JAKARTA, beritalima.com – Pasca Putusan Mahkamah Agung ataa uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Pasal yang diuji materikan itu mengatur soal larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi, mantan bandar narkoba dan eks narapidana kasus kejahatan seksual pada anak untuk maju menjadi calon legislatif.
Seperti dilansir kompas.com edisi, 14 September 2018, Suhadi, Juru Bicara MA, menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg bertentangan dengan UU Pemilu. Dari pertimbangan hakim PKPU bertentangan dengan UU Nomor 7 tahun 2017. Oleh karena itu menjadi banyak pertanyaan dari para akademisi, bahwa Putusan MA apakah sudah sesuai dengan konstitusi dan ingin mengetahui apakah Putusan MA tersebut dapat memberi ruang untuk melakukan tindak pidana.
Kendati Putusan MA yang sudah menjadi produk hukum, apakah dapat memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu menurut para akademisi, harus kejelasan dan kepastian antar lembaga peradilan, bila dilihat dari keadaan saat ini, UU Pemilu belum putus di MK, Caleg sudah diputuskan di MA terlebih dahulu. Sementara PKPU mengacu pada UU Pemilu yang sedang digugat di MK.
Lebih lanjut persoalan setuju atau tidak setuju terhadap Caleg mantan Koruptor, tergantung tokoh atau figur yang menilainya dan masing – masing memiliki persepsi yang berbeda. Termasuk M. Achsin Presiden Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) terhadap Caleg Koruptor, ia menyatakan bahwa anggota legislatif yang pernah menjadi Napi Koruptor, terus setelah bebas mencalonkan kembali. Ia pun menegaskan, tidak semua mantan napi koruptor ketika mencalonkan kembali dilarang.
“Putusan Mahkamah Agung yang sudah incracht terhadap calon legislatif mantan napi, KPU RI mao tidak mau harus menghargai dan menjalankan produk hukum yang sudah incraht,” tandas M. Achsin, Rabu (26/9/2018) kepada beritalima.com ketika jumpa di Jimly School Law and Government (JSLG), di bilangan Thamrin, Jakarta. dedy mulyadi