Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Asan (bukan nama sebenarnya) rupanya tidak bisa menyembunyikan kekesalannya di persidangan. Dia kesal karena permohonan izin untuk menceraikan istrinya tidak berjalan mulus akibat istrinya menghadiri sidang. Semula mungkin menduga bahwa istrinya yang pada sidang pertama tidak datang, pada panggilan ke dua tidak datang lagi. Menurut, protap yang ada apabila pihak termohon atau tergugat tidak hadir sebanyak 2 kali berturut-turut dan surat panggilan oleh hakim dianggap sah, maka akan diputus tanpa kehadirannya. Dalam istilah teknis peradilan, putusan yang demikian lazim disebut putusan verstek. Asan, berbesar hati akan mendapat protap demikian, sehingga tidak perlu bolak balik datang ke pengadilan agama yang dalam keseharian seperti pasar ini;
Yang lebih membuat Asan kesal, ternyata di samping istrinya datang bersama dengan seorang pengacara, pada saat membaca jawaban istrinya atas permohonan yang diajukan, istrinya mengajukan sejumlah tuntutan yang menurutnya tidak masuk akal. Alasan-alasan mengapa sampai timbul tuntutan istri baginya tidak penting. Apalagi alasan itu oleh sang pengacara ditulis secara panjang lebar dan “ndakik-ndakik” hamper memakan puluhan halaman. Pada jawaban yang ditulis dengan ketikan spasi tunggal itu juga sering dibumbuhi dengan istilah-istilah asing yang, karena ‘wong ndeso’ sama sekali tidak ia mengerti. Dia hanya melihat pada bagian akhir tulisan yang biasa menyebut angka nominal sekian rupiah dan sebagainya. Tetapi Asan memang benar-benar masygul ketika istri menyebut ratusan juta rupiah yang harus dibayar olehnya apabila memaksa menceraikan istrinya. Yang paling menyedihkannya ketika istrinya menuntut “nafkah lampau” puluhan bulan yang menurut istrinya konon tidak pernah terbayar.
Secara umum, nafkah lampau, atau nafkah madhiyah biasanya diartikan sebagai nafkah terdahulu yang dilalaikan atau tidak dilaksanakan oleh suami kepada istri saat keduanya sudah terikat oleh perkawinan yang sah. Nafkah memang dapat menjadi hutang suami, kalau tidak dibayarkan/ dituniaikan oleh suami. Tentang kewajiban meberikan nafkah kepada istri telah menjadi pembicaraan hukum munakahat. Bahkan, telah menjadi wacana panjang lebar oleh para fuqaha.
Secara normatif kewajiban nafkah ini telah tersurat pada Bab VI UU Nomor 1 Tahun 1974 yaitu ketika UU tesebut menyebut Hak dan Kewajiban Suami Istri. Pada Pasal 34 ayat (1) dikemukakan: “Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. “Memberikan segala sesuai keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya” dalam arti sempit tidak lain adalah nafkah. Akan tetapi nafkah yang menjadi hak istri dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami ini, tidak berlaku secara mutlak. Ada alasan-alasan tertentu yang manyebabkan kewajiban nafkah ini gugur. Alasan ini hanya disebut dalam fikih munakahat dan Kompilasi Hukum Islam dan tidak dalam hukum positif perkawinan, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal 149 huruf b KHI: Bilamana perkawinan putus karena cerai talak maka bekas suami wajib: b. Memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan dasar hukum lainnya berkenaan dengan nafkah diantaranya dimuat pada Pasal 80 ayat 2 KHI yang bunyinya: Suami wajib melindungi Istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Tampaknya soal nafkah ini kini menjadi aktual ketika banyak pihak menyoal tentang hak-hak perempuan. Mahkamah Agung RI tampaknya ikut terlibat dalam percaturan tersebut yaitu ketika kemudian menerbitkan PERMA No. 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum. Kemudian secara teknis menerbitkan pula SEMA Noomor 3 Tahun 2018 yang pada pokoknya dalam perkara cerai gugat seorang istri boleh mengajukan nafkah (lampau dan iddah) dan mut’ah. Sebelumnya, gugatan hak-hak istri itu hanya terjadi pada perkara cerai talak yang diajukan dalam bentuk gugatan rekonvensi (gugat balik). Tidak sampai di sini, agar putusan pengadilan tidak mandul ada ‘petunjuk’, bahwa pembayaran hak-hak istri tersebut dalam perkara cerai talak harus dibayarkan sebelum suami mengikrarkan talak dan pada cerai gugat dibayarkan sebelum akta cerai suami diserahkan.
Manajemen Nafkah
Di saat para ahli hukum mewacanakan seluk beluk nafkah dan implementasinya di dunia peradilan, tampaknya ada satu yang luput dari pengamatan kita, yaitu manajeman nafkah. Dalam kehidupan suami istri pelaksanakaan nafkah biasanya tidak pernah termanaj dengan baik. Seorang istri sering tidak menghitung berapa nafkah yang harus diterima setiap bulan. Sebaliknya. suami pun sering tidak merasa mendapat beban harus memberikan jumlah nafkah tertentu. Hal demikian terjadi saat rumah tangga berjalan normal dan urusan perut dan kulit (pakaian) sudah dirasa telah selesai. Dan, yang lebih penting masalah nafkah ini, baik dari segi jumlah dan kualitasnya sering tidak pernah dipersoalkan ketika suami istri telah hidup bahagia bersama. Meskipun suami mungkin telah memberikan nafkahnya setiap hari akan tetapi tidak pernah membukukannya layaknya seorang pegawai bank yang memerlukan tanda tangan nasabah ketika telah menerima uang darinya. Si istri pun juga jarang yang membukukan uang belanja dari suami seperti seorang bendahara koperasi simpan pinjam. Semua formalitas administrasi itu dilewati begitu saja akibat rumah tangga sudah bahagia. Penyerahan nafkah oleh suami kepada istri pasti hanya istri yang tahu dan tidak pernah melibatkan orang lain. Belum lagi, jika hal ini mengenai kehidupan keluarga petani. Nafkah suami terhadap istri sering hanya berbentuk natura (benda langsung), seperti beras, kelapa atau hasil panen sawah berupa padi atau tanaman yang biasanya hanya berlaku setiap musim. Ketika musim panin lewat dan gilirannya musim paceklik suami istri biasanya mempraktekkan hasil komitmen tidak tertulis yang telah disepakati sebelumnya: “ada sama dimakan tak ada sama ditahan”.
Dengan demikian urusan nafkah memang murni urusan kamar suami istri. Mengenai nafkah ini, orang lain hanya mungkin terlibat, jika suami istri ini melakukan hubungan jarak jauh atau yang lazim disebut LDR (Long Distance Relationship). Pada keluarga dengan tipologi demikian biasanya, pemberian nafkah memang melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa berupa orang (keluarga dekat) atau intitusi seperti jasa bank. Dengan terlibatnya pihak ketiga memungkinkan untuk dilakukan pembuktian jika terjadi sengketa nafkah.
Paparan di atas disampaikan sekedar memberikan gambaran kepada kita bahwa pembuktian mengenai nafkah merupakan perkara yang sangat sulit. Bahkan, untuk kehidupan suami istri non LDR, nyaris tidak mungkin membuktikan nafkah. Satu-satunya bukti yang mungkin digunakan apabila ada sengketa ialah “bukti pengakuan”. Akan tetapi, jangan sampai salah penerapan. Pengakuan yang dimaksud ialah pengakuan istri bahwa ia telah menerima nafkah dan pengakuan suami bahwa ia tidak memberikan nafkah, bukan sebaliknya. Apabila istri mengaku tidak menerima nafkah dan suami mengaku telah menerima nafkah, hal demikian bukan pengakuan.
Dengan ilustrasi di atas, diperoleh gambaran, bagaimana mungkin seorang hakim akan membebani beban pembuktian kepada suami. Betapa tidak mungkin suami membuktikan bahwa ia telah memberikan nafkah kepada istri yang dari semula tidak pernah terpikirkan olehnya akan digugat istri di pengadilan. Mengapa harus suami yang membuktikan?. Secara teknis (hukum acara) pada sengketa nafkah lampau ini ialah adanya dalil istri, bahwa istri menuntut nafkah lampau yang tidak diberikan selama sekian bulan atau sekian tahun. membebani pembuktian kepada istri secara teknis adalah salah besar, sebab peristiwa negatif tidak boleh dibuktikan olehnya. Beban pembuktian secara teknis, harus dibebankan kepada suami yang biasanya—ketika ada tuntutan istri tersebut—menyangkal bahwa pada pokoknya ia telah memberikan nafkah. Akan tetapi, mungkinkah ia bisa mengajukan alat bukti? Jawabnya: sulit. Di sinilah kebanyakan para suami akan menjadi bulan-bulanan istri jika dituntut nafkah lampau. Kebanyakan suami tidak berdaya karena gagal membuktikan, bahwa ia telah memberikan nafkah kepada istrinya.
Bukti saksi yang dihadirkan dari keluarganya pun akan sia-sia karena pasti akan selalu gagal meyakinkan hakim ketika pengadil itu mengajukan pertanyaan dengan memakai mindset hukum acara pakem, seperti pertanyaan dengan menggunakan rumus 5 W + 1 H ( what/ apa, who/siapa, when/kapan, why/mengapa, where/di mana, dan How/bagaimana). Saumi dan saksinya pasti akan stress menghadapi pertanyaan hakim yang ‘njlimet’ ini. Secara teknis (hukum acara) yang demikian sudah menjadi keharusan hakim.
Persoalan dasar yang harus menjadi pertanyaan sebenarnya bukan masalah teknis pembuktian, tetapi bolehkah istri menuntut nafkah lampau yang dari awal tidak dipermasalahkan istri? Mengenai hal ini memang ada pendapat menarik yang tampaknya perlu mendapat respon para praktisi, termasuk hakim. Seorang pakar hukum Islam Dr. Mustafa as-Siba’i dalam kitabnya al-Ahwal al-Syahshiyyah Juz I halaman 234 yang artinya:“Tuntutan nafkah lampau yang melampaui 4 bulan tidak dapat diputuskan (dikabulkan)”. Pakar Hukum dari Syiria yang wafat 3 Oktober 1964 di Homs ini tampaknya, masih memberikan toleransi dibenarkan menuntut nafkah lampau tetapi terbatas hanya pada limit waktu tertentu.
Terlepas dari pro kontra tentang boleh tidaknya menggugat nafkah lampau ini, tampaknya perlu diadakan perubahan paradigma hukum pembuktian. Yaitu, dengan menerapkan “pembuktian terbalik” dalam hal kasus tuntutan nafkah lampau. Hal demikian dirasa adil, karena di satu sisi istri masih dapat secara leluasa menuntut hak nafkah lampau dan, si sisi lain, suami juga tidak mendapat pembebaban pembuktian yang tidak masuk akal, karena harus mengajukan alat bukti tentang suatu perbuatan yang ketika melakukannya, pada umumnya, tidak lazim dimintakan tanda bukti itu. Tetapi mungkinkah sistem pembuktian ini diterapkan?