(Penegakan) Hukum Berkaca Mata Kuda

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)

“Ubi societas ibi ius”. Adagium ini sering diterjemahkan “di mana ada masyarakat di sana ada hukum” Kalimat yang diungkapkan oleh Marcus Tulllius Cicero sampai saat ini masih terkenal dalam dunia hukum. Filosuf Romawi yang hidup 106-43 SM ini mengungkapkannya tentu bukan sebuah bualan semata. Sekalipun tidak pernah ada kesepakatan tentang definisi hukum di kalangan para ahli hukum, akan tetapi pada umumnya semua sepakat bahwa hukum dan manusia tidak bisa dipisahkan. Apalagi jika hukum dipandang sebagai sebuah aturan, bagaimana potret kehidupan manusia jika tidak ada aturan. Yang kuat bisa semena-mena berbuat aniaya terhadap yang lemah dan yang besar seenaknya menggilas yang kecil.

Urgensi kehadiran hukum ini merupakan konsekuensi keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.. Kodrat eksksistensi demikian menyebabkan dia tidak bisa hidup sendiri tetapi selalu membutuhkan yang lain. Ketika kuantitas dan kualitas kebutuhan hidupnya semakin beragam akan semakin banyak pula problem kehidupan yang memerlukan aturan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Dan, begitulah seterusnya. Semakin kompleks dinamika kehidupan manusia, akan semakin kompkleks pula problem hukum yang ada sekaligus pengaturannya. Kompleksitas problem hukum tersebut sekaligus menyebabkan aneka ragam pemikiran tentang hukum. Lahirnya beraneka madzhab dalam kajian ilmua hukum pada pokoknya disebabkan oleh situasi demikian.

Terlepas dari urgensi keberadaan hukum, akan tetapi oleh masyarakat sering dipandang sebelah mata. Kebanyakan masyarakat sering memandang penting kehadiran hukum. hal ini disebabkan, di dalam suatu masyarakat hukum selalu bekerja diam-diam. Masyarakat sering tidak menyadari operasionalisasi hukum. Dalam konteks demikiaan, dalam suatu masyarakat, hukum sering hanya memegang fungsi sekunder. Masyarakat baru menyadari pentingnya hukum, kalau jalannya hukum terganggu. Sungguh sangat tepat apa yaang dikatakan Prof. Dr.Busthanul Arifin, S.H., yaitu bahwa hukum laksana udara bagi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Masyarakaat biasanya tidak menyadari adanya udara yang bersih untuk kehidupan karena dianggap sebagai suatu hal yang semestinya. Akan tetapi, ketika terjadi kekurangan udara, pengap, dan lain sebagainya mereka baru menyadari pentingnya udara. Apa yang terjadi dan sejumlah kerusuhan lain akibat ketidakpuasan terhadap putusan pengadilan sebenarnya secara tidak langsung membuktikan pentingnya hukum dan penegakan hukum ‘yang baik’.

Pada tahun 1972, Ketua Mahkamah Agung Indonesia (Prof. Soebekti, S.H.) pernah menyamapaikan pidato pada Konferensi Para Ketua Mahkamah Agung se Asia Pasifik di Seoul. Pada kesempatan itu beliau merespon situasi dan kondisi Korea Selatan yang menurutnya rakyatnya bekerja keras, terlihat hidup bahagia, lingkungan hidup yang rapi, keadaan sungai-sungai yang bersih. Menurut beliau situasi dan kondisi demikian bisa tercipta karena pelaksanaan hukum di negara itu sudah baik.
Baik buruknya hukum, secara empiris, sering baru diketahui oleh realitas jalannya peradilan dari hulu ( kepolisian ) sampai hilir ( putusan pengadilan dan pelaksanaannya). Pada saat demikianlah baru diketahui bagaimana masyarakat bersikap. Para penegak hukum memang sering sudah merasa bekerja sesuai aturan yang ada, akan tetapi tetap saja banyak orang tidak puas dengan hasil kinerja aparat. Secara teori hal demikian, memang dimungkinkan. Menurut Prof.Dr. Soerjono Soekanto, suatu penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu: hukum, penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat, dan kebudayaan. Yang dapat kita simpulkaan dari apa yang dikemukakan oleh Soekanto tersebut tidak lain, bahwa hukum sekaligus penegakannya tidak bisa berdiri sendiri. Atau, yang sering kita kenal dalam kajian sosiologi hukum, bahwa hukum tidak otonom. Sering ada faktor non hukum yang selalu menyertainya.

Kisah paling menumental dan menjadi pergunjingan di duna penegakan hukum ialah kasus penegakan hukum atas kematian Nocole Brown dan mantan pacarnya Ronald Goldman yang sama-sama kulit putih tahun 1994 di Amarika Serikat. Yang didakwa sebagai pembunuh tidak lain OJ Simpson, seorang multimilioner kulit hitam yang tidak lain adalah mantan suami Nicole. Penyelesaian kasus itu memakan waktu 9 bulan, suatu waktu paling lama dalam sejarah penegakan hukum di negeri berjuluk The Uncle Sam itu, sekaligus menciptakan rekor honorarium pengacara paling tinggi. Akhir jalannya peradilan terjadi, yaitu ketika para Juri yang berjumlah 12 orang yang terdiri dari 9 kulit hitam ( 8 di antaranya wanita ) 2 orang kulit putih, dan 1 Hispanic, pada tanggal 3 Oktober 1995, sang mantan pemain basket itu dinyatakan “not guilty” (tidak bersalah) oleh para Juri. Padahal, menurut opini para ilmuwan hukum (termasuk di dalamnya Prof. Alan M. Derhowitz) OJ Simpson, berdasarkan hasil penyidikan dan bukti-bukti yang ada, adalah pembunuhnya dan oleh karenanya patut dinyatakan “guilty” (bersalah). Mengapa bisa demikian? Konon salah satu pertimbangan yang menjadi alasan para juri adalah karena hal-hal yang bersifat politis ketimbang yuridis. Sebelumnya, di Los Angeles pernah terjadi kerusuhan rasial hebat. Atau, jelasnya dengan diambilnya keputusan keputusan OJ Simpson “bersalah” diramalkan kerusuhan berbau SARA yang penuh anarkis itu dapat terulang lagi. Pertimbangan demikian tentu bukan tanpa alasan. Sebab, sebagaimana kita ketahui, OJ Simpson adalah seorang selebriti. Dengan kekayaan dan kebintangannya di dunia “foot ball” telah menjadi salah satu ikon masyarakat kulit hitam.

Ilustrasi di atas tentu perlu menjadi warning dunia hukum sekaligus penagakannya di negeri kita. Dengan kesadaran bahwa hukum tidak otonom, seperti ilustrasi di atas, harus membuat para penegak hukum selalu dapat membaca setiap gejala yang sedang–dan bahkan yang akan– terjadi. Para penegak hukum tidak boleh selalu memakai kecamata kuda yang, dengan berdalih konsistensi, selalu lurus berjalan ke depan dengan mengabaikan pemandangan realitas sosial yang berada di kanan kiri, yang dapat mempengaruhi efektivitas sekaligus efisiensi penegakan hukum. Alasan menegakkan aturan dengan mengabaikan rasa keadilan, yang sedang dan akan terus berkembang, harus mulai disikapi secara kritis. Dalam konteks demikian, kita ingat pesan sang mantan hakim legendaris, Bismar Siregar.. Ketika para hakim hendak memutus hendaklah selalu bertanya kepada nuraninya, adilkah yang akan saya putuskan?. Aalasan bisa dibuat, pasal bisa dicari, kira-kira begitulah pesan beliau. Dalam konteks yang lebih luas apa yang disampaikan Pak Bismar tentu bisa bukan hanya untuk para hakim, tetapi juga bisa menjadi acuan para penegak hukum dari unsur non hakim ( polisi, jaksa, dan advokat ). Atau, akankah ajaran hukum murni Hans Kelsen (1881-1973 ) akan terus dipertahankan di negeri yang rakyatnya sangat heterogen ini, sehingga gejolak akibat penegakan hukum dengan dalih “menegakkan aturan” itu akan terus berlangsung? Semoga tidak. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait