JAKARTA, Beritalima.com– Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang serentak digelar, Rabu (9/!20) usai sudah. Para pasangan calon (paslon) termasuk masyarakat pendukung mereka sudah mengetahui hasilnya melalui hitung cepat sehingga klaim kemenangan terdengar di mana-mana.
Yang menjadi persoalan, ungkap pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga ketika bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Jumat (11/12) pagi, apa hitung cepat dapat dijadikan acuan untuk mengklaim kemenangan?
Secara metodologis, ungkap pria yang akrab disapa Jamin tersebut, hasil hitung cepat seharusnya memang dapat dijadikan sebagai acuan menang tidaknya paslon. Garansi ini tentu bila lembaga survei yang melakukan hitung cepat taat asas dalam menetapkan sampel berdasarkan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sekarang yang menjadi soal, jelas penulis buku Riset Kehumasan, Tipologi Pesan Persuasif dan Perang Bush Memburu Osama tersebut, lembaga survei tidak terbuka mengungkap prosedur pengambilan sampel. Karena itu, kita tidak dapat menilai apakah hasil hitung cepat dapat digenerasikan ke seluruh TPS? ”
Akibatnya, beberapa kasus hasil hitung cepat tidak sesuai dengan hasil resmi yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bila ini yang terjadi, tentu membuat gesekan di akar rumput, terutama dari pendukung paslon,” kata dia.
Selain itu, pelaksanaan Pilkada kali ini juga memunculkan banyak pelanggaran protokol kesehatan. Hal itu terlihat dari dominanya pelaksanaan kampanye secara tatap muka. Kampanye model ini membuka ruang terjadinya kerumunan. Dalam kerumunan itu, jaga jarak sudah diabaikan dan sebagian dari peserta tidak menggunakan masker.
Jadi, jumlah peserta kampanye tatap muka 50 orang jarang ditaati masing-masing paslon. Termasuk kelibatan anak dalam kampanye juga masih mengemuka. “Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus memproses pelanggaran ini tanpa pandang bulu,” kata Jamil.
Sementara kampanye melalui media sosial, jelas Jamil, tampak sangat minim. Padahal kampanye cara ini sangat sesuai dengan situasi wabah pandemi virus Corona (Covid-19) termasuk perintah Pemerintah dalam hal menanggulangi terjadinya klaster baru wabah mematikan ini.
Kampanye media sosial juga terkesan hanya beraifat informatif. Pesan yang persuasif tampak.masih minim. Bahkan kampanye melalui medsos tidak jarang bermuatan kampanye hitam karena menyudutkan masing-masing paslon masih mengemuka.
Kampanye yang edukatif sangat minim. Hal tersebut, lanjut pengajar Metode Penelitian Komunikasi, Riset Kehumasan serta Isu dan Krisis Manajemenl itu, ini kiranya menjadi evaluasi buat KPU seabagi pelaksana pilkada.
Menurut dia, kampanye via media sosial tidak dimaksimalkan karena sebagian paslon masih yakin kampanye yang efektif masih melalui tatap muka. “Karena itulah, paslon masih menggunakan kampanye tatap muka untuk meyakinkan calon pemilih memberikan suara atau memilih mereka,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)