Oleh : Dr. Lia Istifhama, M.E.I
beritalima.com | Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, suami dari putri tersayang Rasulullah SAW, Sayyidah Fatimah ra., yang sekaligus Khalifah keempat dalam Khulafaur Rasyidin, memiliki akhir hidup yang mengharukan. Ayah dari Hasan dan Husein tersebut, dibunuh oleh seorang Khawarij Abdurrahman bin Muljam, tatkala sedang bersujud dalam shalat subuh di masjid Kufah. Krisis politik yang ditengarai beragam fitnah dan adu domba, menjadi penyebab kematiannya tepat pada 21 Ramadlan 40 H.
Kepergian Sayyidina ‘Ali, menjadi pukulan pedih bagi kaum muslimin. Terlebih mengingat sosok ‘Ali yang sangat dicintai oleh Rasulullah SAW., sesuai sabda beliau: “Engkau (‘Ali) bagian dariku dan aku (bagian) darimu.” (HR. Imam Bukhari hadis nomor 3518). Bahkan, kecintaan Rasulullah SAW kepada ‘Ali terekam dalam keputusannya yang mengutus ‘Ali (bersama Khalid bin Walid) untuk pergi ke Yaman sebelum haji wada’ (haji terakhir Rasulullah SAW).
Selain itu, kedekatan Rasululullah SAW dengan ‘Ali dijelaskan dalam Shahih Bukhari hadis nomor 4007:
Dari Salamah ra., Ia berkata: “Ali tertinggal dari Nabi Saw pada perang Khaibar, ia terserang penyakit mata, lalu ia berkata: “(Apakah) saya tertinggal dari Nabi?”. Kemudian ia bertemu beliau. Ketika kami bermalam pada malam hari penaklukan Khaibar, beliau bersabda: ”Besok aku akan memberikan bendera atau besok bendera akan diambil oleh seorang lelaki yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya lagi diberi kemenangan.” Kami mengharapkan bendera itu, kemudian dikatakan: “Ini adalah ‘Ali”. Lalu beliau memberikan kepadanya dan ia diberi kemenangan”.
Sebelum terbunuh, Sayyidina ‘Ali mengalami beragam cobaan dalam pemerintahannya, diantaranya adalah menghadapi fitnah dari beberapa orang yang menyebabkannya terlibat pertikaian dengan pendukung Sayyidah ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. Selain itu, ‘Aliyang bernama asli Haydar bin Abu Thalib tersebut, harus bersabar menghadapi pemberontakan yang dilakukan kelompok Muawiyah bin Abi Sufyan.
Mu’awiyah merupakan Gubernur Suriah yang tidak puas dengan kekhalifahan Ali dan menuding ‘Ali tidak tegas mengusut pembunuh Khalifah Utsman bin Affan sehingga terjadilah penyerangan melalui Perang Shiffin di tebing Sungai Firat Syam atau Suriah pada Mei-Juli 657 Masehi. Saat itu, Mu’awiyah tersudut dan mengalami kekalahan. Namun Mu’awiyah sangat licik dan memanfaatkan karakter sang Khalifah yang memiliki sifat belas kasih sangat besar. Mu’awiyah kemudian mengajukan tahkim, yaitu pendelegasian untuk menentukan kesepakatan diantara keduanya.
Sikap bijaksana Khalifah ‘Ali membuatnya menyetujui keinginan Mu’awiyah agar tidak terjadi pertumpahan darah diantara pendukung keduanya. Hal ini menjadi pilihan sang Khalifah, seperti halnya tatkala ia menyikapi kepergian Khalifah Utsman dengan tidak serta merta meng-qisas pelaku pembunuhan Utsman di hadapan umum. ‘Ali memilih secara cermat aspek yang mendatangkan maslahah (manfaat) dan menghindari mafsadah (kerusakan) yang bisa timbul, yaitu potensi pertumpahan darah. Hal inilah yang ternyata disalahartikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan kerabat Utsman sehingga terjadi perang Shiffin saat itu.
Dalam perang Shiffin yang berakhir dalam kesepakatan tahkim tersebut, sang Khalifah mendelegasikan keputusan kepada seorang ulama yang terkenal sangat jujur tetapi tidak piawai berpolitik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sedangkan pihak Muawiyah mengutus seorang yang terkenal sangat cerdik berpolitik yaitu Amr bin ‘Ash. Dalam proses tahkim di Dumatul Jandal tersebut, pihak ‘Ali mendapatkan kekalahan sehingga menimbulkan kekecewaan dari pendukung sang Khalifah.
Kekecewaan tersebut menjadi pemecah dalam kelompok ‘Ali, yaitu kelompok yang menerima hasil tahkim tetapi tetap setia terhadap sang Khalifah dan kelompok yang tidak menerima hasil tahkim sehingga memendam kekecewaan pada Khalifah Ali.
Dikisahkan oleh Abu Al-Faḍl Abd Al-Raḥman bin Abi Bakr (Imam As-Suyuti) dalam Tarikh Al-Khulafa, diantara yang kecewa dalam tahkim adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang pengikut militan yang kemudian berbelot melakukan pengkhianatan lantaran menganggap sang khalifah telah mengingkari Al-Quran karena memutuskan hukum berdasarkan hasil rapat manusia melalui tahkim tersebut.
Bahkan Ibnu Muljam bersumpah akan membunuh tiga orang, yakni Muawiyah bin Abi Sufyan, juru bicara pihak Muawiyah bernama Amr bin Ash, juga ‘Ali bin Abi Thalib sendiri. Selain itu, Imam As-Suyuti dalam kitab Al-Mustadrak, menjelaskan penyebab lain yang kemudian kelak menjadikan Ibnu Muljam sebagai pembunuh sang Khalifah.
“Abdurrahman bin Muljam sedang jatuh cinta kepada perempuan bernama Qatham. Wanita itu berkenan dinikahi Ibnu Muljam dengan syarat mahar uang tiga ribu dirham, seorang budak, dan pembunuhan Ali,” tulis Imam as-Suyuti. Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa Qatham binti Asy-Syijnah menyimpan dendam saat ayah dan kakaknya terbunuh dalam peperangan Nahrawan.
Bukan hanya Ibnu Muljam, pendukung sang Khalifah yang kecewa pada tahkim, kemudian memilih melakukan perlawanan dengan cara membentuk kelompok baru, yaitu kaum Khawarij. Sebagai oposisi, Khawarij melakukan serangkaian pemberontakan yang dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk menduduki wilayah Mesir.
Kelicikan Mu’awiyah membuat pemerosotan ekonomi dalam pemerintahan Khalifah Ali mengingat Mesir menjadi sumber pendapatan kekhalifahan ‘Ali. Mu’awiyah pun tetap melakukan berbagai pemberontakan sehingga membuat Khalifah ‘Ali memilih menyerahkan kekuasaan atas wilayah Syria kepada Muawiyah dengan harapan tidak ada lagi pertikaian yang ditimbulkan oleh mereka. Namun sebaliknya, hal ini semakin menyudutkan pemerintahan ‘Ali dan menjadikannya memiliki stigma yang lemah dalam mengatur pemerintahan.
Khalifah ‘Ali pun semakin mengalami serangkaian pengkhianatan yang keji akibat beragam fitnah dan pelemahan karakter yang ditujukan padanya. Pengkhianatan semakin menjadi tatkala pemerintahannya semakin mengalami kemunduran.
Sejarah menjelaskan, saat pemerintahannya semakin lemah dan sisa-sisa kekuatan semakin dihilangkan oleh Muawiyah, salah satu militan sang Khalifah, yaitu Ziyad bin Abihi, tiba-tiba menjadi pengkhianat dan mendukung Mu’awiyah. Konon, Ziyad melakukan banyak tindakan keji, seperti membunuh, merampas, menghancurkan harta benda, bahkan menyiksa dengan keji para pengikut ‘Ali, terlebih setelah ‘Ali wafat. Dikabarkan Ziyad telah membunuh tiga belas ribu pengikut Sayyidina ‘Ali. Kekejiannya berakhir saat Ziyad meninggal dunia pada 4 Ramadlan 53 H di Kufah. Kisah pengkhianatan Ziyad menjadi pembelajaran kita bersama, yaitu pentingnya mewaspadai potensi pengkhianatan, terutama dalam sebuah pemerintahan.
Setelah mengalami rangkaian fitnah dan kebencian, Sayyidina ‘Ali pun mengalami akhir hidup yang sangat pedih. Dikisahkan oleh Imam As-Suyuti dalam Tarikh Al-Khulafa, bahwa pada 19 Ramadan tahun ke-40 Hijriah atau 27 Januari 661 Masehi, seorang muazin Ibnu Nabbah mengetuk pintu rumah Khalifah ‘Ali sembari mengingatkan, “Salat! Salat! Salat!”
‘Ali menyambut dan segera melangkah. Sesampainya di depan pintu, ia pun turut berkata, “Wahai kaum Muslimin, salatlah!”, Sang amirul mukminim pun mengimami shalat Subuh bersama jama’ah. Namun, Ibnu Muljam yang sangat keji tiba-tiba datang dan menebas pedang beracun sehingga sang khalifah mengalami luka di bagian muka, kening, hingga menembus ke jaringan otak. Sepupu yang juga menantu Rasulullah ini memang sempat bertahan, akan tetapi kesyahidan menjemputnya pada 29 Januari 661 M.
Kepergian Sayyidina ‘Ali r.a., patut diambil hikmah bahwa segala fitnah dan bentuk adu domba memiliki akibat yang sangat keji, yaitu pembunuhan karakter dan pembunuhan atas nyawa seseorang. Khalifah Ali sendiri, juga harus diteladani sebagai pemimpin muslim yang mulia dan tabah atas beragam fitnah dan adu domba yang menerpanya. (red)