SURABAYA, beritalima.com|
Maraknya dispensasi nikah di berbagai daerah menjadi perbincangan akhir-akhir ini. Data Pengadilan Tinggi Agama Surabaya mencatat ada 15.212 kasus pengajuan dispensasi nikah sepanjang 2022. Dispensasi nikah menjadi upaya bagi pasangan yang ingin menikah namun belum mencukupi batas usia yang telah ditetapkan pemerintah.
Permasalahan itu tak luput dari perhatian Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi. Guru besar Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair) itu mengatakan bahwa ada pertentangan yang terjadi dalam permasalahan ini.
“Ada kontradiksi yang memprihatinkan, ya. Pemerintah sudah menyiapkan payung hukum untuk membatasi usia seseorang bisa menikah. Tapi adanya hal ini justru tidak berdampak untuk mengurangi jumlah pernikahan anak di bawah umur,” jelasnya.
“Sebaliknya yang terjadi malah kasus pernikahan di bawah umur makin banyak. Yang memprihatinkan itu sebagian di antaranya dilakukan karena hamil di luar nikah ini. Ini merupakan imbas perilaku permisif yang dilakukan anak,” tambahnya.
Faktor Penyebab
Dosen yang pernah menjabat sebagai konsultan United Nations Children’s Fund (Unicef) tersebut mengungkap faktor penyebab pernikahan di bawah umur.
“Faktornya banyak tidak hanya akibat dari kurang pengawasan orang tua tapi juga cyber-porno, pengaruh lingkungan pergaulan itu masing-masing berkontribusi pada kasus pernikahan anak di bawah umur,” ungkapnya.
Sementara itu faktor budaya juga menjadi salah satu pemicunya. Pada sebagian kalangan masyarakat, menikahkan anak dapat dilakukan secepat mungkin sebelum mereka terjerumus melakukan hal-hal yang negatif.
“Masih ada sebagian masyarakat yang menganggap pernikahan siri tidak masalah meskipun secara hukum tidak dianjurkan tapi praktik ini masih terjadi,” terangnya.
Pentingnya Literasi Kritis
Prof Bagong menyampaikan bahwa literasi kritis pada anak menjadi kunci dalam penanggulangan masalah ini.
“Godaan cyber-porno tidak bisa diatasi dengan hanya memblokir konten pornografi tapi anak sendiri perlu dibekali daya tahan berupa literasi kritis,” katanya.
Selain kontrol dan pengawasan yang dilakukan orang tua, pembinaan hendaknya dilakukan agar anak memiliki kesadaran serta sikap kritis untuk menyikapi cyber-porno.
“Tidak mungkin remaja diawasi orang tua dua puluh empat jam, ada masa dimana dia punya kebebasan sendiri,” tuturnya.
Peran Keluarga
Karakteristik anak masa kini yang berbeda dengan generasi sebelumnya menjadikan orang tua harus melakukan pendekatan yang berbeda.
“Dulu jam sembilan malam anak di rumah hati orang tua tenang. Sekarang anak jam enam malam belum keluar kamar harus curiga apa yang dilakukan,” jelasnya.
Menurut Prof Bagong, dibutuhkan pemahaman orang tua untuk senantiasa mendampingi dan membimbing anak. Membangun ketahanan anak bisa dilakukan melalui jalur agama serta membangun keluarga yang harmonis.
“Keluarga harmonis ini bertujuan agar energi anak tidak digunakan ke hal negatif tapi ke hal yang tidak kalah menarik tapi positif,” tuturnya.
Pendidikan Seks
Pendidikan seks bagi anak tak luput dari perhatian Prof Bagong mengenai penanggulangannya. Orang tua cenderung enggan dan tertutup jika anak membicarakan mengenai seksualitas.
“Anak itu kalau orang tua tidak mau memberi penjelasan mereka akan mencari sendiri. Ini bisa menyebabkan anak memahami seksualitas dengan cara yang salah,” sambungnya.
Persoalan dilematis
menghinggapi pendidikan seks sehingga keberadaannya masih dianggap tabu oleh masyarakat. Dibutuhkan sosok yang memiliki kompetensi untuk menyampaikan pendidikan seks kepada anak.
“Ini bisa membangun kedewasaan dan meningkatkan moralitas anak daripada mereka mencari sumber soal seksualitas yang seringkali salah,” pungkas. (Yul)