SURABAYA, beritalima.com – Gubernur Jatim Dr. H. Soekarwo menawarkan strategi pembiayaan fiskal dan non fiskal, sebagai bentuk solusi atas melemahnya kondisi perekonomian dan. Strategi tersebut untuk mengatasi dampak dinamika global yang mengakibatkan penerimaan daerah stagnan dalam tiga tahun terakhir. Dampak dinamika global tersebut seperti meningkatnya volatilitas pasar keuangan, kebijakan proteksionis, dan adanya capital outflow.
“Kami menawarkan kebijakan strategi fiskal melalui dua hal yakni membentuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan menyusun strategi akses perbankan. Sedangkan pembiayaan non fiskal saya usulkan dalam tiga skema yaitu Public Private Partnership /PPP, corporate bond, dan sistem finansial syariah,” terang Pakde Karwo sapaan akrab Gubernur Jatim pada acara The 6th ASEAN Event Series Bridges “Dialogues Towards a Culture of Peace” bersama Prof. Robert Fry Engle III di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin (20/02).
Pakde karwo menjelaskan, strategi fiskal dengan membentuk LKM diwujudkan dengan hibah dari Pemprov Jatim ke koperasi wanita (kopwan), koperasi karyawan (kopkar), dan LKM fungsional. Sedangkan dalam hal strategi akses perbankan Pemprov telah memperkuat kelembagaan salah satunya dengan membentuk Bank UMKM dan Bank Tani. “Selain itu kami juga mendirikan PT. Jamkrida/ penjaminan kredit daerah sejak 16 Juli 2009. Bahkan sekarang dari modal awal Rp. 50 milyar telah meningkat menjadi Rp. 600 milyar,” ujarnya.
Sedangkan strategi pembiayaan non fiskal atau diluar Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), yang pertama dilakukan dengan model PPP yaitu konsep kerjasama antara pemerintah, badan usaha, dan lembaga keuangan. Di Jatim saat ini model PPP telah diterapkan pada pelaksanaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan. Proyek ini merupakan kerjasama antara pemda, pemprov, dengan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).
Strategi pembiayaan non APBD kedua adalah melalui corporate bond. Dimana, tidak lagi menggunakan obligasi yang dikeluarkan Pemerintah Daerah (municipal bond), melainkan melalui obligasi yang dikeluarkan perusahaan. ”Municipal Bond ini sistemnya lebih rumit, sehingga jika mengalami kegagalan, APBD kita yang kena,” imbuhnya.
Strategi pembiayaan ketiga adalah melalui sistem keuangan syariah. Saat ini Provinsi Jatim telah menjadi pilot project OJK dan Bank Indonesia dalam hal keuangan syariah. Karenanya dalam pengembangan Bank Syariah Pemprov Jatim bekerjasama dengan lembaga keuangan mikro seperti Bait Maal wat Tamwil (BMT). Ini penting dilakukan karena peredaran uang masyarakat di BMT sangat besar. “Saya akan mendorong BI untuk segera melakukan spin off terhadap perbankan syariah,” katanya.
Lebih lanjut disampaikan, tahun 2016, share PDB Jatim terhadap nasional sebesar 14,95 persen atau sebesar 1.855,04 triliun rupiah. Pertumbuhan ekonomi Jatim sendiri di atas tigkat inflasi, kecuali pada Tahun 2013 dan 2014, dikarenakan administered price (kebijakan penyesuaian harga BBM, listrik, dsb).
Ia menambahkan, pertumbuhan industri Jatim saat ini di bawah rata-rata, padahal industri merupakan lokomotif pembangunan. Di Jatim sendiri, 79 persen bahan produksi impor untuk bahan baku dan penolong. “Kita harus mulai mengundang bupati/walikota agar yang diurus bukan hanya pemerintahan tapi resources atau sumber daya, seperti one on one business meeting. Selain itu mereka harus ikut andil dalam penerapan strategi yang kami tawarkan, untuk kemajuan bersama,” pungkasnya.
Sementara itu, Prof. Robert Fry Engle III menyampaikan, perlambatan ekonomi saat ini juga terjadi di seluruh dunia. Di negara berkembang seperti Indonesia masalah ini terjadi karena banyak investor yang tidak mau memberikan pinjaman karena mereka tidak melihat peluang pertumbuhannya. “Jadi meskipun banyak peluang kredit, tapi tidak tersalurkan karena tidak ada investor confidence,” terangnya.
Selain itu, keterlambatan pertumbuhan ini juga dipengaruhi melambatnya ekonomi di China. Karena China adalah importir komoditas terbesar di asia termasuk Indonesia, sehingga ketika China bermasalah maka semua akan terkena dampaknya. Selain itu, situasi di Eropa saaat ini juga tidak stabil, menjadi lebih anti globalisasi sehingga lebih proteksionis. “Yang terakhir juga suasana politik di United State atas terpilihnya presiden terbaru, sepertinya juga memberi dampak besar,” imbuhnya.
Di indonesia sendiri lanjutnya, berdasarkan data sejak tahun 1998 hingga sekarang pasar modalnya cukup volatile. Namun volatilitas Indonesia sangat dipengaruhi volatilitas negara-negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Oleh karena itu, perbankan di Indonesia harus mau melakukan perubahan, khususnya perbankan yang cukup besar seperi Bank Mandiri, Bank BCA, dan Bank BRI. “Namun saya memberi apresiasi karena di Jatim ada perbankan yang ikut membantu pengurangan kemiskinan, dan mau ikut berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur,” terangnya.
Menurut peraih penghargaan Nobel Ekonomi tahun 2003 ini, daripada mengatur masalah moneter suku bunga sebaiknya pemerintah membuat kebijakan fiskal. Hal ini untuk mengurangi defisit yang terjadi antara besarnya gab antara penerimaan dan pengeluaran yang dilakukan pemerintah. Disamping itu, perbankan harus menggunakan perannya sebagai pemberi modal, bukan malah alergi memberi kredit. Suku bunga yang diberikan sebisa mungkin diturunkan, sehingga tidak memberatkan peminjam. “Langkah ini harus segera dilakukan, sebab jika tidak maka ekonomi akan terus melambat karena tidak ada yang bisa digunakan untuk perputaran ekonomi,” tegasnya.
Turut hadir Sekdaprov jatim Dr. H. Akhmad Sukardi,MM, Bupati Trenggalek Emil Dardak, Bupati Pamekasan Achmad Syafii Yasin, Wakil Walikota Pasuruan Raharto Teno, Rektor Kampus Negeri di Jatim, Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lingkup Pemprov Jatim, perwakilan mahasiswa dari UNAIR Surabaya, serta perwakilan siswa-siwsi SMA/SMK se Surabaya. (**)