Gubernur Jawa Timur, Dr. H. Soekarwo mengusulkan tiga konsep untuk mendesain ulang (redesign) Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Tujuannya agar BPR tetap eksis, berkembang, dan lebih bersahabat dengan rakyat kecil, khususnya UMKM. Tiga konsep tersebut yakni bekerjasama dengan Bank Umum sebagai APEX Bank, menggandeng asuransi sebagai bridging risk terhadap pinjaman, dan pengembalian kredit (turn over) dilakukan mingguan,
“Konsep-konsep itu berdasarkan pengalaman kami di Jawa Timur yang UMKM-nya sebanyak 6,8 juta dan menyerap hampir 98% tenaga kerja. BPR harus tetap ada agar rakyat kecil yang feasible tapi non bankable bisa mendapatkan akses modal. Tetapi perlu dilakukan redesign agar BPR tetap eksis, berkembang, dan lebih bersahabat.”
Hal itu disampaikan Pakde Karwo, sapaan akrab Gubernur Jatim saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Redesign Posisi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Sistem Keuangan Indonesia” yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Hotel Le Meridien Jakarta, Kamis (22/9).
Pakde Karwo mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan untuk redesign adalah melalui regulasi yang bisa mendorong kehidupan ekonomi kerakyatan. Dalam hal ini, BPR-BPR dapat menggandeng Bank Umum sebagai Bank Pengayom (APEX Bank) mereka. Tapi perlu diatur agar bunga yang dibebankan kepada BPR jangan terlalu tinggi agar BPR dapat memberikan bunga yang murah pula kepada rakyat kecil.
Di Jawa Timur, Pakde Karwo menjadikan Bank Jatim sebagai APEX Bank bagi BPR-BPR di Jatim. Caranya melalui model loan agreement (pinjaman lunak) secara linkage program dari Bank Jatim kepada BPR dengan bunga efektif sebesar 5% per tahun. Selanjutnya BPR diperkenankan menyalurkan dana kepada rakyat atau UMKM dengan bunga mulai dari 7-9% per tahun.
Kemudian, agar kreditur bisa yakin, berani dan nyaman dalam mengangsur pinjaman, BPR dapat menggandeng pihak asuransi sebagai penjamin seperti Jamkrida atau Jasindo. Adapun biaya untuk asuransi tersebut sudah termasuk dalam bunga 7-9% yang dikenakan oleh BPR kepada kreditur. Inilah yang dinamakan bridging risk.
“Ini yang kami usulkan, APEX Bank harus benar-benar berjalan agar cost of fund lebih murah. Tentunya, bank umum harus linkage program dengan BPR. Kemudian ada bridging risk dengan asuransi. Contohnya di Jatim, kami menggandeng PT. Jamkrida untuk asuransi petani. Jika gagal panen, Jamkrida akan mencairkan ganti rugi kepada petani, sehingga diharapkan petani tidak perlu lagi ketakutan gagal panen” katanya.
Selain itu, BPR juga diharapkan melakukan penagihan kredit (turn over) secara mingguan, Tujuannya agar terjadi proses kapitasi di pihak kreditur. “Intinya, redesigning ini seperti cara lama yang dibenahi, BPR yang lemah jangan dilikuidasi, tapi diperkuat. Cost of fund yang tinggi bisa ditekan jika turn over dilakukan mingguan” katanya.
Masih menurut Pakde Karwo, berkat model loan agreement lewat linkage program Bank Jatim-BPR ini, sektor UMKM Jatim tumbuh subur dengan jumlah 6,8 juta. Kontribusi sektor UMKM terhadap PDRB Jatim juga sangat tinggi, yakni sebesar 54,98% dari total Rp. 1.689,88 Triliun PDRB Jatim dan menyerap tenaga kerja sebanyak 98%.
Apiknya perkembangan sektor UMKM berdampak positif pula pada kinerja perekonomian Jatim. Meski situasi ekonomi global sedang lesu, tapi kinerja perekonomian Jatim tetap meningkat. Pada Triwulan I, kinerja perekonomian Jatim tumbuh sebesar 5,34 persen (yoy), berada diatas nasional yang mencapai 4,9 persen (yoy). Sedangkan pada Triwulan II, perekonomian Jatim makin unggul, yakni terakselerasi tumbuh 5,5 persen (yoy), mengungguli perekonomian nasional yang berada pada angka 5,18 persen (yoy).
Sedangkan pada semester I tahun 2016 pertumbuhan PDRB Jatim mencapai Rp. 903,01 triliun, perdagangan Jatim dengan ASEAN surplus USD 89,018 juta dan total realisasi investasi pada semester I sebesar Rp. 71,62 triliun. Jatim menyumbang 14,98 persen terhadap PDRB nasional. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016 diperkirakan terakselerasi dibandingkan tahun 2015 dengan didorong oleh kinerja konsumsi swasta, ekspor, dan investasi pemerintah. Pada akhir tahun 2016 diharapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen.
Sementara kinerja BPR Jatim pada bulan Juni 2016 bisa dilihat dari total aset perbankan yang tercatat sebesar Rp. 11,563 Triliun atau meningkat 7,56% (yoy) dari Juni 2015 yang mencapai Rp. 10,750 Triliun. Kemudian Dana Pihak ketiga (DPK) tercatat mencapai 7,187 triliun atau meningkat 11,12% dari Juni 2015 (yoy) yang mencapai Rp. 6,648 triliun, serta Kredit Konsumsi tercatat mencapai Rp. 2,710 triliun atau meningkat 8,27% dari Juni 2015 (yoy) yang mencapai Rp. 2,503 triliun.
Senada dengan Pakde Karwo, narasumber lainnya, Wakil Dekan Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UGM Muhammad Edhie Purnawan, PhD mengatakan, keberpihakan pemerintah terhadap UMKM harus ditingkatkan. Pasalnya, UMKM sangat sulit menembus akses modal dari Bank Umum. Jika bisa, bunganya juga sangat tinggi.
“Pakde Karwo ini luar biasa, kepeduliannya terhadap UMKM tidak diragukan lagi. Pemerintah memang harus mengintervensi untuk kepentingan rakyat. Lewat kepemimpinan Pakde Karwo yang inovatif, terutama loan agreement melalui linkage program tadi, UMKM di Jatim bisa hidup bahkan berkontribusi besar bagi perekonomian Jatim” pujinya.
Pemikiran Pakde Karwo juga mendapat apresiasi anggota Komisi XI DPR RI, Ir. Anderas Eddy Susetyo yang juga menjadi narasumber. Menurutnya perlu langkah tegas untuk merevitalisasi Bank Pembangunan Daerah (BPD) seperti Bank Jatim sebagai APEX Bank bagi BPR-BPR di wilayahnya.
“BPD harus dikembalikan sebagai regional champion dan menjadi APEX bank bagi BPR. Melalui kerjasama linkage program, Bank Umum dan BPR diharapkan dapat saling bahu membahu dalam pembiayaan UMKM. Bank Umum yang memiliki dana relatif lebih besar dan dukungan teknologi yang memadai dapat menjalin sinergi dengan BPR yang memiliki keunggulan pengalaman dan sebaran jaringan kantor di pelosok negeri” katanya.
Masih menurut Eddy, di era sekarang, persaingan antara Bank Umum dnegan BPR sangat ketat dan tak dapat dihindari lagi dalam meraih pasar UMKM. Pasar yang selama ini menjadi bidikan BPR, dibidik pula oleh Bank Umum dalam pemberian pelayanan kreditnya. Jika bekerjasama dengan model APEX Bank, tentu persaingan tersebut berganti menjadi simbiosis mutualisme antar keduanya.
Pendapat Pakde Karwo juga diamini oleh narasumber lainnya, yakni Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, Prof. Dr. Sri Adiningsih. Ia mengatakan, penyaluran kredit melalui linkage program adalah peluang besar bagi BPR. Sebagai salah satu lembaga keuangan, BPR dapat menyalurkan kredit melalui pola penyaluran channelling dan executing.
“Pola channelling yakni BPD berperan sebagai agen dari calon debitur yang akan mengajukan kredit kepada bank penyalur kredit, sedangkan pola Executing, BPR memperoleh dana kredit dari BPD dan meneruspinjamkannya kepada calon debitur. Manfaatnya bagi BPR adalah mendapatkan profit dari subsidi bunga dan biaya adminnya, serta meningkatkan kemampuan dalam menghadapi persaingan” ujarnya.
Selain Pakde Karwo nara sumber lain pada acara yang dikemas dalam bentuk fokus grup diskusi itu adalah Ir. Andreas Eddy Susetyo, MM (Aggota Komisi XI DPR RI), Prof. Dr. Sri Adiningsih, M. Sc (Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang juga Ahli Ekonomi Kerakyatan), dan Muhammad Edhie Purnawan, PhD (Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UGM). (**)