Pelajaran di Balik ‘Geger’ Nasab

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Dalam suatu acara “Maulid Nabi” di salah satu pesantren di Pasuruan Jawa Timur, saya menyaksikan sendiri kelas para habaib itu. Oleh panitia mereka ditempatkan pada tempat khusus dengan jamuan khusus pula. Keyakinan saya akan posisi mereka semakin bertambah ketika saya melihat kelas kiai tuan rumah. Sebagai sohibul bait, kiai itu di samping kharismatik juga tergolong “helaf”. Dalam tradisi pesantren, khususnya masyarakat Madura, seorang kiai disebut helaf biasanya karena memiliki kebiasaan yang “nyleneh” tetapi tetap mendapat penghormatan lebih dari para santri dan masyarakat yang mengenalnya. Santri dan masyarakat mengormati kiai sedemikian rupa karena dianggap memiliki kedekatan khusus dengan sang pencipta dianggap memiliki kemampuan lebih secara spiritual, termasuk anggapan mempunyai indera keenam. Kiai semacam ini biasanya tidak jarang juga disebut wali. Penghormatan lebih ini antara lain ditunjukkan oleh masyarakat dengan mempercayai apa saja yang dikatakan, dilakukan, atau diisyaratklan oleh sang kiai.
Dengan melihat kapasitas kiai yang demikian, saya pun mencoba berlogika, kalau kiai yang khas saja menghormati habaib sedemikian rupa, apalagi masyarakat biasa, termasuk saya sebagai orang awam.

Apa yang saya lihat itu rupanya terjadi di masyarakat pesantren pada umumnya. Banyak kiai besar di Jawa Timur, rupanya juga menempatkan para habaib pada posisi khusus demikian. Kehormatan para habaib bukan didasarkan atas alasan keilmuan dan perilaku yang dimiliki, tetapi karena eksistensinya yang dianggap sebagai “dzurriyatur rasul” (para cucu rasulullah). Para kiai rupanya sangat lekat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam at Tirmidzi dari Ibnu Abbas yaitu ketika rasulullah bersabda: “Cintailah Allah atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya, cintailah aku karena cinta kepada Allah, serta cintailah ahli baitku karena cinta kepadaku”. Hadits ini singkron dengan sabda beliau yang lain yaitu: “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehinngga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anak-anaknya dan seluruh manusia”. ( HR Al Bukhari).
Menurut hadits tersebut, mencintai keluarga rasul menjadi parameter sejauhmana kecintaan seseorang kepada rasul dan kecintaan kepada rasul menunjukkan sejauh mana keimanannya kepada Allah. Dengan demikian, kecintaan kepada dzuriyah rasul juga menjadi parameter sejauh mana tingkat keimanan seeorang kepada Allah. Dalam kesempatan lain, rasulullah SAW, sebagaimabna diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dan al Baihaqi juga bersabda:

“Apa keadaan kaum yang menyakiti aku dalam nasab dan kerabatku. Ingat, barang siapa yang menyakiti keturunanku dan orang-orang yang mempunyai hubungan denganku, berarti ia menyakiti aku, dan barangsiapa me¬nyakiti aku, maka ia benar-benar menyakiti Allah Ta’ala.”
Dalam riwayat at-Turmudzi, Ibnu Majah dan al-Hakim beliau juga pernah bersabda: “Sesungguhnya saya memerangi orang-orang yang memerangi ahli bait saya, dan saya memberi jaminan selamat kepada orang-orang yang berdamai dengan ahli bait saya.”
Dengan nada yang lebih keras, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, rasulullah SAW juga pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah melarang masuk surga terhadap orang yang menganiaya ahlu baitku, atau orang yang memerangi mereka, atau orang yang membantu orang yang memerangi mereka, atau orang yang memaki-maki mereka.”
Kerasnya pesan hadits tersebut juga senada dengan yang diriwatkan at-Thabrani dan al-Hakim, yaitu ketika rasulullah SAW bersabda: “Andaikata seorang laki-laki berdiri antara hajar aswad dan maqam Ibrahim me¬lakukan shalat dan puasa, kemudian meninggal dunia sedangkan ia membenci ahli bait Muhammad shalallahu alaihi waalihi wa shahbihi wasalam, maka ia masuk neraka.”
Terlepas dari sahih dan tidaknya, yang pasti pengaruh eksistensi hadits-hadits semacam itu telah melembaga secara masif di dunia pesantren, khususnya pesantren nahdhiyyin. Bangunan keyakinan tersebut semakin kokoh ketika dihubungkan dengan eksistensi dalil Al Qur’an sebagaimana tersebut dalam Surat ke-33 al-Ahzab ayat 57, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul¬nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.”

‘Ketaklukan’ para kiai kepada eksistensi habaib selama ini, memang nyaris tanpa reserve. Belakangan setelah ada beberapa oknum habib-habib (muda) yang dianggap nglamak kepada para kiai sepuh NU, barulah mulai muncul keberanian mempertanyakan eksistensi ke-habib-an mereka. Perkataan dan sikap kasar oknum sebagian para habib muda, kepada para kiai NU yang kebetulan berseberangan paham dan/ atau pilihan politik, sudah dianggap sudah keterlaluan. Bahkan, seorang tokoh sentral NU waktu itu (Gus Dur) malah dikatakan “buta mata dan buta hati” oleh tokoh mereka. Akibat semua itu, secara diam-diam kesadaran kolektif untuk melawan mereka pun muncul.
Di saat berkobarnya sikap ‘gemes’ sebagian warga nahdhiyin, tiba-tiba muncul sosok kiai muda yang dengan kritis dan tegas meneliti eksistensi kebenaran nasab mereka sebagai dzuriyatur rasul. Kiai itu tidak lain adalah K.H. Imaduddin Utsman Al Bantani. Bahkan, kiai yang juga sering dipanggil “Kiai Ganteng” ini di dalam penelitiannya menyimpulkan, bahwa menurut takaran ilmiah keluarga Habib Ba Alawi tertolak secara ilmiah sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. karena keluarga ini bernisbah kepada Ahmad bin Isa setelah 651 tahun dari wafatnya Sayyid Ahmad bin Isa tanpa sanad. Kitab-kitab yang ditulis terdekat dengan masa Sayyid Ahmad bin Isa tidak mengkonfirmasi adanya Alawi dan Ubaidillah sebagai cucu dan anak dari Ahmad bin Isa. (https://rminubanten.or.id/ 3/4/2024).

Kemunculan kiai muda yang kitab karangannya banyak dicetak di luar negeri itu, dengan cepat dan massif seolah menjadi gerbong perlawanan terhadap oknum yang mengaku-aku sebagai habib yang perilakunya sangat merugikan NU, yaitu ormas Islam terbesar yang selama ini justru telah membangun kebesaraan eksistensi ke-habib-an mereka. Meskipun demikian, yang dilawan oleh Kiai Imad dan barisannya sejatinya hanya kepalsuan pengakuan kenasaban mereka, bukan eksistensi habaib asli atau keilmuan dan perilakunya. Kepada para habaib (dzuriyatur rasul) yang sebenarnya dan siapa pun etnis Arab yang berilmu dan berakhlak mulia kita semua harus tetap menaruh hormat sesuai porsinya. Penghormatan yang didasarkan atas prinsip kesetaraan bukan karena hegemoni nasab, apalagi nasab yang telah terbukti kepalsuannya.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait