Oleh: JAMIL, S.H., M.H
(Dosen Fakultas Hukum Ubhara Surabaya, Anggota APHTN-HAN Jatim, dan Pengurus DPW LIRA Jatim)
Selama hampir dua pekan ini media diramaikan oleh Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK kepada Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Muhamad Basuki. Penangkapan tersebut konon berkaitan dengan kasus suap yang diberikan oleh beberapa kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kepada pak ketua komisi B.
Jawa Timur yang selama ini terkenal adem ayem, setelah berita OTT kepada salah satu anggota dewan tersebut, mejadi gaduh apa lagi ada indikasi bahwa kasus suap ini sudah dilakukan dalam waktu yang lama dan rutin yang melibatkan anggota dewan dan juga unsur eksekutif.
Setelah kejadian tersebut, banyak kalangan berspekulasi bahwa dibalik hubungan mesra antara legislatif dan eksekutif di Jawa Timur telah terjadi persekongkolan dengan cara menyalahgunakan kewenangan masing-masing yang dapat merugikan masyarakat Jawa Timur. Dugaan tersebut juga diamini oleh pihak KPK.
KPK menduga para kepala dinas Provinsi Jawa Timur itu berkomitmen membayar ketua komisi B DPRD Jatim yang kini sudah jadi tersangka sebesar Rp 600 juta per tahun terkait pelaksanaan tugas pengawasan dan pemantauan DPRD terhadap peraturan daerah dan penggunaan anggaran Provinsi Jawa Timur. Pembayaran dilakukan secara periodik setiap triwulan. (https://nasional.tempo.co/read/news/2017/06/08/063882825/kpk-dalami-dugaan-10-dinas-di-jawa-timur-setor-duit-ke-dprd)
1. Hubungan Pusat dan Daerah
Hakikat dari hubungan pusat dan daerah dalam ketatanegaraan adalah pembagian kekuasaan secara vertikal atau dapat juga dinamakan pembagian kekuasaan secara teritorial.
Secara konstitusional hubungan ini diatur dalam Pasal 18 UUD 1945. “negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
“Pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Bunyi pasal 18 ayat (1) dan (2) UUD 1945 diatas menjelaskan pembagian kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dibagi kepada daerah provinsi, kabupaten, dan kota melalui sistem otonomi daerah, yaitu kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.(Lukman Hakim;2012).
Berdasar hal tersebut di atas, pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten dan kota mempunyai kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui kesepakatan antar penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari kepala daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. (Pasal 57 UU. 23 Tahun 2014). Terhadap penyelenggara pemerintah daerah Provinsi, pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh pemerintah pusat.
Mempelajari diskripsi dalam paragraf di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggara pemerintah daerah merupakan bagian dari penyelenggara eksekuitif dengan kata lain semua unsur penyelenggara pemerintahan daerah, baik unsur Kepala Daerah maupun unsur DPRD adalah kepanjangan tangan dari eksekutif pusat. Jadi DPRD walaupun mempunyai fungsi legislasi bila dipandang dari hubungan antar pemerintah pusat dan daerah tetap merupakan bagian dari eksekutif. Disamping itu DPRD juga tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan DPRRI.
2. Konfigurasi Politik Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah
Sejak era reformasi konfigurasi politik antara daerah tidak lagi linier sebagaimana konfigurasi politik yang terjadi dimasa orde baru. Hal ini disebabkan karena sejak reformasi Indonesia mempunyai dua rezim pemilihan yaitu rezim pemilihan umum (pemilu) dan rezim pemilihan kepala daerah (pilkada). Masing-masing rezim sama-sama memberlakukan sistem pemilihan secara langsung. Artinya kepala pemerintahan pusat dipilih langsung oleh rakyat begitu pula kepala pemerintahan daerah juga dipilih langsung oleh rakyat.
Pemilihan pemimpin negara baik pusat maupun daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat ini menyebabkan konfigurasi politik antara pusat dan daerah menjadi tidak linier. Penguasa yang ada dipusat belum tentu merefresentasikan penguasa didaerah. Begitu pula komposisi pemenang pemilu yang teridiri dari partai politik antara pusat dan daerah juga sangat beragam. Sehingga partai politik yang memposisikan dirinya sebagai partai yang oposisi kepada pemerintah yang ada di pusat belum tentu partai tersebut juga beroposisi kepada kepala daerah yang ada didaerahnya. Dengan demikian, konfigurasi politik yang ada di daerah memiliki warna tersendiri yang membedakan dengan konfigurasi politik yang ada di pemerintahan pusat.
3. Kesimpulan
Sistem pemerintahan daerah yang menjadikan kepala daerah dan DPRD sebagai penyelenggara daerah yang memiliki hubungan kemitraan yang sejajar serta konfigurasi politik didaerah yang memiliki warna tersendiri sangat memungkinkan bagi daerah untuk melakukan kompromi-kompromi jahat guna menutupi berbagai keburukan atas pengelolaan pemerintahan daerah yang menjadi tanggung jawab bersama antara unsur kepala daerah dan unsur lembaga kedewanan.