MENGENALKAN TULUNGAGUNG SEBAGAI CIKAL BAKAL PERADAPAN MAJAPAHIT
Pariwisata Sebagai Metode Untuk Melestarikan Budaya Sesuai Dengan Karakter Bangsa
TUlUNGAGUNG, beritalima.com – Potensi wisata budaya ditulungagung mempunyai nilai ekonomi yang sangat strategis apabila diminute dengan baik banyak candi candi yang tersebar diKabupaten ini dari peninggalan Prasejarah sampai dengan peninggalan jaman Majapahit ada disini, seperti candi sanggrahan dan candi Gayatri peninggalan Kerajaan Majapahit yaitu di jaman Raja Hayam.
Sejarah Candi Sanggrahan (Hariadi Korwil Trengglek)
Dari cerita ini menjadikan turun temurun sehngga diadopsi oleh Raja Hayam Wuruk, untuk membangun sebuah bangunan suci dimaksudkan untuk mendermakan neneknya yang bernama Gayatri, maka dibersihkanlah lokasi di Boyolangu yang dulunya bernama tamal Pandan itu.
Lalu diadakanlah upacara Seradah kalau didalam Islam namanya di ruwat, setelah diruwat selama dua tahun maka dibangunlah sebuah Candi yang disebut dengan Candi Kinandi atau Candi Prawara Paramitapuri dibangun sebuah candi perwara, ada3 bentuk bangunan yang pertama adalah Induk, kemudian disebelah utara ada bentuk bangunan kecil dan ditemukan lagi bentuk bangunan candi diduga candi ini bangunannya sangat luas sekali, candi ini berfungsi untuk menderma baktikan atau untuk menghormati sang Gayatri nenek dari Raja Hayam Wuruk, istri dari pada Raden Wijaya pendiri Majapahit. Mestinya Gayatri menjadi Raja.
Karna sudah terlanjurmenjadi pendeta wanita budha yang bergelar bhiksumi maka dia oleh Hayam Wuruk disemayamkan didermakan lalu dibangunlah tempat suci ini (Candi Gayatri) setelah candi ini dibangunannya dicandi Sanggrahan tidak ada keterangan jelas tapi diperjaaanan kitab Negara kertagama dijelasjkan diboyalangu dibangunlah sebuah candi kinandi prapna pramitapuri tempat pendarmaan sang Gayatri pendeta wanita budha yang bergelar Raja Pat dan dia adalah nenek Hayam Wuruk Istri ke empat dari Raja Wijaya, tujuannya dibangun candi sanggrahan adalah untuk tempat peristirahatan yang ingin nyekar atau mendarmabaktikan kepada Gayatri dan pungsinya juga tempat peribadatan.
Dimasa kecil Gayatri sering ikut bapaknya yaitu raja Kertanegara Gayatri berorentasi kepada agama hindu karna Kertanegara mengundang seorang Hindu dari India untuk mengajarkan atau memberikan informasi kepada Gayatri yang dianggap cerdas, didalam sejarah pararaton disebutkan Gayatri sebagai penasehat bapaknya yaitu seperitual Hindu, tapi ketika dia menikah dengan Raja majapahit yang pertama Raden Wijaya Gayatri juga belajar agama Budha.
Dengan demikian Gayatrilah yng meng- infirasi munculnya agama baru yang namanya agama dharma yaitu Shiwa Budha, di dunia ini campuran antara agama Hindu dan Budha adanya di Indonesia, dan keunikan tersendiri secara Internasional atau disebutkan agama karasihan karna mengadopsi dua agama itu.
Tokohnya adalah Gayatri, bahkan menurut penelitian dari BPCB Trowulan Bhinneka Tunggal Eka Tan Hanna Dharma Mangruwa pencetusnya adalah Gayatri sehingga para sarjana sejarah mengatakan Gayatri adalah seorang pemersatu Nusantara dimasanya.
Karena dilatar belakangi keagamaan Gayatri ini disanggrahan secara totalitas itu bersifat Budha karna ada tanda-tanda atau relief yang menggambarkan sang Budha. Saat itu di candi Sanggrahan sering terjadi pencurian sehingga ada lima arca budha diboyong ke Musium Tulungagung tujuannya untuk keamanan tidak ada tujuan lain.
di Candi Sanggrahan adalah tempat peribadatan agama budha sedangkan di candi Gayatri menjadi unik karna simbolis dari agama Hindu Budha kalau diihat dari arcanya ada beberapa bangunannya menunjukkan adalah agama Budha tetapi bentuk arca -arcanya menujukkan agama Hindu seperti, arca parwati, arca nandi, durgaya, Yoni dan lingga, ini menunjukkan ada rangkaian antara Candi Gayatri dengan Candi Sanggrahan.Kesimpulannya candi ini dibangun semata untuk expansi atau perluasan daerah.
Karna pada waktu itu Hayam Wuruk menyadari bahwa didaerah selatan paling penghujung barat ada sebuah tradisi dimana di Tulungagung ini memiliki satu kolerasi antara masa prasejarah hingga masa sejarah.
Untuk mencapai lokasi candi bisa dengan kendaraan roda dua maupun kendaraan roda empat, namun untuk kendaraan umum tidak tersedia, jalan menuju lokasi cukup bagus, pengunjung yang datang hanya pada hari-hari tertentu saja, seperti pada malam jumat kliwon atau jumat legi bahkan ada yang datang hanya setahun sekali pas hari suroan, bentuk bangunan candi sudah tidak memenuhi syarat untuk dijadikan obyek wisata budaya, bangunan candi sangat memprihatinkan, kurang terawat.
Pemerintah Kabupaten/Kota Tulungagung harus sesegera mungkin untuk melakukan langkah-langkah nyata, aparat dinas kebudayaan harus lebih aktif lagi mengawasi situs bangunan candi melalui juru pelihara, perangkat desa maupun masyarakat.
Aparat Dinas Kebudayaan harus sering kelapangan memberikan edukasi kepada juru kunci atau juru pelihara agar mereka lebih pasih lagi berinteraksi dengan pengunjung.
Harapan Dan Kenyataan.
Sudah sekian lama masyarakat Tulungagung mempunyai harapan kepada pemerintah Kabupaten Tulungagung mereka pada dasarnya meinginkan perubahan ekonomi yang nyata dan berkesinambungan.
Masyarakat pada hakekatnya siap menerima perubahan baru maksudnya inovasi baru dari orang – orang yang mempunyai kekuasan dan SDM yang mumpuni sehingga mereka bisa mengadopsi apa sudah dilakukan oleh orang –orang tersebut, pertanyaannya siapa yang mau mengajarkan atau sedikit berkorban membantu kesulitan mereka dalam menerima inovasi baru tersebut.
Di Indonesia khususnya di Tulungagung kebiasaan masyarakat yang tinggal di pedesaan selama ini tahunya hanya bercocok tanam dan membajak sawah saja, mereka belum siap menerima inovasi baru misalnya industri pariwisata dimana yang selama ini mereka tahunya hanya bercocok tanam, bagaimana mereka bisa melakukannya karna dengan inovasi baru ini mereka masih sangat asing, apa itu pariwisata apa bisa pariwisata khsusunya wisata budaya bisa menjadikan kehidupan mereka menjadi lebih baik, ini karna keterbatasan SDM mereka.
Perlu adanya kejujuran dan kesadaran pemerintah Kabupaten/Kota Tulungagung untuk memberikan pelajaran tentang sadar wisata dan memberi contoh yang baik sehingga dapat diadopsi masyarakat sekitarnya.
Dalam kenyataannya apa yang diharapkan masyarakat tidak kunjung tiba, apa yang sudah dijanjikan pemerintah dalam hal ini pemerintah Kabupaten tidak sesuai dengan janji janji bahwa pariwisata khususnya wisata budaya bisa merubah kehidupan masyarakat, pariwisata bisa mensejahterakan masyarakat sesuai Undang-Undang N0. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan, diperkuat lagi dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya adalah warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya didarat dan/ atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan agama, dan/atau kebudayaan.
dan ini berbanding terbalik tidak sesuai dengan kenyataan, banyak situs-situs peinggalan para leluhur dibiarkan rusak terbengkalai tak terurus tergerus oleh waktu dan jaman dimana tanggung jawab pemerintah dalam hal ini pemerintah Kabupaten/Kota Tulungagung, padahal Tulungagung adalah salah salah satu pusat peradapan dari prasejarah sampai jaman sejarah, Tulungagung seperti tak punya jati diri, kehilangan budaya dan kearifan lokalnya,sebagai pusat budaya dan agama di masanya.
Menurut teori difusi inovasi (Everett RogersTahun 1964) adalah teori bagaimana sebuah ide dan tehnologi baru tersebar dalam sebuah kebudayaan.
Semestinya ada kelompok agen inovasi yang bisa menciptakan inovasi-inovasi baru, sehingga masyarakat bisa mengdopsinya, siapa saja yang menjadi agen Inovasi ? tentunya orang-orang yang adaptif memiliki standarisasi di bidang kepariwisataan utamanya pemahaman tentang budaya kearifan lokal seperti, Pengusaha, Nelayan yang sukses Petani sukses, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Tokoh Agama, para Dosen dan Mahasiswa.
Mereka ini semestinya tampil digarda depan untuk mengawal perubahan baru, mereka harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat, semua unsur harus saling bahu membahu untuk membuka wawasan masyarakat desa yang SDMnya lemah, biar mereka tahu apa itu pariwisata, apa itu cagar budaya, apa itu situs cagar budaya, biar masyarakat faham, kalau kita sudah membentuk komunitas agen inovasi tadi maka semuanya akan menjadi mudah.
Tentu ini semua melalui proses yang panjang, sebar agen-agen inovatif yang mau mengorbankan waktunya untuk masyarakat disetiap desa, ajarkan mereka cara berorganisasi yang baik, seluruh desa harus membuat struktur organisasi paguyupan sesuai nama desa tersebut seperti suatu misal, paguyupan situs candi Sangrahan, paguyupan situs candi Gayatri atau paguyupan desa boyolangu, paguyupan telaga Bureh dan semuanya harus punya paguyuban dan semuanya harus legal artinya berbadan hukum dinotariskan, tujuannya untuk apa, agar supaya lokasi lokasi yang ada bangunan situsnya tidak bisa diganggu gugat oleh phak-pihak yang mementingkan kelompoknya atau akan dibangunnya perumahan oleh infestor, kepentingan pribadi, karna paguyupan tersebut telah berbadan hukum alias legal
Dengan demikian kalau sudah terbentuk agen-agen inovatif stuktur organisasi paguyupan pekerjaan akan menjadi mudah dan akan lebih focus lagi, tinggal bagaimana cara pendekatan kita kepada masyarakat
Desak pemerintah untuk mengucurkan dananya untuk memperbaiki situs-situs yang terbengkalai, membuka alat tranfortasi, infrastruktur dan ini harus diupayakan semaxsimal mungkin, lakukan secara bersama-sama, yang utamanya adalah kemandirian desa itu sendiri tentunya dengan dibantu agen inovasi. Media ,Cetak, Media On line dan wibesite juga harus di libatkan, kalau semuanya dikoordinasikan dengan baik tidak lama lagi Kabupaten Tulungagung akan terlihat bersinar dari kejauhan.
Sedangkan hambatannya justru dari para tokoh masyarakat dan para tokoh agama, mereka ini belum tahu dan tidak bisa membedakan mana budaya mana agama, keterbatasan SDM mereka dalam menerima informasi dan inovasi baru, budaya menurut mereka (Tokoh Agama) bisa menghambat keberadaan Islam.
Umat mayoritas dalam menjalankan ibadahnya merasa terusik, yang jelas mereka selama ini takut akan kehilangan ummat. Sebuah budaya yang menyembah patung dan itu dikatakan sirik islam melarang itu, padahal ini hanya sebuah pelestarian budaya atau adat istiadat orang Jawa yang dilakukan secara turun temurun.
Untuk meningkatkan pengunjung, harus ada kesadaran para aparat pemerintah Kabupaten yang selama ini kurang intensitas kerjanya, tidak adanya koordinasi yang baik dari atas sampai kebawah sehingga tidak focus, mereka setengah hati dalam bekerja tidak punya etos kerja yang baik, semua itu karna kurang sekali atau datang kelapangan, jarang melakukan interaksi kepada masyarakat sehingga apa yang diinginkan masyarakat banyak yang terabaikan. (Untung)