Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pemerhati Hukum)
Berbagai aktivitas kehidupan manusia memiliki banyak ragam kepentingan. Dimana banyaknya ragam kepentingan tersebut, terkadang menimbulkan suatu sengketa karena adanya perbedaan kepentingan atau perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu fenomena. Pada umumnya bila terjadi sengketa diantara dua belah pihak yang memiliki masalah diselesaikan melalui jalur pengadilan. Namun ada cara penyelesaian lain di luar pengadilan, yang biasa dikenal dengan istilah arbitrase. Di mana Badan Arbirtrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai wadahnya.
Di luar jalur pengadilan maupun arbitrase, masih ada jalur lain dalam penyelesaian sengketa, seperti mediasi, konsiliasi dan ajudikasi. Ajudikasi adalah cara penyelesaian masalah antara dua pihak yang bertikai di luar jalur pengadilan ataupun arbitrase, dimana dalam menyelesaikan sengketanya menunjuk pihak ketiga yang disebut dengan Ajudikator sebagai penengahnya. Cara menyelesaikan sengketa atau masalah melalui jalur adjudikasi adalah dengan mengumpulkan data-data kebenaran, baik data fisik maupun data yuridis sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan bersama untuk penyelesaian sengketa/masalah tersebut. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat dan berlandaskan hukum, serta para pihak harus patuh dengan keputusan dari Ajudikator.
Bila dilihat dari perkembangan hukum, dikenal istilah Alternative Dispute Resolution (ADR) yang mana dalam bahasa Indonesia sering dimaksudkan dengan Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyeselaian sengketa secara kooperatif. Tetapi bila merujuk pada Pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengartikan bahwa Alernative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Dalam praktiknya, ADR dapat diartikan sebagai Alternative to litigation atau alternative to adjudication. Alternative to litigation berarti semua mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga dalam hal ini arbitrase termasuk bagian dari ADR. Sedangkan Alternative to adjudication berarti mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif, tidak melalui prosedur pengajuan gugatan kepada pihak ke tiga yang berwenang mengambil keputusan. Termasuk bagian dari ADR adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat ahli, sedangkan arbitrase bukan termasuk ADR.
Jadi yang termasuk dalam mekanisme Ajudikasi adalah Pengadilan dan Arbitrase, karena di sana ada putusan yang dijatuhkan oleh otoritas yang berwenang (hakim/arbiter) dan putusannya bersifat mengikat. Sedangkan yang termasuk dalam mekanisme non-Adjudikasi adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi dan sebagainya yang di sana tidak ada suatu putusan (melainkan suatu kesepakatan damai yang dibuat secara sukarela oleh para pihak).
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Ajudikasi adalah mekanisme Arbitrase yang disederhanakan dan kemudian di-customized sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelesaian sengketa yang ritel dan kecil (retail & small claim), karena sengketa ritel dan kecil tersebut akan sangat tidak efisien (costly) jika diselesaikan melalui Arbitrase. Bisa jadi bahwa sengketa ritel dan kecil tersebut sebelumnya sudah menempuh upaya Mediasi tetapi tidak berhasil mencapai kesepakatan damai, sehingga para pihak menghendaki suatu putusan atas sengketanya melalui mekanisme lain namun tidak melalui Arbitrase, apalagi pengadilan.
Penggunaan istilah ajudikasi ini, sedikit berbeda ketika diterapkan dalam urusan pendaftaran tanah, dimana kegiatannya meliputi pengumpulan data fisik dan yuridis terhadap tanah yang menjadi objeknya. Sementara istilah ajudikasi yang digunakan dalam penyelesaian sengketa perbankan, biasanya diselesaikan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI). Lembaga inilah yang menyelesaikan sengketa perbankan melalui jalur adjudikasi.
Contoh penerapan lainnya dalam penyelesaian sengketa informasi publik. Dalam konsideran Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disebutkan bahwa hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, sehingga keberadaan UU tersebut merupakan bentuk pengakuan hak masyarakat atas informasi dan hak tersebut harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara.
Dalam prakteknya terkadang informasi yang dimohon oleh pemohon informasi publik tidak dikabulkan karena permohonan informasi tersebut dianggap atau dikategorikan informasi yang dikecualikan. Hal ini tentu bisa menimbulkan terjadinya sengketa informasi publik. Proses penyelesaian Sengketa Informasi Publik dilakukan berdasarkan asas cepat, tepat, biaya ringan, dan sederhana. Prosedur penyelesaian sengketa informasi publik sesuai dengan Peraturan Komisi Informasi (PERKI) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik adalah melalui mediasi dan / atau ajudikasi.