Oleh : Taufiq Qurrohman, S.H.
Kabid Advokasi Kebijakan dan Pelayanan Publik LPBHNU Banyuwangi
Mendekati akhir masa kampanye, ketegangan Pilkada di Banyuwangi terasa meningkat. Polemik bermuculan, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh peserta Pilkada hingga netralitas penyelenggara ramai menjadi perbincangan di warung kopi dan media sosial.
Keputusan Pemerintah untuk melaksanakan pilkada serentak di tengah pandemi ini sebenarnya sangat beresiko. Meski sempat menuai kritik dari dari dua organisasi islam terbesar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, Pemerintah tetap saja bersikukuh untuk melanjutkan tahapan Pilkada. Padahal resiko melanjutkan tahapan Pilkada ditengah pandemi tidak hanya mengancam kesehatan masayarakat, tetapi juga potensi pelanggaran akan meningkat apabila Bawaslu tidak mampu memetakan dengan jeli dimana benih-benih pelanggaran itu bisa tumbuh.
Beberapa hari lalu beredar video pendek dengan durasi sekitar 30 detik yang berisi arahan dari ketua komite SMAN 1 Pesanggaran kepada peserta rapat untuk memilih salah satu calon Bupati. Tindakan tersebut tentu sangat mencoreng dunia pendidikan yang seharusnya bersih dari segala bentuk kampanye Pilkada sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Selasa, 10 Nopember 2020 terjadi sebuah insiden dimana salah satu komisioner Panwaslu Kecamatan Genteng membubarkan acara yang dihadiri oleh tim pasangan calon No. Urut 01, sontak panitia penyelenggara langsung merespon dengan protes, karena merasa pembubaran acara tersebut tidak melalui proses sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Perbawaslu) Nomor 14 Tahun 2017 terkait Penanganan Pelanggaran Pemilihan telah diubah dengan Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020.
Tidak berhenti disitu, kabar kurang baik juga muncul dari pihak penyelenggara, salah satu komisioner Bawaslu Kabupaten Banyuwangi diduga melanggar prinsip-prinsip kode etik Penyelenggara Pemilu karena tindakannya menyebarkan potongan video melalui pesan singkat yang dinilai berpotensi menyudutkan salah satu pasangan calon Bupati Banyuwangi.
Dari beberapa pelanggaran Pilkada yang terjadi, penulis ingin memberikan sedikit perhatian tentang dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu Komisioner Bawaslu Kabupaten Banyuwangi. Sebagai lembaga independen maka sudah seharusnya Bawaslu menjaga jarak dari lembaga-lembaga politik yang bisa mengganggu integritas dan keindependensian anggotanya.
Dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu Komisioner Bawaslu Kabupaten Banyuwangi tersebut bisa juga dikatakan karena ketidakmampuannya secara individu menangkap prinsip prinsip kode etik secara komprehensif. Memahami prinsip-prinsip kode etik penyelenggara pemilu tidak cukup hanya dengan membaca dan menjalankan aturan secara tekstual, akan tetapi juga harus dibarengi dengan pemahaman mendalam tentang konsep etika sebagai refleksi kritis, metodis dan sistematis. Dengan begitu, kode etik penyelenggara pemilu tidak sekedar menjadi deretan kata tanpa makna, akan tetapi juga menjadi pedoman perilaku penyelenggara dalam menentukan tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut untuk dilakukan.
Penyelenggara yang berintegritas adalah penyelenggara yang menjunjung tinggi asas kejujuran, mandiri, adil dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kode etik dan integritas lembaga juga bergantung pada perilaku etis para penyelenggara itu sendiri. Independensi penyelenggara, memiliki makna adanya kebebasan bagi Penyelenggara Pilkada serentak dari segala bentuk intervensi, pengaruh kekuasaan, partai politik dan pihak manapun dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan yang berkenaan dengan penyelenggaraan Pilkada.
Beberapa dugaan pelanggaran yang terjadi pada pilkada 2020 ini tentunya harus menjadi catatan khusus bagi penyelenggara. Penyelenggara harus tegas dan bijaksana dalam mengambil keputusan, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan oleh internal kelembagaan. Jangan sampai kepercayaan masyarakat, yang merupakan hal esensial dalam menyukseskan pilkada, justru dicederai oleh tindakan-tindakan tidak etis penyelenggara itu sendiri. Disisi lain Bawaslu juga harus bisa memprioritaskan aspek pencegahan dengan optimal guna meminimalisir terjadinya pelanggaran pilkada yang semakin masif. Mengingat kewenangan lain dalam rangka penindakan tidak utuh menjadi wewenang langsung Bawaslu, selama ini Bawaslu hanya meneruskan laporan pelanggaran kepada KPUD.