Keadaan ekonomi global saat ini yang lambat dan cenderung stagnan, menyebabkan kondisi fiskal dan moneter kita kurang baik. Gubernur Jatim, Dr. H. Soekarwo, mendorong adanya sistem perbankan yang dapat mendukung terwujudnya suku bunga terjangkau dan mendukung perluasan pembiayaan yang dapat mengurangi dampak krisis ekonomi global. Model pembiayaan ini salah satunya melalui loan agreement. Demikian disampaikannya saat memimpin Forum Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Jatim di Gedung Bank Indonesia Jatim, Jalan Pahlawan 105 Surabaya, Kamis (08/09).
Pakde Karwo, sapaan akrabnya, model loan agreement ini sudah diimplementasikan Pemprov Jatim mulai tahun ini serta merupakan yang pertama kali di Indonesia. Melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 2016, Pemprov memberikan pinjaman kepada sebesar Rp. 400 miliar kepada PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (Bank Jatim). “Dengan loan agreement ini, sektor UMKM tumbuh dengan subur dan memberikan kontribusi luar biasa bagi perekonomian Jatim. Dimana kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai 54,98% atau sebesar Rp. 1.1689,88 trilyun. Selain itu, UMKM juga mampu menyerap tenaga kerja hampir 98%” katanya.
Ia menuturkan, kondisi krisis ekonomi tak membuat Pemprov Jatim mengurangi kinerja pembangunannya. “Prinsip kami pembangunan harus tetap jalan. Kami juga mengusulkan pada Pemerintah Pusat agar jangan menilai dalam pembangunan itu ukurannya adalah pembentukan modal tetap dan pengadaan barang dan jasa sebagai indikator utama, tapi fungsi perbankan dan APBD kita bisa jadi stimulus terhadap pembangunan. Kalau perlu skema pembiayaan kita rubah, yakni lewat loan agreement untuk rakyat melalui skema pembiayaan bunga murah untuk sektor kecil dan UMKM. Harus ada reformasi terhadap struktural yaitu pembinaan pada sektor retail, suku bunga lebih murah dan pajak untuk rakyat kecil dikurngi. Harus ada perubahan terhadap kebijakan publik,” ungkapnya.
Pakde Karwo menyampaikan bahwa pada Triwulan II 2016, tumbuh 5,5 % (yoy). Pertumbuhan didorong oleh peningkatan konsumsi swasta dan pemerintah, serta peningkatan ekspor yang signifikan. Sektor pertanian dan perdagangan menjadi pendorong utama pertumbuhan. Pada Triwulan II Tahun 2016, ITK di perkirakan 111,19 (optimisme masyarakat tinggi). Secara umum iklim investasi di Jatim sangat baik. Realisasi Izin Prinsip PMA masih Rendah (2010-2015 = 273 T belum realisasi). Realisasi belanja pemerintah cukup baik dalam mendorong perekonomian. Di JATIM belanja pemerintah (2015) berkontribusi 9,16 % terhadap PDRB JATIM. Perdagangan antar daerah menjadi tulang punggung ekspor JATIM. Adanya peningkatan ekspor ke amerika serikat & swiss.
Ia menambahkan, ke depannya agar penyusunan anggaran belanja selain mempertimbangkan kebutuhan, juga asumsi penerimaan negara atau penerimaan daerah yang lebih realistis. Selain itu, dibutuhkan strategi perbankan untuk menetapkan NIM perbankan yang dapat mendukung terwujudnya suku bunga terjangkau yang dapat mendukung perluasan pembiayaan. “Model loan agreement ini sangat pas untuk sektor UMKM, ke depannya kalau perlu kita kembangkan skema pembiayaan yang baru,” katanya.
Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV Jatim, Benny Siswanto menyampaikan bahwa kinerja perbankan di Jatim sampai dengan Juli 2016. Pertumbuhan aset dan DPK membaik dibanding Triwulan II Tahun 2016 sementara kinerja kredit sedikit melambat dipengaruhi perlambatan kredit investasi dan konsumsi. Untuk kredit rumah tangga, penyaluran kredit rumah tangga sampai Juli 2016 masih melambat dibanding Triwulan II Tahun 2016. Perlambatan terutama terjadi pada KPR dan Multiguna. Untuk kredit korporasi, kembali menunjukkan tren perbaikan, didorong peningkatan kredit industri pengolahan, real estate, dan konstruksi naik sebesar 2,39%. Dan untuk kredit UMKM pertumbuhannya melambat di bulan Juli 2016, terutama pada industri pengolahan dan perdagangan.
Ia menambahkan, kredit perbankan sampai dengan pertengahan Tahun 2016 masih berada dalam tren pertumbuhan yang rendah. Melalui kebijakan moneter dan makroprudensial yang akomodatif diharapkan turut mendukung penyaluran kredit. Selain itu, anggaran pemerintah untuk pembiayaan ekonomi saat ini terkendala oleh rendahnya pendapatan, oleh karena itu dibutuhkan sumber-sumber baru pembiayaan pembangunan yang bersifat non profit. (**).