SURABAYA, beritalima.com – Tiga pilar plus menjadi solusi untuk mengantisipasi sekaligus mengatasi konflik sosial di Jatim. Tiga pilar plus merupakan produk asli Jatim menjadi bangunan dasar yang kokoh terdiri dari pemerintah daerah, TNI-Polri, DPRD/Parpol, plus tokoh agama dan tokoh masyarakat, yang jika bersinergi akan menghasilkan hal yang positif.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Jatim Dr. H. Soekarwo saat Forum Sinergitas Nasional Dialog Kebangsaan “Membangun Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Bingkai Kebhinekaan Indonesia” di Kantor DPRD Jatim, Jl. Indrapura Surabaya, Sabtu (19/11) siang.
Ia mengatakan, pada dimensi sosial budaya, untuk mengantisipasi terjadinya konfluk sosial di Jatim, Pemprov bersama Forpimda, tokoh agama dan tokoh masyarakat melakukan langkah-langkah pencegahan dan penanganan konflik sosial. Sebagai contoh bersinergi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat hingga jajaran pedesaan atau yang disebut sebagai tiga pilar plus.
Lebih lanjut disampaikannya, tiga pilar plus yang berada di tingkat pedesaan terdiri dari kepala desa, Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Tiga pilar plus ini penting sekali. Ini produk asli Jawa Timur. Karena penyelesaian dilakukan oleh kepala desa, bhabinkamtibmas, babinsa, tokoh agama dan tokoh masyarakat adalah penyelesaian budaya, bukan penyelesaian politik. Kebudayaan atau kultur kita sangat harmoni, bukan konflik,” ujar Pakde Karwo sapaan akrab Gubernur Jatim.
Menurutnya, sinergitas inilah yang menciptakan suasana aman dan nyaman di Jatim. Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai secara optimal jika suasana aman dan nyaman tidak tercipta. “Aman dan nyaman menduduki posisi yang utama. Ini terwujud tentunya atas dukungan dan sinergi antara pemerintah daerah, forpimda, tokoh agama, dan tokoh masyarakat,” jelasnya. ‘
Dijelaskan, kondisi yang aman dan tertib akan menjadi modal utama bagi Bangsa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang untuk mencapai cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian berharap agar Jatim bisa menjadi contoh dan motor penggerak bagi daerah lain dalam mempertahankan kebhinekaan di Indonesia. Apalagi Jatim yang pernah menjadi provinsi yang sangat penting penting untuk mempertahakan kemerdekaan utamanya di Kota Pahlawan Surabaya.
Mengenai demokrasi yang ada sekarang ini, ia mengatakan, telah mengandung nilai-nilai positif seperti adanya keterbukaan, check and balance antara pemerintah dengan pengawas-pengawas lainnya. Namun, juga memberikan dampak yang negatif seperti kebebasan yang terlalu bebas juga menimbulkan kerawanan. Hal ini jika terlalu bebas bisa menimbulkan primordialisme kembali ke masalah kesukuan, kegamaan.
Menurutnya, paham-paham radikal dan terorisme yang bukan asli Indonesia masuknya seperti jalan tol. Ini sangat berbahaya bagi Indonesia. Untuk mengatasinya, perlu ada mekanisme kontrol melalui aturan-aturan hukum (rule of law) baik aturan hukum di tingkat nasional maupun provinsi.
“Saya sangat berharap Jatim, masyarakat satu faksi yakni faksi Jatim. Sehingga diharapkan pembuatan peraturan daerahnya lebih mudah, karena komitmen-komitmennya mudah dicapai,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, narasumber dari LIPI Anas Saifi Machfudz mengatakan, untuk menghindari terjadinya class of ideology yang elemen-elemenya sudah sangat mengakar dan menganam perpecahan bangsa, maka perlu disusun strategi kebudayaan.
Sebagai upaya melakukan konsolidasi, lanjutnya, nilai-nilai kebangsaan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, perlu dilakukan soft deradikalisasi terhadap kelompok fundamentalisme lewat bahasa-bahasa agama yang relevan.
Selain itu, untuk mencegah Pancasila mengalami krisis legitimasi perlu dilakukan revitalisasi ganda. Pertama, Pancasila harus diperankan secara maksimal sebagai alat kritik atas seluruh kebijakan yang memperlihakan konsistensi. Kedua, secara eksternal Pancasila harus mampu memadukan (the third way) dan mereduksi dua kecenderungan ekstrem yang tidak saling menguntungkan (sekularisme dan teokrasi).
Dalam hal ini, Pancasila sangat penting bagi Indonesia sebagai basis dasar berbangsa dan bernegara. Pancasila memiliki kekuatan integratif, menyediakan ruang untuk menampung keberagaman perbedaan primordial yang dapat dipertemukan dalam kehendak bersama. (**)