Pascapilpres Ayo Bersatu Lagi

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Berapa hari sebelum putusan dibacakan, masing-masing kubu tampak marasa optimis bahwa mereka akan memenangkan perkara. Akan tetapi, semua tahu amar putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024yang dibacakan sendiri oleh Ketua MK ternyata berbunyi: “Dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon dan Pihak Terkait untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” Diktum yang dibacakan sendiri oleh Ketua MK itu, secara yuridis, di samping sebagai jawaban atas kasus sengketa hasil pemilu 2024 ini, sekaligus tentu harus dianggap telah mengakhiri berita simpang siur mengenai dugaan berbagai kecurangan yang disematkan kepada pemerintah dan KPU atas penyelenggaraan pemilu 2024 selama ini.

Hanya saja putusan tersebut memang tidak dihasilkan dari suara bulat. Sebagaimana ditulis dalam laman mkri.id (Senin, 24 April 2024) untuk pertama kali dalam sejarah, putusan dalam perkara PHPU diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion). Tiga Hakim MK yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pendapat berbeda dalam Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024. Meskipun demikian, penolakan gugatan oleh MK tersebut secara keleluruhan tetap harus dianggap menggambarkan pendapat MK, karena pendapat 3 Hakim Konstitusi tersebut tidak sejalan dengan mayoritas pendapat, yaitu 5 Hakim Konstitusi selebihnya.
Perlunya Rukun dan Bersatu
Adalah menarik kalimat yang disampaikan oleh seorang politikus Gerindra, yang antara lain mengingatkan syarat Indonesia maju harus rukun dan bersatu. Kalimat yang disampaikan dalam sesi dialog dalam salah satu TV Swasta nasional itu (24/04/2024), tentu sangat indah didengar. Tetapi apakah mudah terimplementasi dalam kehidupan nyata, semua tergantung dari para elite politiknya sendiri. Mengapa, harus para elite dan bukan masyarakat?

Sebagaimana kita ketahui selama ini meskipun eksistensi elite tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai basisnya, dalam praktik sering terjadi pada situasi tertentu kedua entitas ini—politisi di satu pihak dan masyarakat basis pendukung di pihak lain–sering tidak selalu berada pada satu track yang sama. Contoh mengenai hal ini seperti yang baru saja terjadi, yaitu ketika para elite politisi secara terbuka ramai-ramai mengjajukan gugatan ke MK, meskipun calon yang didukung kalah, masyarakat pada umumnya sudah tidak terlalu bersemangat mempersoalkannya. Kasus khatib salat id ditinggal bubar jamaahnya akibat mengungkit kecurangan pemilu di Bantul baru lalu, merupakan salah satu contoh nyata mengenai hal ini. Masyarakat tampaknya lebih cepat bersikap realistis, seperti memikirkan bagaimana dapat mencari rizki dengan tenang, harga-harga stabil, dari pada ikut ramai-ramai turun ke jalan atau ikut berkerumun mengunjungi sidang-sidang di MK. Hal demikian juga terjadi pada pilpres langsung pertama. Saat SBY memenangi dua kali pilpres, para elitenya, khususnya partai besar pengusung yang kalah. Padahal, basis rakyat pendukung mayoritas sudah legowo. Pada wktu itu sampai dilukiskan oleh seorang penulis artikel populer dengan judul “Kehendak Rakyat versus Kehendak Politisi”. Artikel ini muncul sebagai respon atas partai besar tertentu, yang terus berkesimpulan ada kecurangan penyelenggaraan pemilu sehingga menyababkan kemenanan lawan politiknya waktu itu. Format tuduhannya sama, yaitu kecurangan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Yang paling menyolok sekaligus ironis, bahwa ketidaksingkronan antara elite dengan masyarakat juga terjadi pada pemilu yang menempatkan 2 kandidat presiden (Prabowo-Sandiaga Uno versus Jokowi-Amin Makruf). Hanya saja situasinya berbeda, akibat politik identitas yang, entah sengaja atau tidak, diciptakan oleh para elite, pembelahan itu membekas di hati masyarakat pendukung sangat dalam. Lahirnya istilah “kampret” dan “cebong”, yang tidak jarang bahkan menjadi bagian tema khutbah jumat, juga tidak dapat dihindari waktu itu. Ketika top elitenya merapat ke kubu lawan, justru masyarakat pendukungnya nyaris tidak rela dan menstigmanya sebagai munafik.

Perlunya Penyeimbang
Langkah salah satu petinggi partai dari kubu lawan, sebut saja Surya Paloh dengan Nasdemnya, yang mengucapkan selamat segera KPU menyampaikan pengumuman kemenangan Prabowo-Gibran, merupakan langkah menyejukkan saligus sportif. Terlepas motivasi apa di balik sikap tersebut, yang pasti tindakan tersebut tentu mengurangi kepengapan atmosfir politik di tanah air. Dan, tentunya cukup melegakan banyak pihak. Kegarangan akibat bara kemarahan elite politik tertentu dari kubu yang kalah, sedikit teredam oleh ucapan selamat tersebut.

Tindakan yang waktu itu oleh pihak yang kalah lainnya sebagai tindakan yang kurang populer itu, ternyata belakangan disusul oleh PKB. Langkah Cak Imin (sapaan akrab Gus Muhaimin Iskandar) sebagai Ketua PKB dengan menemui pimpinan partai Nasdem, di samping menambah aroma pundi-pundi dukungan moral atas kemenangan Prabowo-Gibran, juga dapat menjadi penyejuk suasana. Dan, langkah ini sekaligus membenarkan stigma para pengamat selama ini, bahwa secara historis PKB tidak pernah menjadi kelompok yang bersebarangan dengan pemerintah. Apalagi, menjadi partai oposisi. Sehingga, dalam konteks ini, langkah Gus Imin tersebut juga dapat dianggap langkah politik taktis nan cerdas.

Jika satu demi satu partai yang kalah akan mengambil sikap demikian tentu ekspektasi Prabowo-Gibran yang akan merangkul semua komponen bangsa menunjukan tanda-tanda keberhasilan. Hanya saja, di balik itu banyak pengamat khawatir jika semua partai kemudian merapat ke pemerintahan. Kekhawatiran itu ialah jika pemerintahan nanti terlalu kuat hingga tidak ada satu kekuatan pengontrol. Substansi kekhawatiran itu tidak lain mengenai kelangsungan demokrasi, sebab salah satu syarat demokrasi yang sehat adalah adanya kekuatan pengontrol yang seimbang, yaitu antara lain dari lembaga legislatif (parlemen). Kalau kekhawatiran itu benar-benar terjadi, maka predikat Indonesia sebagai negara demokrasi, bahkan terbesar ketiga dunia, dikhawatirkan akan hanya tinggal kenangan.
Dengan demikian, antara syarat untuk menjadi maju yang perlu sikap rukun dan bersatu, di satu pihak, dan kelangsungan demokrasi yang perlu kelompok penyeimbang, di pihak lain, harus diciptakan benang merah sebagai penghubung. Tujuannya agar dua kepentingan tersebut tidak berada pada kutub yang berbeda, yaitu bagaimana Indonesia tetap bisa maju, tetapi demokrasi juga tetap eksis. Implementasinya tentu, bagaimana kita tetap rukun dan bersatu, tetapi tetap ada kelompok kritis yang senantiasa siap melalukan, “amar makruf nahi munkar”. Meskipun demikian, di balik sikap kritis, harus tetap dapat menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Atau, dengan kalimat lain, sikap kritis tetap wajib disampaikan, tetapi ketika sudah sampai ke ranah “demi kepentingan bangsa” harus hanya ada satu kata: “bersatu”. Semoga.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait