang melakukan PHK massal untuk menyelamatkan bisnisnya. Seperti yang diketahui, PHK massal kerap dilakukan oleh startup agar startup bisa mengembalikan dana investor. Menurut Hadi, hal itu dapat dilakukan agar perusahaan bisa tetap eksis dan mendapatkan laba.

“Namun, pekerja yang terkena PHK harus mendapatkan pesangon atau kompensasi. Kalau itu pekerja tetap, maka wajib mendapat pesangon. Kalau itu pekerja kontrak, maka wajib mendapat kompensasi,” tegasnya.

Hadi menuturkan banyak faktor yang menyebabkan PHK massal dilakukan oleh perusahaan, selain karena ingin menyelamatkan bisnis dan mengembalikan dana investor. Faktor-faktor tersebut, lanjutnya, bisa terjadi karena perusahaan salah strategi sehingga terjadi penurunan kinerja, kompetensi sumber daya manusia yang tidak maksimal, serta tren banyaknya startup yang baru berdiri sehingga menyebabkan startup-startup tidak mampu bersaing.

Sebagai penutup, Hadi kembali menegaskan bahwa startup boleh saja melakukan PHK terhadap karyawannya selama mematuhi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan. Perusahaan startup yang merugi, sambungnya, karena kalah bersaing dengan perusahaan lain atau karena gagal menjual produk baru kemudian melakukan PHK, dapat dibenarkan dengan alasan efisiensi karena merugi.

“Namun, pekerja yang terkena PHK tetap harus mendapatkan hak pesangon atau hak kompensasi dari perusahaan. Perusahaan tidak dapat berdalih bahwa karena perusahaan merugi atau karena kompetensi sumber daya karyawan yang rendah maka perusahaan tidak bisa membayar pesangon atau kompensasi. Tetap harus dibayarkan,” pungkas Hadi. (Yul)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait